EPISODE 5
PRAHARA MUTIARA
Saat makan siang di Kantin
Rumah Sakit itu, aku menerima sms dari Mutiara yang isinya ingin bertemu
denganku. Setelah aku melihat jadwal tugasku maka akhirnya aku sepakat bertemu
Mutiara di Rumah Kostnya. Mutiara mengirim sebuah alamat melalui sms agar
malam ini aku bisa ke sana. Aku baru
sadar ternyata alamat yang dia kirim bukan tempat Lokalisasi itu. Mutiara
tinggal di sebuah Paviliun kawasan jalan Bali. Alamat itu dari tempat kostku di
jalan Pucang Anom tidak terlalu jauh. Malam itu sehabis sholat Magrib aku meluncur
menuju ke sana dengan menggunakan sepeda motor teman kostku. Hanya setengah jam
akhirnya aku sampai di alamat yang dimaksud. Sebuah Rumah besar dan sebuah
Paviliun di sebelahnya dengan pintu pagar terpisah dari Rumah induknya. Pintu
pagarnya tidak terkunci maka akupun memarkir sepeda motor itu di halaman dalam.
Aku tekan tombol bel di samping pintu itu. Aku mendengar suara seseorang
berjalan menuju pintu. Ketika pintu terbuka, aku melihat Mutiara berdiri disitu
dengan senyum manisnya. Sejenak aku terpana memandang wanita cantik ini.
Walaupun berpakaian seadanya namun tidak mengurangi aura kecantikannya. Sekali lagi aku tetap tidak
percaya bahwa Mutiara adalah seorang wanita PSK ya Tuhan.
“Mari Mas Herman silahkan
duduk. Mau minum panas atau dingin?”, kata Mutiara menawarkan minuman.
“Minum panas saja! Terima
kasih Tia!”, kataku. Surabya memang masih hujan di akhir bulan ini dan udaranya
lumayan sejuk tidak panas seperti biasanya. Paviliun ini sebuah Rumah kecil ada
Ruang tamu merangkap ruang makan, dapur, Kamar tidur. Paviliun ini mungil namun
terkesan mewah juga. Karena perabotan yang ada kelihatannya kelas satu. Tentu
saja ini menggambarkan penghuni rumah tersebut adalah kelas satu. Tidak berapa
lama Mutiara sudah kembali menemuiku di ruang tamu itu dengan secangkir teh
panas.
“Mas silahkan !”, kata
Mutiara sambil menyodorkan secangkir teh manis.
“Mas Herman terima kasih
sudah mau datang. Tadi tidak nyasar nyari alamat ini!”, tanya Mutiara.
“Tidak Tia. Aku sudah
hafal kawasan disekitar sini!. Karena dulu aku kan sopir Angkot yang rutenya
lewat jalan Bali ini”, kataku sambil ketawa. Mutiara juga tertawa.
Cara dia tertawa sangat
ramah dengan binar matanya yang indah. Mutiara memang sangat cantik. Kecantikan
yang dia miliki bukan kecantikan biasa pada umumnya. Dibalik paras yang cantik
ini seperti tersimpan sejuta misteri sehingga saat dia tersenyumpun kadang aku
melihat ada garis duka yang dalam dibalik senyum itu. Aku baru tersadar dari
lamunanku ketika Mutiara menegurku.
“Hei Mas Herman kenapa
jadi melamun!”, kata Mutiara.
“Oh iya maaf Tia. Aku
bukan, bukan sedang melamun tapi merenung!”, kataku sambil.
“Apa yang kau renungkan
Mas!”.
“Aku berfikir bahwa Tuhan
selalu ada dan hadir dalam seluruh masalah yang kita hadapi!”, kataku.
“Ya Mas. Aku juga yakin
Tuhan selalu hadir dalam semua kejadian yang kita alami. Misalnya aku ditakdirkanNya
bisa berkenalan dengan mas Herman!”.
“Betul Tia. Aku pertama
kali melihatmu di Halte depan Rumah Sakit itu!”.
“Aku juga Mas. Saat itu
aku mempunyai firasat bahwa aku akan bertemu dengan seorang Pria yang baik,
ramah, sopan dan hormat kepada wanita!”, kata Mutiara dan kulihat raut wajahnya
mulai mendung, matanya berkaca-kaca.
“Mas Herman. Selama ini
aku selalu menilai bahwa laki-laki itu adalah mahluk keji, tidak beradab, budak
nafsu dan penjajah yang sempurna bagi wanita!”, kata Mutiara lagi. Aku biarkan
saja dia mengeluarkan semua isi hatinya. Maka akupun menjadi Pendengar yang
baik untuk semua curahan hati Mutiara. Duka nestapanya baik pada masa lalu
maupun yang saat ini sedang dia rasakan tumpah ruah. Akupun memungutnya dengan
utuh satu demi satu. Biar semua kepedihan hatinya segera saja aku buang ke
tempat yang tidak pernah memungkinkan dia temukan lagi.
“Mas Herman sebenarnya aku
tidak mau lagi bercerita tentang peristiwa malam jahamam itu. Mengingatnya saja
aku tidak kuasa apalagi menceritakannya. Namun aku harus bicara untuk Mas
Herman!”, kata Mutiara mulai terisak.
Malam itu bagi Mutiara
adalah malam yang mengeri-kan penuh dengan lumpur dosa maka wajar jika dia
menyebutnya dengan malam jahanam. Sebelum masa kelam itu, masa remaja Mutiara
di Kota Manado itu demikian indah dan manis. Keluarga yang bahagia dan
harmonis. Prestasi belajarnya sangat luar biasa sehingga Mutiara merasa bangga akhirnya
bisa diterima kuliah di sebuah Perguruan Tinggi terkenal di Surabaya seperti
yang dicita-citakannya selama ini. Namun sejak Ayahnya meninggal saat itu dia
sudah kuliah di Surabaya, kebahagiaannya seakan telah terengut. Beban hidup
keluarga harus dipikul oleh Ibunya. Walaupun Ibunya tetap bekerja sebagai
wanita karir namun tetap saja beban yang dipikul terlalu berat. Mutiara bisa
memahami jika Ibunya harus menikah lagi maka diapun memberikan restu. Bagi
Mutiara pernikahan Ibunya penuh dengan harapan perbaikan ekonomi untuk
keluarganya sehingga kuliahnya di Surabaya juga berjalan dengan lancar. Mutiara teringat saat pertama kali bertemu
dengan lelaki calon ayah tirinya. Kesan pertama yang terlintas bahwa dia
seorang lelaki yang ganteng berbadan tegap dan kelihatan bertanggung jawab.
Sangat pantas untuk Ibunya yang hingga kini masih tetap cantik. Hanya ada sedikit
ganjalan bagi Mutiara, mata calon ayah tirinya itu jika memandang Mutiara
seperti sedang menelanjangi dirinya. Mungkin wajar siapapun lelaki akan terpana
jika berjumpa dengan Mutiara, seorang gadis yang molek, rupawan, berkulit putih
dengan rambut terurai dan ramah. Namun jika hal ini dilakukan oleh calon ayah
tirinya maka Mutiara tentu saja akan merasa risih. Sikap itu sangat tidak
wajar. Hampir saja Mutiara ingin mengutarakan hal ini kepada Ibunya namun dia
urungkan. Mutiara hanya berfikir bahwa itu
mungkin hanya perasaannya saja. Ternyata sampai saat ini firasat seorang wanita
jangan diremehkan. Suatu hari Ibunya sedang mendapat tugas dari perusahaannya
ke luar Kota. Saat itu Mutiara sedang berlibur semester di Manado. Mutiara
sudah merasakan firasat tidak baik saat makan malam bersama Ayah tiri dan
ketiga adik laki-lakinya. Ayah tirinya suka mencuri curi pandang dengan
pandangan yang aneh tapi sekali lagi Mutiara mencoba berfikir bahwa itu hanya
perasaannya saja. Di kamar tidur itu Mutiara terlelap hingga saat dini hari yang
sepi itu dia baru tersadar ketika merasakan adanya dekapan kuat bak birahi kuda
jantan liar dan buas yang membuat Mutiara tak berdaya. Mutiara berusaha meronta
namun sia sia. Beberapa saat kemudian Mutiarapun terkulai lemah. Kini Mutiara
ibarat sekuntum bunga yang layu, lusuh penuh dengan debu. Sebuah noda dosa
berwarna merahpun menetes basah diatas sprey putih itu. Hanya tangisan pilu
Mutiara penuh dengan perih dan sedih. Peristiwa malam jahanam itupun harus
terjadi. Bagi Mutiara Ayah tirinya adalah seorang biadab lebih buas dari
binatang buas manapun.
“Sejak itu aku sudah tidak
pernah lagi berhubungan dengan keluargaku di Manado!. Aku sampai saat ini masih
menaruh rasa dendam terhadap lelaki!”, kata Mutiara ditengah-tengah isak tangisnya.
Aku masih terdiam mendengar cerita memilukan ini.
Menghilangkan trauma
akibat perkosaan membutuh-kan waktu yang lama. Aku kagum kepada Mutiara yang
begitu tegar bercerita kembali peristiwa traumatis itu. Dia begitu lancarnya
bercerita peristiwa pedih itu dan aku adalah orang yang dia percaya untuk
mendengarkan isi hatinya.
Sebagian besar wanita yang mengalami
perkosaan tak pernah bisa melupakan peristiwa pedih tersebut seumur hidupnya. Apalagi
bagi Mutiara, yang merengut dengan paksa mahkota gadisnya adalah Si Biadab Ayah
tirinya. Sungguh memilukan. Tentu saja efek dari tindakan biadab itu telah
merasuk ke seluruh sendi kehidupannya. Bisa jadi Mutiara memilih untuk tidak
menikah selama lamanya. Akibatnya trauma itu Mutiara menganggap bahwa setiap
pria adalah sama, jahat, kejam dan tak bisa lagi dipercaya.
“Mas Herman, aku ini
wanita yang sudah berlumur dengan dosa. Sangat terhina. Apakah Tuhan mau
memaafkanku jika aku kembali ke jalanNya!”, tanya Mutiara seolah bertanya
kepada dirinya sendiri.
“Tia, tentu saja Tuhan itu
Maha Pemaaf tinggal kita melakukan taubat dan kembali kepadaNya!”, kataku.
“Apa yang kulakukan selama
ini hanya sekedar untuk bertahan hidup namun ternyata jalan ini adalah jalan
sesat!. Aku telah salah melangkah”, kata Mutiara lagi.
“Tia yang penting kamu
sudah mau menyadari karena masalah dalam hidup itu bukan untuk dibiarkan,
tetapi harus dihadapi dengan segala resiko yang harus dijalani!”, kataku.
“Mas Herman jujur saja
saat aku mengikuti penyuluh-an di Puskesmas itu ada rasa damai mendengar tutur
kata yang keluar dari seorang lelaki yang baik penuh ketulusan!”, kata Mutiara.
Aku terharu mendengar penuturan jujurnya tentang diriku.
Kehidupan selalu
menawarkan harapan bagi siapa saja yang terus bersungguh sungguh dalam berupaya.
Buanglah semua fikiran dan pandangan yang melemahkan. Ambillah hal hal yang
secara nyata akan membawa keluar dari
masalah rumit yang tidak bisa selesai dalam hitungan detik. Yakinlah bahwa
Allah sebaik baik Penolong.
Sejak pertemuan malam itu
aku semakin simpati dengan nasib Mutiara. Aku semakin bertekad untuk memberikan
semangat kepadanya apalagi Mutiara sudah bertekad ingin kembali ke jalan yang
penuh kedamaian.
Tugas rutinku di Puskesmas
Lokalisasi siang itu aku jalani dengan lancar. Selama melakukan penyuluhan
mataku memandang ke setiap penjuru Ruangan namun tak kutemukan Mutiara.
Dimanakah dia?. Saat aku membuka HP
untuk mengirim sms kepada Mutiara tiba-tiba terdengar seseorang menyapaku.
“Mas dokter Herman!”,
suara Ima, salah seorang penghuni Lokalisasi yang juga teman baiknya Mutiara.
“Oh ya Mbak Ima!. Ada apa?”.
“Ada salam dari Tia. Tidak
bisa hadir hari ini!”.
“Ya terima kasih mbak Ima.
Memangnya kenapa Tia tidak datang!”.
“Tia sebenarnya sudah
keluar dari sini. Memang selama ini dia tidak tinggal di sini. Namun Bos disini
suka memberi kerjaan untuk tarif yang tinggi!”, kata Ima.
“Maksudnya keluar tuh
bagaimana mbak?”.
“Iya Tia sudah berhenti
bekerja di sini namun saya tidak tahu apakah dia masih bekerja untuk Ricki!”,
kembali Ima menjelaskan.
Aku baru tahu Mutiara ternyata punya dua orang Germo. Salah satunya adalah Ricki. Aku
sudah menyangka Ricki bukan mahasiswa yang selama ini aku kira. Aku harus
berhati-hati dengannya karena mungkin saja dia akan selalu menghalangi Mutiara
untuk berhenti bekerja. Mutiara adalah tambang emasnya yang harus dipertahankan
mati-matian. Tantangan berat di depan telah menghadangku. Bagai-manapun kini
rasanya lega hatiku. Mutiara sudah mendapatkan lagi petunjukNya.BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment