Saturday, February 22, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 6


Foto : Hensa/Koleksi Pribadi


EPISODE 6
SALAHKAH LANGKAHKU

Sejak pertemuan malam itu, aku semakin akrab dengan Mutiara dan beberapa kali aku bersilaturahmi di Paviliun tempat Kostnya.  Seperti pada malam itu kami mengobrol, bercanda kadang-kadang berdiskusi serius di Ruang tamu itu.
“Mas Herman sudah sebulan ini aku benar-benar meninggalkan pekerjaan kotor itu!”, kata Mutiara.
“Syukurlah Tiara !”, kataku lega.
“Hanya kemarin Ricki marah-marah kepadaku karena aku menolak order  tamu anggota Parlemen dari Jakarta. Sempat kami bertengkar tapi akhirnya Ricki menyerah!”, kata Mutiara.
“Apakah Ricki pernah berlaku kasar kepadamu Tiara?”, tanyaku.
“Tidak pernah Mas!”, kata Mutiara.
Aku tidak bisa membayangkan selama ini tamu tamu Mutiara pasti dari kalangan atas seperti Anggota Parlemen bahkan aku pernah mendengar dari Ima, teman Mutiara yang di Lokalisasi itu bahwa pernah Mutiara di booking seorang Pejabat Tinggi berasal dari sebuah Daerah di luar Jawa yang kebetulan sedang kunjungan dinas di Jawa Timur. Oknum-oknum anggota Parlemen maupun Pejabat- pejabat itu hanya menambah daftar panjang noda hitam yang selama ini di persepsikan Masyarakat terhadap anggota Parlemen dan Pejabat.  Memang hanya oknum namun mereka adalah oknum-oknum yang merusak citra Institusi mereka dan sama sekali tidak pernah memiliki rasa hormat kepada wanita. Mutiara hanya korban dan saat ini dia sudah menemukan lagi dirinya walaupun tidak seutuh dulu. Selama beberapa minggu ini memang Mutiara selalu menolak pekerjaan yang diberikan oleh Ricki dengan alas an sedang mempersiapkan ujian skripsi. Alasan yang cerdas untuk menghindari kemungkaran.
“Lalu perkembangan skripsimu bagaimana Tiara?.
“Minggu depan ini aku ujian skripsi. Tadi pagi aku sudah melihat jadwal ujianku. Doakan ya Mas!”, kata Mutiara.
“Wah selamat Tiara. Skripsinya sudah siap untuk diuji nih?”.
“Mudah-mudahan Mas. Aku sendiri seakan tidak percaya akhirnya skripsiku selesai juga!”, suara Mutiara penuh haru. Aku tersenyum memandang Mutiara. Wanita cantik ini membalas senyumku. Pandangan matanya yang teduh dan senyum manisnya yang memberi khas pada kecantikannya Mutiara.
“Mas Herman, aku sungguh beruntung bisa berteman denganmu. Aku seakan sudah menemukan kembali jalan pulangku!”, kata Mutiara.
“Tiara. Kamu tidak perlu mencari jalan pulang karena kamu tidak pernah kemana mana. Kamu hanya terbelenggu oleh masa lalumu, masa kelammu, masa gelapmu!”.
“Ya Mas. Aku hanya terbelenggu sehingga aku memang butuh seseorang yang mampu melepas belenggu itu!”.
“Tidak perlu seseorang Tiara karena hanya dirimu sendiri yang mampu membebaskan dari belenggu masa lalu kelam itu!”.
“Mas Herman terima kasih. Aku tidak akan mampu keluar dari belenggu itu tanpa bantuanmu!”, kata Mutiara lagi.
“Tiara. Ketahuilah aku hanya seorang perantara saja karena yang membawamu keluar dari dunia hitam itu adalah Tuhan!”, kataku. Aku melihat Mutiara terdiam membisu sambil tertunduk lalu pelan-pelan dia berkata.
“Aku semakin yakin Tuhan akan memaafkanku karena Dialah yang juga membawaku kembali kepadaNya!”, suara Mutiara pelan hampir seperti berbisik.
“Tentu saja Tuhan Maha Pengampun. Jika tidak lalu kepada siapa lagi kita memohon ampunan?”.
Manusia adalah tempatnya dosa dan kesalahan sedangkan Tuhan adalah Maha Suci Sumber segala Kebenaran. Hal itu sudah menjadi ketentuan yang tertulis dalam kitabNya. Mutiarapun pasti akan diberi kesempatan untuk bertobat dan kembali kepadaNya.
 Ujian skripsi bagi Mutiara adalah sejarah yang patut di catat dalam lembaran hidupnya. Perjuangan yang tak kenal lelah hingga harus mengorbankan dirinya sendiri, hari-hari yang pahit dalam hidupnya harus dilaluinya penuh dengan  ketabahan. Maka ujian skripsi ini merupakan titik balik dalam hidupnya. Pada hari itu aku memang sudah berniat menemui Mutiara sebelum dia masuk ke Ruang Sidang skripsi. Mutiara tampak terkejut ketika dia melihatku menemuinya.
“Mas Herman!”, suara Mutiara memanggil namaku penuh rasa gembira.
“Bagaimana Tiara sudah siap maju?”, tanyaku.
“Iya Mas setelah ini giliranku !”, kata Mutiara. Hampir semua mahasiswa yang keluar dari ruangan ujian itu memperlihatkan wajah dengan rasa lega sedangkan yang mau masuk terlihat tegang penuh rasa khawatir.
“Mutiara!”. Namanya terdengar dipanggil untuk bersiap menuju Ruang Ujian.
“Mas Herman, doakan aku ya!”, kata Mutiara sambil berdiri lalu bergegas menuju pintu masuk. Aku berdoa untuk Mutiara semoga semua pertanyaan Dosen Penguji dapat dijawabnya dengan benar. Teringat saat aku ujian skripsi dulu suasananya memang seperti ini. Dapat  dirasakan bagaimana rasa tegang penuh was was, rasa takut tidak bisa menjawab pertanyaan Dosen Penguji, pokoknya bercampur aduk menjadi satu. Aku juga tadi melihat Mutiara merasakan hal yang sama namun lihat saja nanti saat keluar dari Ruang Ujian akan merasakan kelegaan yang luar biasa apalagi sudah dinyatakan lulus.
Satu jam sudah berlalu. Aku berkali kali menoleh ke arah pintu Ruang Ujian itu. Lama sekali Mutiara di dalam sana padahal mahasiswa yang lain satu jam rata-rata mereka sudah selesai. Aku mulai merasakan ketegangan, jangan-jangan Mutiara mendapat kesulitan, dibantai oleh Para Penguji itu. Ya sekarang sudah memasuki satu jam setengah. Tiba-tiba saja aku melihat pintu itu terbuka dan Mutiara berdiri di sana dengan wajah ceria sambil berteriak memanggilku dia berlari ke arahku lalu memelukku.
“Mas Herman. Aku lulus!”, katanya. Aku masih terkejut dalam pelukannya. Belum pernah selama hidupku dipeluk wanita. Aku sebagai anak produk pesantren tentu merasa kikuk mendapat pelukan Mutiara. Pelan-pelan aku lepaskan pelukannya.
“Oh maaf Mas Herman. Aku lupa, kita bukan muhrim ya!”, kata Mutiara tersipu sambil melepaskan pelukannya.
“Iya Tiara tidak apa-apa!”, kataku tersenyum. Lalu akupun menyampaikan selamat atas kelulusan Mutiara.
Aku melihat wanita ini tersenyum bahagia. Lepas sudah belenggu itu dan Mutiara kini sudah mulai menatap ke depan. Akupun selalu mencoba meyakinkan diri ini bahwa Mutiara memang bukan wanita PSK. Andaikata memang Mutiara pernah menjadi wanita seperti itu yang pernah beredar di kalangan high class maka hal itu bukan karena kemauannya. Bagaimana dengan wanita lain semacam Mutiara yang mungkin juga bisa dijumpai pada sebuah Kampus?. Juga mereka tidak menginginkan profesi itu. Mereka hanya korban keadaan yang membuat dirinya frustrasi. Berapa banyak lagi wanita-wanita malang itu yang ada di Lokalisasi bahkan mungkin berkeliaran di keremangan jalan kota dan rel kereta api. Mereka adalah wanita yang perlu sentuhan kasih sayang dan perhatian agar kembali menempuh kehidupan sesuai dengan kodratnya sebagai seorang wanita. Mereka adalah wanita-wanita yang kehormatannya terampas oleh arogansi para lelaki hidung belang. Sangat menyedihkan nasib mereka yang haknya terengut menjadi komoditi para lelaki tidak beradab. Aku sangat setuju jika ada seorang Walikota atau Bupati atau Gubernur yang mau menutup lokalisasi namun bukan hanya itu solusinya. Mereka harus dibina agar bisa mandiri menatap masa depan yang lebih baik dalam naungan Ridho Allah. Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan agama yang kuat, aku sangat hormat kepada wanita karena Ibuku juga seorang wanita.
Siang itu di Kantin Kampus aku diajak Mutiara makan siang.
“Tiara saat ujian itu aku kira kau sedang dibantai sama Dosen-dosen Penguji itu kok ujiannya lama sekali!”, kataku.
“Ya Mas mungkin beliau-beliau itu kagum dengan skripsiku sehingga diskusinya mengasyikkan!”, kata Mutiara.
“Tapi mungkin juga kagum sama kecantikan yang punya skripsi sehingga beliau-beliau betah menguji!”, kataku sambil tertawa.
“Ah Mas Herman ngawur!”, kata Mutiara tersenyum. Aku melihat pipinya merona merah. Sungguh aku belum pernah melihat Mutiara tersipu dan salah tingkah seperti ini. Wajahnya malah kelihatan bertambah cantik. SubhanAllah. Aku kembali tidak percaya mahluk secantik ini harus terjerumus menjadi seorang wanita PSK. Ya Allah, syukurlah dia sekarang sudah keluar dari dunia hitam itu.  
 Malam itu aku harus menyelesaikan laporan tugasku, namun fikiranku masih terganggu oleh peristiwa pelukannya Mutiara tadi siang. Seumur-umur belum pernah aku dipeluk wanita kecuali dipeluk Ibuku. Aku ini pemuda pesantren yang tidak kenal pacaran layaknya anak muda pada umumnya. Kolot?. Tidak apalah orang mengatakan begitu yang penting aku sudah menjalankan ajaran agama yang aku yakini. Namun pelukan Mutiara saat itu aku rasakan sebagai pelukan rasa sayang, bukan pelukan birahi. Ya aku merasakannya seperti itu. Benarkah Mutiara mulai menyayangiku?. Bagiku sendiri, hari hari yang kujalani selalu penuh dengan Mutiara. Apakah aku juga mulai menyayanginya?. Lalu Bunga?. Apakah Bunga hanya cinta saat masa puberku waktu SMP dulu?. Bunga dan Mutiara selalu hadir dalam anganku silih berganti. Oh Tuhan. Kemanakah aku harus melangkah?.



 BERSAMBUNG

No comments: