Foto Fiksiana Community
Tantangan
100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh
Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode
21
INIKAH PELABUHAN AKHIR CINTAKU
Dalam
dua pekan ini hampir setiap malam Kinanti selalu menyempatkan menelponku.
Setiap itu pula diakhir dialog selalu ditutup dengan isak tangis. Aku dapat
merasakan betapa sakit hati Kinanti yang luar biasa menerima perlakuan
penghianatan di depan matanya. Sedalam apa luka yang ada dalam hatinya aku
bertekad untuk menyembuhkannya. Sebagai sahabat sejatinya, aku selalu setia
setiap saat mendengarkan apa yang dirasakan hatinya.
Seperti
malam ini aku berdialog dengan Kinanti melalui ponsel.
”Belum
tidur Alan?” tanya Kinanti.
”Belum
Kinan, nggak tahu nggak bisa tidur nih. Padahal koreksian skripsinya mahasiswa
sudah beres semua..!” kataku.
”Aku
juga beberapa hari ini selalu tidur diatas tengah malam walaupun tidak ada yang
harus aku kerjakan. Terus terang rasa sakit hati ini begitu sulit hilang!”
suara Kinanti lirih.
”Kinanti
yang aku kenal adalah Kinanti yang tegar. Aku yakin Kinanti yang aku kenal ini
dengah mudah dapat melupakan Si Penghianat itu!” kataku.
”Alan
kalau Si Penghianat itu sudah aku hilangkan dari hatiku tidak ada satu ruangpun
dalam hatiku untuk dia sampai kapanpun!” kata Kinanti.
”Lalu
sekarang ruang hatimu sedang kosong dong!” tanyaku mulai menggoda.
”Ruang
hatiku sekarang sudah kembali terisi dan jangan harap kepada yang lain untuk
mencoba hadir di sana!” kata Kinanti.
”Oh
berarti sudah tidak ada harapan nih!” tanyaku lagi.
”Entahlah
Alan tanya saja kepada dirimu sendiri!” suara Kinanti sambil tertawa.
Begitulah
dialog malam dengan Kinanti berisi percakapan yang hanya sekedar melepas sesak
di dada bagi Kinanti dan melepas rindu bagiku.
Sebulan
sudah peristiwa sangat memilukan itu berlalu. Terakhir aku bertemu lagi dengan
Kinanti di Bandung dan aku bersyukur wanita ini sudah mulai kembali pulih.
Kegembiraannya, keceriaannya dan wajah bahagianya sudah terlihat dalam sikap
sehari harinya. Aku sangat bahagia melihat Kinanti seperti kembali terlahir.
Aku memang dari awal sudah yakin Kinanti adalah wanita yang tangguh. Intan,
putri Kinanti pernah berkata bahwa ibunya sudah kembali ceria karena banyak
dibantu olehku. Menurutku tidak juga mungkin aku hanya sedikit membantu namun
yang menolong Kinanti adalah dirinya sendiri yang selalu yakin akan
pertolonganNya jauh lebih sempurna. Selama ini aku sering menelpon Kinanti
hanya sekedar ingin mendengarkan curahan beban hatinya agar bisa terbagi
untukku. Memang aku bisa merasakan setiap Kinanti menerima telepon dariku ada
rasa kegembiraan dari nada bicaranya. Kinanti seakan memang selalu menunggu
telepon dariku. Apakah ini saatnya aku kembali mengetuk pintu hatinya?. Jangan
dulu biarlah waktu terbaik nanti yang akan datang pada saatnya.
Dua hari
ini aku harus menghadiri acara workshop tentang Akreditasi untuk Perguruan
Tinggi Jawa Timur di sebuah Hotel kota Batu. Jumat sore acarapun sudah selesai
namun sebelum aku kembali ke Surabaya aku ingin menikmati sore yang cerah di
Kota Malang. Memang fenomena macet sekarang ini sudah dimana-mana. Turun dari
Kota Batu sudah dihadang macet di daerah Dinoyo menuju kota bertambah lagi
macet di pertigaan Universitas Brawijaya yang tidak ber traffic light itu. Di
pertigaan ini kendaraan yang mau lurus harus belok ke kiri dulu baru berputar
balik kanan. Setelah berjuang melepaskan diri dari kemacetan akhirnya aku
terdampar di Matos – Malang Town Sequere yaitu sebuah Mall yang cukup terkenal
bagi warga Malang yang lokasinya ada di kompleks Universitas Brawijaya. Mobil aku parkir di lantai dua karena lantai
dasar sudah penuh. Mall besar ini penuh dengan pengunjung. Banyak muda-mudi
bahkan pelajar yang masih berseragam mungkin pulang sekolah langsung menuju ke
Mall ini. Aku memang hanya sekedar refreshing saja. Melihat-lihat pakaian di
sebuah Butik khusus Busana Muslim. Aneka jilbab dengan warna warni dan berbagai
model.
”Pak apa
yang bisa saya bantu?” suara karyawati Butik menawarkan bantuannya.
”Oh ya
saya hanya lihat-lihat dulu!” kataku.
”Mbak,
mbak yang ini berapa?” terdengar suara wanita di belakangku memanggil karyawati
Butik itu.
”Maaf
Pak silahkan lihat-lihat dulu sementara saya melayani Ibu yang di sana dulu!”
kata Karyawati itu sambil menghampiri wanita yang tadi memanggilnya. Akupun
menengok ke belakang. Aku tidak tahu apakah dunia ini sempit atau memang Kota
Malang yang sempit. Ternyata wanita itu adalah Daisy Listya. Ah seperti dalam
Sinetron di Televisi saja. Aku tersenyum sendiri. Diam-diam aku perhatikan
Listya yang sedang memilih busana muslim dan jilbab. Listya sendirian tidak
terlihat Rizal, suaminya. Aku segera menghampirinya.
”Assalaamu
alaikum Bu Rizal!” sapaku dengan ramah. Listya menoleh dan nampak dia terkejut.
”Wa
alaikum salaam Pak Alan!” kata Listya setengah berteriak. Aku melihat wajahnya
yang cantik itu berbinar. Listya memang benar-benar terkejut bisa bertemu
denganku. Bukan dia saja yang terkejut aku juga demikian. Ah dasar seperti
Sinetron di Televisi saja ya he he he.
”Bagaimana
khabar Pak Profesor?” tanya Listya sambil tersenyum. Ya Allah rasanya lamaaaaa
sekali aku tidak menikmati senyum wanita yang aku kagumi ini.
”Alhamdulillah
baik bagaimana denga Bu Rizal?” tanyaku balik.
”Alhamdulillah
baik juga Pak. Oh ya Bu Kinan baik-baik juga Pak. Saya waktu itu terima kabar
dari Bu Kinan tentang batalnya pernikahannya itu. Saya turut prihatin!” kata
Listya.
”Bu
Kinan sekarang sudah berangsur baik dan mulai bisa melupakan yang sudah
terjadi. Kita doakan saja. Oh ya Listya sendirian?. Mas Rizal tidak ikut
menemani?” tanyaku.
”Mas
Rizal sudah dua bulan ini di rumah saja harus istirahat karena cek terakhir
adaptasi ginjalnya yang baru sedang mengalami hambatan medis. Setiap Minggu
diharuskan cuci darah. Mudah-mudahan bisa pulih kembali!” kata Listya.
”Iya
Listya semoga Mas Rizal kembali pulih!” kataku. Aku sengaja tidak melanjutkan
dialog tentang Rizal karena aku lihat Listya kelihatan murung membicarakan
tentang suaminya. Pembicaraan beralih ke bisnis Apotiknya.
”Alhamdulillah
Apotik kami lancar lancar saja. Omzetnyapun lumayan Pak!” kata Listya.
”Syukurlah
Listya. Semoga selalu mendapatkan barokah Allah aamiin!” kataku mendoakan untuk
kemajuan bisnis Apotiknya.
”Oh ya
Pak Alan apakah dapat Undangan Pernikahan Audray?” tanya Listya.
”Audray
menikah?. Saya belum dapat Undangannya!” kataku.
”Saya
juga memang belum menerima Undangannya hanya kemarin Audray telepon saya agar
bisa hadir dihari Pernikahannya bulan depan!”kata Listya.
”Mungkin
nanti Undangannya baru beredar!. Wah senang sekali akhirnya Audray dapat juga
jodoh terbaiknya!” kataku tanpa ekspresi.
”Lalu
Pak Alan kapan mendapatkan jodoh terbaiknya?” tanya Listya. Pertanyaan yang
telak membuatku tidak berkutik dan aku hanya tersenyum tenang.
”Listya
Inshaa Allah suatu hari akan hadir jodoh terbaikku doakan ya!” kataku. Listya
hanya terdiam dan aku melihat kembali ada kemurungan di wajahnya. Melihat
gelagat ini aku segera mengalihkan pembicaraan ke soal Apotik lagi.
”Lis
apakah Apotiknya sudah bisa melayani Askes?” tanyaku.
”Iya Pak
bulan ini sudah mulai kerja sama dengan PT Askes untuk melayani kesehatan bagi
rakyat kecil. Keuntungannya kecil juga namun pahalanya besar!” kata Listya
sambil tertawa.
”Kesehatan
ini memang menjadi persoalan Nasional yang harus menjadi prioritas utama. Calon
Presiden nanti yang ingin terpilih oleh rakyat harus bisa mewujudkan pelayanan
kesehatan bagi rakyat kecil!” kataku.
”Setuju
Pak. Kok jadinya seperti kampanye Capres!” kata Listya kembali tertawa. Tawa
Listya yang lepas. Ah rasanya suasana seperti ini begitu aku rindukan bercanda
dengan Listya seperti saat dia masih menjadi Mahasiswiku dulu. Namun waktu
tidak mungkin diputar kembali ke belakang.
Pertemuan
dengan Daisy Listya di Mall itu membuat semua kenangan bersamanya dulu seakan
kembali ada di hadapanku. Namun aku harus kembali ke alam nyata. Berpijak di
bumi yang nyata. Daisy Listya sudah menjadi masa laluku sama seperti Diana
Faria. Sudahlah Alan Erlangga kini masa depanmu adalah Kinanti Puspitasari.
Untuk mendapatkan masa depanmu pun Alan Erlangga harus tetap berjuang. Untuk
mendapatkan cinta Kinanti Puspitasari tetap harus kau perjuangkan Alan!.
Perjalanan
dari Malang menuju Surabaya melalui jalan Tol baru pengganti jalan raya Porong,
lumayan lancar dengan waktu tempuh sekitar dua jam padahal dulu biasanya bisa
sampai tiga empat jam saat Tol baru belum selesai. Alhamdulillah aku tiba di rumah
dengan sehat dan selamat. Setelah mandi dan sholat akupun menikmati secangkir
teh panas yang sudah disediakan Si Mbok. Sebenarnya makan malampun sudah
tersedia di meja makan tapi rasanya aku masih kenyang sehingga semua menu makan
malam di meja makan itu sama sekali tidak aku sentuh.
Malam
ini terasa begitu panjang. Seharusnya rasa lelah yang mendera tubuhku ini
segera mengantarkanku tertidur lelap, namun anehnya aku justru merasakan rasa
segar dan gembira. Aku tidak tahu mengapa demikian, apakah mungkin karena faktor bertemu dengan Daisy
Listya tadi sore itu. Bisa juga iya karena aku memang tidak bisa menyembunyikan
perasaanku ini apalagi ini fakta bahwa Daisy Listya tidak bisa begitu saja
harus hilang dari lembaran hidupku. Diana Faria saja yang sekarang sudah tiada
masih saja terasa hadir ada dalam hatiku apalagi Daisy Listya. Apakah ini
berarti Kinanti Puspitasari tidak memiliki arti bagiku?. Nanti dulu karena ini
juga fakta bahwa Kinanti adalah satu-satunya wanita saat ini yang sangat
realistis menjadi masa depanku. Ya hanya Kinanti yang mungkin saat ini akan
menjadi perjuangan cinta terakhirku. Benarkah?. Hanya Allah yang Maha Tahu aku
hanya bisa berkata : ”Bismillah......!”.
BERSAMBUNG
Episode 22
1 comment:
Pak Alan, sang Profesor. smoga cepat dapat jodoh.he he He
Post a Comment