Foto : Hensa/Koleksi Pribadi
EPISODE 3
NAMANYA MUTIARA
Tugas rutinku hari ini
adalah memberikan penyuluhan tentang AIDS di Puskesmas Lokalisasi itu. Mereka
para wanita PSK itu harus diberikan penjelasan bagaimana perkembangan penularan
virus ini. Data dari Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) mencatat,
sebanyak 14 persen dari 4.598 penderita HIV tahun 2012 adalah Ibu Rumah Tangga.
Jumlah tersebut melebihi jumlah dari penderita PSK penderita HIV yang hanya 7,4
persen. Namun demikian jika saja yang 7,4 persen ini bisa dicegah penularannya
maka dampak ke Ibu rumah tangga mungkin akan turun. Sudah jelas yang
menularkannya adalah suami suami mereka yang suka jajan di luar. Penyebaran
penyakit HIV/AIDS di Jawa Timur terbesar berasal dari hubungan heteroseksual
yang mencapai 70,1 persen dibandingkan dengan Pengguna Napsa Suntik (Penasun)
yang penularanya mencapai 21,3 persen. Tidak semua wanita PSK itu hadir dalam
acara penyuluhan itu hanya sekitar 20 orang saja. Selesai acara semua peserta
meninggalkan ruangan itu kecuali ada dua orang yang mendekat menghampiriku.
Ternyata wanita itu adalah Ima dan satunya lagi aku seperti mengenalnya.
Seorang wanita berambut panjang tinggi semampai sepertinya aku pernah bertemu
dengan dia. Belum selesai rasa terkejutku tiba-tiba wanita yang mengaku bernama
Ima itu memperkenalkan temannya.
“Mas kenalkan ini teman
saya!”, kata Ima sambil mengenalkan wanita itu kepadaku.
“Mutiara!”, wanita itu
menyodorkan tangannya sambil tersenyum. Aku sebenarnya masih terkejut ketika
menyambut uluran tangannya. Aku genggam tangannya yang lembut itu.
“Herman!”, kataku menyebut
namaku namun aku masih belum percaya seakan akan seperti sedang bermimpi. Aku
rasanya seperti menyesali mengapa harus bertemu disini dengan wanita cantik
yang sering kulihat di Halte itu.
“Mas Herman ini yang
sering menunggu angkot di Halte depan Rumah Sakit ya?. Juga pernah mau
menabrakku di pintu Perpustakaan Kampus”, kata wanita itu sambil tersenyum.
Wanita yang sering kujumpai di Halte depan Rumah Sakit dan Peprustakaan Kampus
itu bernama Mutiara. Ya Tuhan ternyata dia adalah salah seorang wanita PSK. Aku
rasanya tidak percaya wanita seperti Mutiara berada di sini.
“Iya iya mbak !”, kataku
agak gugup. Sudah berapa hari ini memang aku tidak ketemu dia di Halte itu. Aku
juga tidak tahu saat itu kemana dia namun tiba-tiba malah bertemu dia di sini.
“Beberapa hari ini saya
sakit sehingga tidak ketemu Mas Herman di Halte itu!”, kata Mutiara menjelaskan
sepertinya dia tahu pertanyaan apa yang ada dalam benakku.
Namanya Mutiara sesuai
dengan orangnya cantik, elok dan indah seperti mutiara tapi mengapa dia harus
berada di sini. Ketika beberapa hari ini aku tidak lagi menjumpainya di Halte
itu aku merasa kehilangan. Aku sungguh tidak mengerti benarkah aku jatuh cinta
kepadanya. Jika benar mengapa aku jatuh cinta kepada seorang wanita PSK.
Semakin aku berusaha untuk menghindari perasaan ini maka semakin kuat perasaan
itu tertanam dalam hatiku.
Pertemuan yang bersejarah
itu penuh rasa gembira namun juga rasa pedih. Mengapa aku mengalami pertemuan dengan
gadis itu di tempat yang tidak tepat. Aku seakan tidak percaya Mutiara harus
ada di tempat yang tidak terpuji itu. Beberapa hari ini perasaanku masih
terguncang menghadapi kenyataan bahwa gadis bernama Mutiara itu adalah seorang
Pekerja Seks Komersil. Aku sesungguhnya ingin menghindarinya hanya karena ke-nyataan
ini namun anehnya semakin berusaha menghindar untuk mengingatnya justru semakin
tidak berdaya untuk melupakannya.
Ketidak berdayaanku
akhirnya kupasrahkan kepada-Nya ketika hari berikutnya saat aku bertugas di
Puskesmas itu kembali aku bertemu Mutiara. Aku sempat berkata kepada Mutiara
saat itu agar seusai aku praktek nanti, aku ingin mengobrol sejenak dengannya.
Mutiara mengangguk sambil mengiyakan ajakanku. Tugasku Sabtu pagi itu selesai
sebelum pukul 9, lebih cepat dari biasanya mungkin karena para PSK yang hadir
tidak sebanyak seperti biasanya. Saatnya tiba berbincang dengan Mutiara.
“Terimakasih mbak Tiara
mau menunggu!”, kataku memulai pembicaraan.
“Ah Mas Herman jangan
panggil aku mbak dong. Aku kan lebih muda dari Mas Herman panggil saja Tia atau
Tiara!”, kata Mutiara sambil tersenyum manis. Oh Tuhan senyum itu begitu manis
seakan meluluhkan niatku untuk meninggalkan dan melupakannya. Mutiara mengapa
harus berada di sini.
“Okey Tiara memang usiamu
masih muda seperti ABG ya!”, kataku bercanda. Mutiara tertawa renyah. Tawa yang
wajar bukan tawa seorang PSK yang genit. Mutiara tidak pantas untuk menjadi
PSK. Aku semakin ingin tahu kenapa Mutiara terjerumus ke dalam dunia hitam ini.
“Boleh aku menanyakan
sesuatu Tiara?”.
“Boleh Mas kalau hanya
bertanya namun belum tentu aku bisa menjawab pertanyaan Mas Herman!”, kata
Mutiara.
“Lho kok nggak bisa
jawab?”, kataku heran.
“Iya apalagi kalau
pertanyaannya dari dunia kedokter-an !”, kata Mutiara sambil tertawa. Aku juga
tertawa lepas.
“Tiara tempo hari aku melihatmu
ada di Perpustakaan Kampus!”, kataku.
“Oh iya Mas Herman ada di
sana waktu itu. Aku sedang mencari literature
untuk bahan bahan skripsiku!”, kata Mutiara.
“Tiara ambil jurusan
apa?”, tanyaku.
“Kimia Mas!”, kata Mutiara
singkat. Aku kembali terpana menghadapi kenyataan ini. Dia mahasiswi kimia
tingkat skripsi. Oh ada apa denganmu Mutiara.
“Sesungguhnya aku masih
ingin mengobrol lebih banyak tapi aku harus segera ke Rumah Sakit. Oh ya
bolehkah kita saling bertukar nomor HP Tiara?”, kataku. Mutiara mengangguk dan
menyebutkan nomor selulernya.
Dialog yang singkat namun
sangat berarti bagiku. Setidaknya aku sedikit bisa mengetahui misteri yang
menyelimuti diri Mutiara. Seorang wanita cantik, cerdas, mahasiswi Kimia tingkat
skripsi di sebuah Perguruan Tinggi namun harus terjerumus kedalam dunia hitam
tentu saja ada sebabnya. Suatu hari aku ingin ngobrol lebih lama lagi
dengannya.
Sejak pertemuan itu aku
seringkali bertemu dengan Mutiara di Perpustakaan Kampus atau di Halte depan
Rumah Sakit itu. Aku merasa kagum dengan sikapnya yang tetap tidak merasa
canggung walaupun aku sudah tahu siapa sebenarnya Mutiara. Kadang kadang pernah
suatu hari Mutiara berkeluh kesah tentang perlakuan para Pelanggannya. Bagi
Mutiara rupanya aku ini sudah dirasakannya sebagai orang yang dekat dan tempat
yang tepat untuk mencurahkan semua kegalauannya. Mutiara seperti menemukan
seseorang yang selama ini ia cari sebagai tempat berlabuh semua isi hatinya. Semakin
sering bertemu rasanya semakin akrab dan yang aku takutkan aku jadi semakin
mencintainya. Walaupun sebenarnya aku sadar belum tentu Mutiara juga
mencintaiku. Aku tidak tahu dengan misteri cinta yang diciptakan Allah. Andai
aku tahu tentu saja namanya bukan misteri lagi. Biarlah aku menikmati saja
misteri cintaku ini hingga suatu hari Sang Pemilik Cinta membuka tirai misteri
itu menjadi fakta yang aku mengerti.
Surabaya yang cerah.
Senjanya penuh dengan warna jingga dan Mentaripun tersenyum seperti senyumku
ketika aku melihat Mutiara sudah menunggu di Halte depan Rumah Sakit itu.
“Hai Tiara sudah lama di
sini?”, tanyaku.
“Hai Mas Herman ya lumayan
memang sengaja menunggu Mas Herman!”, kata Mutiara sambil tersenyum.
“Kok mau menungguku?”,
tanyaku menggoda.
“Kepingin ngobrol udah
lama kan gak ketemu!”, kata Mutiara. Aku hanya tersenyum sambil duduk
disampingnya. Halte sore itu tidak begitu ramai. Apalagi beberapa orang sudah
mendapatkan Angkot yang ditunggu mereka.
“Mas Herman tadi pagi
tidak ke Perpus ya?. Aku seharian di Perpus tapi tidak melihat Mas Herman!”.
“Iya tadi pagi aku ada
acara diskusi dengan para Dokter Spesialis kemudian siangnya menemani dokter di
Ruang Operasi!”, kataku menjelaskan. Rupanya Mutiara mulai memperhatikanku.
Buktinya di Perpustakaan tadi dia mencariku. Bagiku ini adalah rasa bahagia di
satu sisi namun juga rasa pedih yang mungkin akan terus berkepan-jangan jika
aku ingat siapa Mutiara.
“Mas Herman sebenarnya aku
ingin bercerita banyak namun kalau di sini waktunya terbatas karena sebentar
lagi aku dijemput teman!”, kata Mutiara.
“Kalau begitu kita bisa
janjian saja kapan Tiara bisa cerita. Insya Allah aku akan menjadi Pendengar
yang baik!”, kataku.
“Mas Herman janji ya mau
menjadi Pendengar yang baik!”, kata Mutiara lagi sambil memandangku. Aku ter
senyum memandang wajahnya yang cantik.
“Baik Mas nanti aku kabari melalui sms !. Ok
Mas aku pamit dulu ya!”, suara Mutiara pamit sambil beranjak dari tempat
duduknya menuju sebuah mobil merk Eropa warna hitam yang sudah menunggunya.
Selama ini aku tidak
pernah memperhatikan siapa Pengemudi mobil itu, namun sekali ini aku sempat
melihat Pengemudi yang selama ini menjemput dan membawa Mutiara. Ya aku ingat
orang itu yang tempo hari bertemu di Perpustakaan. Namanya Ricki mungkin juga
dia seorang mahasiswa teman Mutiara. Ricki berbadan tinggi kekar, tangannya berotot
lebih pantas sebagai seorang Bodyguard
daripada sebagai seorang mahasiswa. Berkecamuk pikiranku tentang apa yang akan
dilakukan Mutiara malam ini. Tentu saja
aku mengerti apa pekerjaan Mutiara. Ricki tadi menjemputnya adalah untuk
keperluan pekerjaannya. Ya Tuhan aku selalu menyebut namaMu berilah aku
pemahaman tentang cinta yang penuh misteri ini. Mengapa aku harus mencintai
Mutiara. Mengapa bukan kebencian yang Kau tanamkan dalam diriku setelah aku
tahu siapa sebenarnya Mutiara. Aku sungguh tidak berdaya hanya Engkau yang
memberdayakanku untuk selalu diberikan kemampuan agar dapat memahami
kehendakMu.
BERSAMBUNG
1 comment:
Novel yang sangat inspiratif...Salam Mas Hensa..
Post a Comment