Foto : Hensa/koleksi pribadi
CERITA PILU SAHABAT HATIKU
Episode cerita pilu itu tersaji didepanku. Kinanti sore itu seperti biasa
menelpon Eko untuk pulang bersama. Namun kali ini Eko tidak bisa pulang karena
harus mengerjakan laporan yang belum selesai jadi Eko mempersilahkan Kinanti
pulang duluan. Kinanti rupanya tidak langsung menuju tempat parkir dimana
mobilnya di parkir di sana tapi ia menuju arah Gedung Fakultas dimana Eko saat
itu berada. Memang Gedung Fakultas mereka berdekatan hanya menyebrang jalan
lalu berbelok ke arah kanan. Entah ada perasaan ingin tahu saat itu dalam diri
Kinanti apa yang sedang dikerjakan Eko di ruang tempat kerjanya. Sebenarnya
Kinanti hanya ingin menemani calon suaminya itu yang sedang kerja lembur.
Suasana koridor di Gedung Fakultas itu sudah mulai sepi maka Kinantipun
berjalan menelusuri koridor itu menuju Ruang Kerja Eko. Kinanti berdiri di
depan pintu namun ia ragu mau mengetuk pintu itu. Sayup-sayup terdengar suara
suara aneh dari seorang wanita yang sepertinya sedang dicumbu. Kinanti terkejut
apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana. Pintu itupun diketuknya dengan
keras. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan Eko berdiri di sana. Kinanti
tanpa ba dan bu langsung masuk ke dalam ruangan. Ya Tuhan Kinanti masih sempat
melihat Irma sedang memakai kembali pakaiannya. Tak ada sepatah katapun yang
keluar dari bibir Kinanti. Dia hanya memandang Irma dan Eko lalu bergegas
meninggalkan mereka berdua.
Itulah kisah pilu yang baru saja diceritakan Kinanti kepadaku. Setelah
selesai bercerita, wanita cantik ini masih menangis tersedu di depanku.
”Sudahlah Kinan. Semuanya sudah terjadi. Tidak perlu kau tangisi dan kau
ratapi seorang Penghianat. Hanya membuang waktumu yang sangat berharga !”, kataku
berusaha menenangkan Kinanti namun dia tetap menangis.
Seorang wanita menangis itu disebabkan hanya oleh dua hal. Pertama hatinya
perih karena tersakiti oleh penghianatan yang kedua hatinya berbunga karena
dicintai penuh dengan kesetiaan. Saat ini aku melihat Kinanti begitu rapuh. Aku
tidak melihat Kinanti yang tegar kokoh dengan pendirian dan prinsipnya. Aku
juga sebenarnya memaklumi apa yang dirasakan Kinanti saat ini. Penghianatan
yang sangat biadab itu telah mengotori hubungan cinta yang seharusnya tetap di
jaga dan dirawat agar tetap suci. Kinanti pasti sangat sakit hatinya dan kecewa
ketika cinta suci yang ia berikan berbalas dengan penghianatan. Kini Kinanti
sangat membutuhkan pegangan. Tentu saja akulah orangnya yang ia perlukan. Aku
tidak ingin Kinanti merasakan kesedihan ini berlarut-larut. Aku melihat Kinanti
masih tersedu.
”Kinanti lihatlah ada aku disini. Aku yang selalu bersamamu!”, kataku
sambil menatapnya. Mendengar kata-kataku itu Kinanti mulai tenang.
”Iya Alan terima kasih. Aku sangat membutuhkanmu!”, suara Kinanti pelan
dengan tatapan mata yang masih basah dengan air mata. Malam itu suasana Cafe di
jalan WR Supratman itu begitu tenang. Alunan musik yang terdengarpun penuh
dengan lagu lagu melankolis.
”Kinan ternyata dia tidak setara denganmu. Kau harus mendapatkan cinta yang
setara dengan keluhuran cintamu!”, kataku lagi kulihat Kinanti sudah tidak menangis lagi.
”Ya Alan seharusnya aku bersyukur karena Allah sudah tunjukkan kepadaku
siapa sebenarnya dia. Allah juga yang menunjukkan bahwa teman hidupku bukan
dia, mungkin ada yang jauh lebih baik!”, kata Kinanti dengan suara pelan.
”Kalau begitu mulai saat ini kau harus kembali tersenyum. Dunia ini
beberapa hari ini sangat merindukan senyummu terutama Alan Erlangga!”, kataku
mulai menggoda.
”Alan Gombal!”, Kinanti mulai tersenyum.
”Senyum Kinanti adalah masa depanku!”, kataku semakin menggoda.
”Hei apa maksudmu?”, suara Kinanti setengah berteriak.
”Ssssst enggak ada maksud apa-apa!”, kataku ringan sambil cengengesan. Aku lihat Kinanti cemberut
namun yang namanya Kinanti cemberutpun tetap cantik. Ada perasaan lega pada
saat Kinanti sudah mulai lagi menemukan jati dirinya. Begitulah seharusnya
seorang wanita yang tegar dan tangguh menghadapi apapun yang dialaminya. Sejak
awal memang aku yakin Kinanti mampu menghadapi persoalan ini.
Boleh dikatakan aku di Bandung hanya
semalam. Berangkat dari Juanda-Surabaya Sabtu sore tiba di Husen-Bandung hampir
Magrib. Malam itu juga ketemu Kinanti di sebuah Cafe Jl WR Supratman. Besoknya
Minggu pagi sudah check in lagi di Husen menuju Surabaya dengan penerbangan
paling pagi. Tadi Kinanti masih sempat telpon hanya sekedar mengucapkan selamat
jalan tapi bagiku hal itu sangat berharga.
”Alan terima kasih sudah mau bertemu denganku dan memberiku semangat baru.
Selamat jalan ya kabari aku jika sudah sampai Surabaya!”, kata Kinanti.
Semua aku lakukan untuk Kinanti. Sekarang rasanya ada perasaan lega yang
membuatku merasa tenang. Mudah-mudahan demikian pula dengan Kinanti kembali
menemukan dirinya, menemukan kedamaiannya, menemukan cinta sejatinya.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Surabaya itu memang pikiranku penuh
dengan Kinanti. Penerbangan pendek Bandung – Surabaya hanya memakan waktu yang
pendek juga namun dalam waktu yang pendek itu penuh dengan pikiran perjalanan
panjang penuh liku saat bersama Kinanti. Sesampainya di Surabaya segera saja
aku mengabari Kinanti.
”Alhamdulillah Alan sudah sampai rumah!”, terdengar suara Kinanti.
”Alhamdulillah Kinan perjalanan lancar cuacanya juga bagus. Semoga juga
hari ini menjadi hari baik bagimu!”, kataku. Terdengar Kinanti tertawa kecil.
”Bagiku tiada hari yang tidak baik semua hari adalah hari baik. Hari
menjadi tidak baik ketika ada seseorang yang berbuat tidak baik!”, kata Kinanti
berfilsafat.
”Ya sudahlah Kinan. Hari yang tidak baik itu sudah berlalu dan tak akan
mungkin kembali. Tetaplah tatap ke depan sesekali saja menengok ke belakang
hanya untuk sekedar memperbaiki yang perlu diperbaiki!”, kataku.
”Okey Alan aku suka kata-katamu. Persis yang dikatakan Listya tadi malam
dia menelponku!”, kata Kinanti. Rupanya Kinanti juga curhat kepada Listya.
”Oh ya, pasti Listya selalu memberimu semangat!” kataku penasaran.
”Iya Alan. Dia mengatakan Bu Kinan harus melihat ke depan karena kita hidup
akan menuju ke sana jangan buang buang waktu hanya untuk menyesali sesuatu yang
sudah terjadi!”, kata Kinanti menjelaskan apa yang dikatakan Listya.
”Malam itu seusai bertemu denganmu aku memang menelpon Listya. Tentu saja
dia kaget mendengar berita ini!”, kata Kinanti.
”Kinan memang baik juga Listya tahu tentang keadaanmu saat ini dan tentu
saja Listya pasti terkejut dengan berita batalnya pernikahanmu!”, kataku
kemudian aku segera menyudahi percakapan ini agar tidak berkepanjangan
dikhawatirkan akan mengingatkan kembali Kinanti pada peristiwa yang menyakitkan
itu.
Pertemuan singkat dengan Kinanti di Bandung itu seolah menjadi titik tolak
baru bagiku untuk kembali meraih harapanku. Hari hari ke depan bagiku merupakan
hari hari penuh harapan apalagi Intan ”Si Cantik Kinanti muda” selalu memberi
dukungan agar aku tetap fight
memperjuangkan cintaku untuk Ibundanya. Biasanya Intan menelponku saat jam
makan siang, seperti siang itu aku baru saja selesai makan siang dan sholat
dhuhur, aku menerima telpon Intan.
”Wa alaikum salaam!”, aku membalas salam nya Intan.
”Om Alan sedang apa?”.
”Baru saja selesai sholat dan makan siang. Intan sudah makan siang belum?.
Sekarang ada kuliah apa saja?”, kataku balik bertanya.
”Intan sudah makan Om. Hari ini
kuliahnya sudah tadi pagi baru nanti ada Praktikum Kimia Dasar sampai sore
nanti. Om Alan, Intan telpon gini ganggu nggak nih?” tanya gadis itu dengan
bahasa remajanya.
”Oh tidak apa apa. Om Alan malah senang apalagi membawa khabar tentang
Ibumu!”, kataku melai memancing. Aku mendengar Intan tertawa lepas.
”Rupanya Om Alan kangen sama Ibu ya!”.
”Iya dong malah kangen juga sama anak gadis Si Mata wayangnya!”, kataku
menggoda dan kembali terdengar suara tawa merdu Intan Permatasari. Sungguh
memang Intan ini adalah Kinanti saat muda dulu. Suaranya juga merdu persis
Ibunya.
”Om Alan. Saat ini Ibu sudah kelihatan mulai kembali bergairah tidak lagi
bersedih. Ibu sering menerima telpon dari mbak Listya selain dari Om Alan.
Mereka kalau ngobrol sangat serius sekali. Mbak Listya selalu memberi semangat
kepada Ibu. Melihat keadaan Ibu sekarang, Intan merasa lega. Ngomong-ngomong
bagaimana perkembangan pedekatenya Om?”, tanya Intan.
”Pedekate yang mana Intan?”, kataku pura-pura bego.
”Aduuuh Om Alan ya pedekate sama Ibu dong!”, suara Intan menggerutu.
”Oh itu beres doong. Pelan-pelan saja Om Alan tidak mau tergesa-gesa karena
Om Alan tidak mau ditolak yang ketiga kalinya!”, kataku. Intan tertawa
mendengar ucapanku.
”Lho Intan. Dalam hidup Om Alan hanya Ibumu yang sudah menolak dua kali
cintanya Om Alan. Pertama dulu sewaktu SMA dan kedua baru saja sebelum Ibu
memutuskan memilih Om Eko. Mangkanya tidak mau terburu buru kalau sampai
terjadi penolakan yang ketiga kali wah kiamat dunia ini!”, kataku serius.
Kembali terdengar suara tawa Intan.
”Tenang saja Om kali ini pasti berhasil. Ibu kalau malam suka berharap
harap ada telpon dari Om Alan!”, kata Intan. Mendengar ini aku hanya tersenyum.
Intan Permatasari putri Si Mata wayangnya telah menjadi teman akrabku
setiap saat. Aku banyak mendapat informasi tentang Ibunya dan rupanya Intan
sangat mengharapkan agar Ibunya menikah denganku. Namun aku hafal betul siapa
Kinanti, seorang wanita yang mempunyai pendirian yang kokoh bagaikan karang.
Hei tapi nanti dulu, karang kalau setiap hari disentuh oleh ombak mungkin akan
luluh juga. Sentuhlah karang itu dengan penuh kasih sayang. Ya aku harus tetap
berjuang Kinanti adalah harapan terakhirku. Harapanku yang paling logis.
Kinanti belum jadi masa laluku walaupun dia pernah ada di masa laluku namun
juga belum nyata menjadi masa depanku. Cinta itu harus diperjuangkan. Tidak ada
kata terlambat ini saatnya aku harus memperjuangkan cintaku. Ada sebuah tanya
kenapa dulu aku tidak berjuang untuk cintaku kepada Daisy Listya?. Sebelum
menjawab muncul lagi pertanyaan berikutnya yaitu apa dulu memang aku tidak
pernah memperjuangkan cintaku kepada Daisy Listya?. Mungkinkah itu sudah takdirku dariNya ketika
aku tidak mendapatkan cintaku kepada Daisy Listya. Apakah mungkin ada takdirNya
lagi untuk takdirku ini?. Entahlah aku lebih baik berserah diri saja kepadaNya
untuk semua yang kuperjuangkan andai memang aku sudah berjuang. Untuk Kinanti
ini aku berharap dengan izinNya berilah aku takdir cintaku yang utuh. Hanya
cintaku yang utuh yang dapat mengobati rasa pilu sahabat hatiku ini.
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment