Foto : Hensa/koleksi Pribadi
Bagian 13
HALAMAN TERAKHIR BUKUKU
Saat ini aku berada diantara kebahagiaan menempuh masa depan dengan Kinanti
dan rasa duka Listya karena kepergian suaminya. Sungguh keberadaan yang sangat
sulit. Saat ini Listya sedang berduka sedangkan Kinanti berbahagia. Seperti
saat malam itu Kinanti menerima telponku dengan penuh keceriaan. Bagaimana
tidak, malam itu kami sedang membicarakan tentang acara lamaran sekaligus
menentukan tanggal pernikahan. Aku seakan tidak percaya pada akhirnya aku menikah
juga dengan seorang pendamping hidupku. Aku seakan lebih tidak percaya lagi
ternyata calon istriku adalah Kinanti Puspitasari, teman SMA ku yang dulu
pernah menolak menjadi pacarku. Sungguh sesuatu yang menakjubkan dalam
perjalanan hidupku bahwa nanti pada hari pernikahan itu yang menjadi istriku
adalah Kinanti Puspitasari. Aku yakin mungkin inilah takdirku. Alhamdulillah
aku panjatkan Puji Syukur kepadaNya.
Kabar pernikahanku dengan Kinanti rupanya sampai juga kepada Listya. Sore
itu ketika aku baru saja tiba di rumah, aku menerima telpon dari Listya.
”Assalaamu alaikum Listya!”, kataku menyambut telponnya.
”Iya Pak Alan wa alaikum salaam. Maaf Pak saya telpon apakah mengganggu
Bapak ?”, kata Listya.
”Oh tidak Lis. Saya saat ini sudah di rumah kok!”, kataku.
”Oh gitu. Pak Alan selamat Pak untuk rencana pernikahannya dengan Bu
Kinan!”, kata Listya.
”Terima kasih Listya!”, jawabku pendek.
”Tadi pagi Bu Kinan memberi saya kabar tentang rencana pernikahannya dengan
Pak Alan bulan Maulud ini. Saya sangat gembira mendengar kabar ini!”, suara
Listya penuh haru.
”Listya sekali lagi terima kasih. Mohon doa restunya saja agar semua
rencana itu berjalan dengan baik!”, kataku.
”Iya Pak, saya selalu mendoakan untuk kebahagiaan Pak Alan...!”, suara
Listya pelan sekali seperti tertahan di tenggorokkan. Kemudian Listya terdiam
lama sekali.
”Hallo, hallo, hallo, Listya?”, aku berusaha menyapanya melalui hand phone
itu. Aku yakin Listya sedang terisak. Mungkin terharu karena akhirnya aku
menikah juga dengan Kinanti.
”Hallo Listya!”, kucoba menyapa lagi.
”Iya Pak!”, kata Listya.
”Listya baik-baik saja?”, tanyaku dengan rasa khawatir.
”Tidak apa-apa. Baik-baik Pak. Ok Pak Alan, saya pamit dulu. Assalaamu
alaikum!”, kata Listya sambil menutup hand phone nya.
Ya Allah apa yang harus aku lakukan. Listya nampaknya sedih sekali. Listya
bersedih karena suaminya meninggal dunia ataukah bersedih karena aku mau
menikah dengan Kinanti?. Ada dua wanita yang sama-sama aku kagumi. Saat ini aku
lebih realistis dan bijak untuk memilih Kinanti Puspitasari sebagai calon
istriku. Aku mempertimbangkan bahwa saat
ini Daisy Listya masih muda, cantik dan masih memiliki masa depan yang terbentang
luas. Daisy Listya masih memungkinkan mendapatkan teman hidup yang jauh lebih baik
dariku. Kinanti memang yang aku pilih karena aku dan Kinanti sudah sama-sama
berada di ufuk senja. Aku harus membiarkan cintaku kepada Daisy Listya menjadi
sejarah seperti halnya cintaku kepada Diana Faria. Aku harus bisa dan mampu untuk
menghadapi realita ini.
Jadwal kompilasi data penelitianku di Laboratorium sengaja aku majukan
menjadi Jumat siang ini karena besok Sabtu aku harus ke Bandung menemui
Kinanti. Seusai sholat Jumat di Masjid Kampus jl.Erlangga itu aku segera
bergegas kembali ke Ruang kerjaku untuk makan siang. Makan siangku hari ini
adalah masakan Si Mbok yang sengaja aku bawa dari rumah. Selesai makan siang segera aku menuju
Laboratorium yang jaraknya dari Gedung Fakultas hanya sekitar 50 meter. Siang
itu Laboratorium sepi tidak ada satupun mahasiswa yang menggunakan instrumen
analisis. Biasanya mereka menggunakan instrumen analisis untuk penelitian
skripsi pada hari Sabtu. Aku bekerja di ruang itu penuh dengan ketelitian
mengingat data yang aku kompilasi ini untuk digunakan sebagai data pelengkap
pengajuan patent suatu produk farmasi. Aku bekerja penuh semangat sehingga
sebelum Ashar semua data sudah diolah dan siap disajikan. Aku tersenyum sendiri
ketika aku menyadari bahwa aku saat ini benar-benar sangat merindukan Kinanti.
Mungkin ini penyebabnya sehingga aku bekerja di Laboratorium itu penuh dengan
semangat dan fokus. Halaaaahhh Alan sekarang ternyata sudah mulai terjangkit
penyakit anak muda masa kini yaitu lebay he he he. Semua pekerjaan hari ini
sudah rampung dan aku sudah bersiap pulang ah alangkah leganya akhirnya aku
bisa menyelesaikan aktivitas hari ini. Sabtunya aku benar-benar melepaskan
rinduku untuk Kinanti.
Penerbangan yang pendek antara Surabaya – Bandung namun cukup untuk mengingatkanku kembali peristiwa masa masa SMA
itu secara utuh. Masa SMA bersama Kinanti yang begitu indah. Hal ini justru telah
membuatku tidak sabar ingin bertemu Kinanti. Tepat pukul 10 aku sudah tiba di
Bandara Husein Sastranegara. Kinanti sudah menungguku di sana. Aku melihat
wajah cantik Kinanti penuh dengan rasa bahagia menyambut kehadiranku. Tentu
saja cahaya kebahagiaan terpancar di wajah Kinanti karena malam ini merupakan
malam yang spesial. Untuk yang pertama
kali aku berkunjung ke rumah Kinanti sebagai calon suaminya.
Malam Minggu ini benar-benar aku habiskan bersama Kinanti di sebuah Kafe
yang cukup ramai di jalan Riau. Hanya sekedar mengisi makan malam sambil
mengobrol bercerita saat saat SMA dulu. Ah alangkah romantisnya. Kadang kami
tertawa karena teringat peristiwa konyol saat SMA dulu. Tidak terlalu malam
kami kembali ke rumah Kinanti di Arcamanik. Kami melanjutkan obrolan di
beranda. Udara Kota Bandung sangat mendukung, cerah tanpa awan dan ada bulan
sabit di ufuk langit menandakan awal bulan Qomariah telah tiba.
”Alan ada yang ingin aku bicarakan denganmu!”, kata Kinanti mulai serius.
”Tentang apa Kinan!”, tanyaku.
”Tentang pernikahan kita. Aku hanya minta dua permintaan kepadamu. Tapi ini
bukan syarat lho hanya permintaanku!”, kata Kinanti.
”Permintaan apa Kinan, inshaa Allah aku akan memenuhinya!”, kataku yakin.
”Alan setelah kita menikah nanti terlalu riskan bagiku andai nanti aku
harus hamil untuk anak kita!”, kata Kinanti.
”Tentu saja Kinan. Bagiku cukup Intan sebagai anak kita. Dia adalah anak
putri yang sangat aku banggakan!”, kataku menenangkan Kinanti.
”Alan tidakkah kau ingin memiliki anak dari aliran darahmu sendiri?”, tanya
Kinanti.
”Kinanti urusan anak aku serahkan kepada Allah. Aku tidak mau apalagi
menuntutmu agar kita punya momongan untuk memberi Intan seorang adik!”, kataku.
Aku melihat Kinanti termenung. Wajahnya menatap ke depan.
”Hai jangan melamun!”, kataku. Kinanti terperanjat.
”Lalu permintaanmu yang kedua apa?”, tanyaku.
”Aku teringat Listya. Saat ini dia berteman dengan kesendiriannya.
Permintaanku yang kedua setelah kita menikah nanti aku rela jika kau berniat
menikahi Listya agar kau bisa memiliki anak !”, kata Kinanti.
”Kinanti sudahlah jangan bicarakan lagi Listya. Dia masih muda suatu hari
nanti akan menemukan jodohnya yang sama-sama masih muda. Allah sendiri sudah
memberikan takdirku menjadi suamimu!”, kataku. Kinanti masih terdiam. Ketika
aku genggam kedua tangannya, dia menatapku.
”Aku hanya ingin memenuhi permintaanmu yang pertama. Lupakan permintaanmu
yang kedua. Tersenyumlah sayang!”, kataku. Kinanti tersenyum sambil menatapku
tajam. Wanita yang memiliki sepasang mata yang indah ini tersenyum manis. Aku mencium keningnya penuh kasih sayang.
Sebenarnya aku terkejut mendengar kata-kata Kinanti yang memberi izin
kepadaku untuk menikahi Listya. Hanya agar aku punya anak dari darahku sendiri,
Kinanti merelakanku untuk menikahi Listya. Wanita cantik ini benar-benar berbudi
luhur. Walaupun poligami diperbolehkan oleh Agama namun aku sangat meragukan
rasa keadilanku terhadap istri-istriku nanti. Aku bukan Rasulallah. Biarlah aku
berbahagia bersama Kinanti walaupun tidak memiliki anak darinya.
Hari hari yang aku lalui di Kampus benar-benar rutinitas yang sangat membosankan.
Apakah mungkin hal ini disebabkan oleh rasa tak sabarku menunggu hari
pernikahanku bulan depan. Bisa jadi hal itu yang membuat hari-hari berjalan
begitu lambat. Hari Senin adalah hari yang sangat lambat dan membosankan karena
aku harus menunggu begitu lama untuk bertemu hari Sabtu saat aku bertemu
Kinanti. Jika sore menjelang maka ada rasa lega di hati karena sehari sudah aku
lalui. Seperti pada sore itu aku begitu gembira. Saat aku sedang membereskan
semua buku buku dimeja itu tiba-tiba pintu ruanganku diketuk dan terdengar
suara salam. Aku terkejut ketika di sana sudah berdiri Daisy Listya.
”Wa alaikum salaam. Listya mari masuk silahkan duduk!”, kataku. Tiga minggu sudah sejak suaminya meninggal, aku baru
sekarang ini kembali bertemu Listya. Tetap masih cantik hanya agak kurus dan
kelihatan lelah namun wajahnya sudah tidak dipenuhi beban yang berat. Wajah
Listya terlihat bebas lepas.
”Pak Alan maaf tadi saya ke ruangan Bapak tapi terkunci maka langsung saja
ke sini. Biasanya Pak Alan ada di Laboratorium ini!”, kata Listya. Aku terharu
mendengar penuturannya. Aku tahu Listya tidak akan pernah melupakan
Laboratorium HPLC yang penuh dengan kenangan ini. Laboratorium ini memang penuh
dengan cerita bersama Listya.
”Iya Listya. Memang Laboratorium ini sejak dulu adalah tempat saya untuk
mencari inspirasi!”, kataku sambil tertawa. Mendengar ini Listya hanya
tersenyum. Aku tiba-tiba teringat kembali masa masa indah di Laboratorium ini
bersama Listya.
”Iya Pak Alan. Bagi saya Laboratorium ini penuh dengan cerita. Di sini saya
di bimbing oleh Profesor Alan. Di sini juga saya pertama kali jatuh cinta
kepada orang yang saya kagumi!”, kata Listya tersenyum. Aku hanya terdiam.
”Oh ya Pak Alan. Saya punya janji kepada Bapak!”, kata Listya.
”Janji apa Listya!”, tanyaku.
”Ini Pak Novel yang saya janjikan!”, sambil menyerahkan sebuah novel dengan
sampul berwarna hijau dedaunan dan judul Masih Adakah Ruang Di Hatimu berwarna
kuning. Aku menerima novel tersebut sambil menatap kagum.
”Listya terima kasih!”, kataku pendek. Listya hanya tersenyum. Ya Allah
senyum ini adalah senyum Diana Faria. Senyum masa laluku. Berikanlah aku
kekuatan untuk selalu mengingatMu dan rasa syukur atas semua ciptaanMu.
”Pak Alan. Saya menyampaikan rasa bahagia ini kepada Bapak. Bu Kinan adalah
orang yang tepat menjadi teman hidup Bapak. Inshaa Allah saat pernikahan nanti
saya akan hadir untuk merasakan kebahagiaan Bapak dengan Bu Kinan!”, suara
Listya dengan senyum di bibirnya namun aku lihat kedua matanya basah dengan air
mata. Aku hanya bisa memandangnya dalam kebisuan.
”Maaf Pak Alan. Saya menangis, saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah
mendapatkan kebahagiannya!”, suara Listya pelan penuh haru. Kembali aku hanya
bisa terdiam memandang wajah Listya yang bersimbah air mata. Ingin rasanya aku
menghapus tetes air mata yang mengalir dipipinya namun aku tidak kuasa. Aku
hanya bisa berkata dalam hati, Listya aku
bisa merasakan cintamu begitu luhur namun aku tidak tahu apakah takdir yang
Allah berikan kepadaku ternyata bukan menikah denganmu. Ataukah takdir yang
Allah berikan kepadamu ternyata bukan menikah denganku. Apakah itu takdir kita
Listya?.
Peristiwa Jumat sore itu menjadi catatan tersendiri bagiku. Sebuah novel berjudul
’Masih Adakah Ruang Di Hatimu’ yang saat ini aku genggam adalah sebuah ungkapan
hati Daisy Listya. Lalu sebuah kalimat dari bibir Listya yang akan selalu ku
kenang sampai kapanpun : ” Saya menangis, saya bahagia karena orang yang saya
cintai sudah mendapatkan kebahagiannya!”.
Fakta di hatiku bahwa Listya masih ada di hati ini, sama seperti halnya Diana
Faria namun fakta dihadapanku saat ini bahwa Kinanti Puspitasari adalah calon
terbaik untuk istriku. Dengan izin Allah, bulan depan Kinanti adalah istriku. Dengan
izinMu juga aku akan memulai hidup baru. Bimbinglah kami ya Allah.
SELESAI