Foto Hensa
Tantangan
100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh
Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode
25
ADA CINTA DI TAMAN SAFARI PANDAAN
Ternyata
benar, baru saja sehari kami berpisah rasa rindu untuk bertemu itu terbukti.
Malam itu Kinanti menelponku. Seperti ada yang lain malam itu aku begitu
bahagia menerima teleponnya bak seorang ABG yang memang sedang menunggu telpon
dari kekasihnya.
”Wa
alaikum salam!” aku menjawab salam Kinanti.
”Alan
sedang apa kamu?” tanyanya.
”Aku
sedang menerima telponmu!” kataku bercanda. Terdengar suara Kinanti tertawa.
”Alan
hari Rabu dan Kamis besok aku menghadiri Seminar Tanaman Obat di Denpasar. Rencananya
mau mampir ke Surabaya!” kata Kinanti.
”Rencana
yang bagus. Aku juga sebenarnya mendapat undangan Seminar tersebut tapi tidak
bisa hadir namun ada temanku yang mewakili. Kalau Seminarnya di Bandung pasti
aku akan hadir!” kataku mulai nyerempet nyerempet lagi.
”Memang
apa istimewanya Bandung?” tanya Kinanti.
”Bandung
sangat istimewa karena di sana ada wanita yang sangat aku kagumi dan cintai!”
kataku.
”Oh iya
aku tahu. Maksudmu wanita yang sangat kau cintai dan kagumi itu adalah Ibumu
ya!” kata Kinanti sambil tertawa. Aku juga tertawa mendengar jawaban Kinanti
yang tak terduga itu, padahal yang kumaksud bukan hanya Ibuku tapi juga
dirinya. Semakin terasa bagiku kini Kinanti mulai bisa membuka hatinya untukku.
Benarkah? Jawabannya harus dibuktikan dengan keberanianku untuk mengutarakan
cintaku. Namun apakah Kinanti kali ini mau menerima cintaku? Apakah aku akan
kembali menerima penolakannya dan dia hanya menganggapku hanya sebagai sahabat
terbaiknya. Alan ayo maju terus pantang mundur. Alan harus yakinkan dirimu akan
ketulusan niatmu. Perbuatan baik pasti akan menghasilkan kebaikan pula.
Sabtu
pagi udara begitu cerah. Cuaca yang sangat mendukung keceriaan Kinanti. Aku
bisa melihat dan merasakan betapa Kinanti begitu ceria dipagi hari ini. Jumat
sore itu aku memang tidak bisa menjemput Kinanti di Bandara Juanda namun Sabtu
pagi ini aku sudah berada di Jalan Sulawesi, siap untuk menjemput di tempat
kediaman Pamannya tentu saja untuk mengajak Kinanti ber week end ria. Semua agenda Laboratorium yang biasa aku kerjakan
pada Sabtu itu, sengaja aku tunda. Sabtu ini khusus akan aku persembahkan untuk
Kinanti. Sudah sepakat acara kami mengunjungi Taman Safari di Pandaan yang
letaknya antara Surabaya - Malang.
Perjalanan
dari Surabaya menuju Pandaan relatif lancar. Hanya dalam waktu satu setengah
jam kami sudah tiba di sana. Menggunakan mobil khusus Taman Safari, kami
berkeliling bersilaturahmi menemui Singa, Macan, Gajah, Jerapah dan semua
binatang yang ada di sana namun sebenarnya bagiku tidak ada yang istimewa.
Selama di Taman Safari itu aku justru lebih banyak memperhatikan Kinanti yang
kelihatan menikmati sekali liburan dengan udara sejuk pegunungan. Wajah wanita
cantik ini kelihatan ceria penuh dengan kegembiraan. Kadang kadang Kinanti
tertawa lepas diantara dialog yang sengaja aku ucapkan penuh kelucuan. Melihat
hal ini aku bersyukur ternyata Kinanti sudah bisa melupakan kekecewaannya
karena kegagalan pernikahannya tempo hari. Setelah lelah berkeliling aku
mengajak Kinanti duduk santai di sebuah cafe kecil yang di depannya ada sungai
kecil dengan air jernih yang mengalir ke hilir. Sebuah Mushalla walaupun mungil
namun bersih tertata bisa digunakan pengunjung untuk Sholat. Aku dan Kinanti
pun sempat sholat Dhuhur di sana.
”Kinanti
jangan tanya menu makanan Priangan di sini ya!” sambil aku serahkan daftar menu
makanan. Kinanti tersenyum sambil mengambil daftar menu yang aku sodorkan.
”Nah ini
Rawon Setan! Dulu aku pernah di ajak makan Rawon setan waktu di Surabaya!” kata
Kinanti.
”Oh iya
waktu itu Kinan pertama kali makan rawon. Tapi belum pernah makan setan he he
he..!” kataku sambil ketawa. Kinanti tertawa.
Sungguh
aku melihat Kinanti bahagia sekali. Aku merasakan ada yang lain dengan Kinanti.
Saat ini sikapnya kepadaku begitu penuh harap seolah dia sedang menunggu nunggu
wujud sikap dan niatku dulu yang pernah aku utarakan kepadanya. Aku harus
memaklumi tidak mungkin Kinanti membuka duluan lembaran lama tersebut. Akulah
yang harus membuka lembaran tersebut dan memulainya lagi untuk mengeja dan
membaca hatinya.
Selama
menikmati makan siang itu berkali kali aku mencuri pandang menikmati kecantikan
wajah Kinanti. Maha Besar Allah yang telah menciptakan mahluk secantik ini.
Kinanti dari sejak SMA dulu sampai sekarang dalam usianya yang sudah kepala
empat masih tetap cantik. Andaikan Kinanti berdampingan dengan anak gadisnya,
Intan Permatasari, mereka bak kakak beradik. Orang tidak akan menyangka kalau
Kinanti adalah Ibunya. Kinanti dengan mata yang teduh kalau memandang tajam,
hidung bangir dan bibir selalu berhias senyum. Aku lah lelaki yang dulu waktu
SMA jatuh cinta kepadanya.
”Hei Alan
kenapa kamu bengong begitu!?” suara Kinanti membuatku terkejut dan membuyarkan
semua angan dan lamunanku.
”Tidak
apa apa!” kataku agak gugup juga ketahuan kalau lagi memperhatikannya.
”Melamun
siapa Alan?” tanya Kinanti sambil tersenyum.
”Iya
melamun. Ingat teman waktu SMA dulu!” kataku.
”Oh ya pasti
namanya Kinanti Puspitasari ya. Gadis yang pernah menolak cintamu!” kata
Kinanti sambil melirikku menggoda.
”Tepat!”
kataku sambil tertawa karena Kinanti sudah mendahului apa yang akan kukatakan.
”Lalu
Alan melamunkan apanya?” tanya Kinanti. Aku bertambah tertawa mendengar
pertanyaan Kinanti ini.
”Aku
sebenarnya malu kepada diri sendiri kalau ingat peristiwa itu!” kataku sedikit
agak serius.
”Lho
kenapa malu Alan?” kata Kinanti.
”Kalau
saja tahu sebelumnya aku mau ditolak oleh gadis cantik itu, teman SMA ku itu
yang sampai sekarang aku masih mengaguminya. Aku pasti tidak akan mengatakan cintaku!”
kataku.
”Oh
berarti Alan tidak mencintai gadis teman SMA nya itu!” kata Kinanti.
”Bukan
itu. Maksudnya begini, aku waktu itu langsung saja melamarnya menjadi istriku!”
kataku. Aku lihat Kinanti tersenyum manis.
”Kalau
tetap ditolak bagaimana!” kata Kinanti.
”Tidak
apa apa ditunggu saja sampai lamaranku diterima!” kataku.
”Sampai
kapan menunggunya?” tanya Kinanti mulai menyelidik.
”Sampai
gadis teman SMA ku itu mau menerima lamaranku!” kataku mantap.
”Okey
Alan nanti aku sampaikan ya kepada gadis teman SMA mu itu!” kata Kinanti sambil
tertawa kecil.
Mendengar
jawaban Kinanti walaupun dalam bentuk gurauan namun membuatku merasa lega. Aku
seakan kembali memiliki harapan. Inshaa Allah inilah saatnya aku mengutarakan
kembali niat tulusku untuk menjadikan Kinanti teman hidupku.
Sore itu
kami meninggalkan Taman Safari kembali menuju Surabaya. Setiap Sabtu sore sudah
biasa volume kendaraan semakin padat menuju tempat tempat rekreasi di Malang.
Untung saja aku berkendaraan melawan arus yaitu menuju Surabaya jadi relatif
lancar sampai tujuan. Sesampai di Tol Waru aku menawarkan Kinanti untuk singgah
ke Rumahku di Mananggal. Kinanti setuju dan kamipun menuju ke sana.
”Silahkan
Kinan!” kataku mempersilahkan Kinanti
masuk.
”Mau
minum teh atau kopi?” aku menawarkan minuman.
”Teh
saja terima kasih!” kata Kinanti. Aku menuju kebelakang meminta Si Mbok untuk
membuatkan minuman lalu kembali menemui Kinanti di ruang tamu.
”Alan
boleh aku tanya?” kata kinanti.
”Boleh!
Mau tanya apa?”
”Aku
sudah dua kali ke rumahmu ini tapi tidak ada sebuah fotopun di ruang ini yang
kumaksud foto Diana Faria. Maaf Alan aku bertanya seperti ini!” kata Kinanti.
”Tidak
apa apa Kinan. Dulu foto Diana Faria ada di ruang kerjaku tapi sekarang sudah
lama aku simpan!” kataku menjelaskan kepada Kinanti.
”Alan
bolehkah aku berkenalan dengan Diana Faria walaupun hanya melalui foto!” kata Kinanti
sambil memandangku. Aku mengangguk lalu bergegas mengambil foto Diana Faria di
Box pribadiku yang terkunci rapi. Aku menyerahkan foto itu kepada Kinanti.
”Seorang
wanita yang cantik wajahnya lembut dengan senyum menawan. Iya Daisy Listya
mirip dengan Diana Faria hanya Diana kulitnya lebih putih. Alan sungguh
berbahagia dicintai oleh wanita seperti Diana Faria!” kata Kinanti sambil
memandang foto itu tak berkedip.
”Ya
Kinan terima kasih. Diana Faria sudah ditakdirkan Allah bukan menjadi jodohku
walaupun dia mencintaiku. Aku harus ikhlas menerima takdir ini. Sekarang ini
aku hanya ingin menunggu takdir Allah yang lain!” kataku mulai serius. Aku
masih melihat Kinanti memandangi foto Diana Faria tidak berkedip.
”Hidup
ini begitu penuh dengan misteri!” kata Kinanti sambil matanya masih memandang
foto itu. Kelihatan mata Kinanti mulai berkaca-kaca. Entah apa yang dirasakan
Kinanti saat ini. Kinanti mulai hanyut dalam perasaannya sendiri.
”Alan
aku juga sedang menunggu takdir Allah yang lain untukku!” kata Kinanti.
”Kinan
yakinlah takdir Allah itu pasti yang terbaik untuk hambaNya!” kataku. Kinanti
masih memandang foto Diana Faria.
”Aku
seakan bisa merasakan cinta Diana Faria yang sangat tulus kepadamu Alan sama seperti
cintanya Daisy Listya!” kata Kinanti lagi.
”Andai
aku juga mencintaimu Alan namun tidak seperti cintanya Diana Faria dan Daisy
Listya!” kata Kinanti mulai terisak. Mendengar ini sungguh aku terkejut.
Perlahan aku pegang kedua tangannya sambil aku tatap tajam wajah Kinanti.
”Kinan
cinta seorang hamba Allah tidak bisa disetarakan satu sama lain karena cinta
itu hanya milikNya!” kataku.
”Aku hanya
tidak pantas untukmu Alan!” kata Kinanti.
”Kinanti
pandanglah aku!” Kinanti memandangku dengan air mata yang masih berlinang di
pipinya.
”Aku
sungguh mencintaimu dan beritikad untuk menjadikanmu istriku, teman hidupku. Apakah
kau bersedia?” kataku.
”Alan
setelah Diana tiada, cintamu itu ada dalam diri Daisy Listya. Dua wanita ini
seperti hidup dalam zaman yang berbeda. Aku masih belum pantas!” suara Kinanti
lirih. Aku memegang tangannya lebih erat lagi.
”Dengar
Kinan, mereka sudah menjadi masa laluku. Masa depanku adalah Kinanti
Puspitasari. Aku akan menunggumu sampai kau menganggukkan kepala untuk menerima
cintaku!” kataku.
”Alan
benarkah kau mencintaiku?” tanya Kinanti seolah ragu dengan apa yang aku
ucapkan.
”Sudahlah
Kinanti berhentilah menangis. Aku yakin kau sudah bisa merasakan betapa aku
selalu mengharapkanmu menjadi istriku. Kinanti Puspitasari adalah takdirku
dariNya!” kataku sambil menghapus air mata dipipinya.
”Kinanti
tersenyumlah!” pintaku sambil aku memandang wajah cantiknya. Kinanti mulai
tersenyum dan aku merasa lega satu himpitan di dadanya sudah lepas. Aku juga
sudah merasakan kelegaan suasana hatinya.
”Aku
sudah mendapat izin dari Daisy Listya tentu saja juga harus mendapat izin dari
Diana Faria!” kata Kinanti.
”Kalau
begitu sapalah Diana Faria yang ada dalam pangkuanmu. Mintalah izin padanya
agar Alan Erlangga diizinkan menjadi suamimu!” kataku. Mendengar ini Kinanti
tersenyum lalu kembali memandang foto yang ada dalam pangkuannya.
”Alan
bantulah aku untuk menghilangkan rasa ragu ini bahwa aku mencintaimu!” kata Kinanti.
”Inshaa
Allah Kinanti. Jangan ada lagi keraguan bahwa kau adalah TakdirNya untukku!”
kataku memberikan keyakinan kepada Kinanti.
Ruangan
itupun sekarang penuh dengan senyum dan kebahagiaan. Sungguh hanya kebesaran Allah semata jika
saat ini semua relung di hatiku penuh dengan keluasan untuk menerima tulusnya
sebuah cinta.
Suara
Adzan dari Masjid Al-Akbar pun adalah ungkapan kebesaranNya. Suara Adzan itupun
memanggilku untuk bersimpuh kepadaNya. Aku dan Kinanti bergegas menuju Rumah
Allah untuk bersimpuh di sana mensyukuri pemberian TakdirNya. SubhanAllah.
Seusai
sholat Magrib itu aku mengantar pulang Kinanti kembali ke tempat kediaman
Pamannya di Jl.Sulawesi. Hanya sebentar berbincang dengan Paman dan Tantenya
aku segera berpamitan sehingga aku tiba di rumah belum terlalu malam. Hari yang
melelahkan namun begitu indah terasa. Alhamdulillah akhirnya Kinanti telah
membuka isi hatinya. Alhamdulillah ya Allah aku mohon keridhoanMu agar Kinanti
menjadi istriku. Malam itu terasa panjang karena aku memang tidak bisa
memejamkan mata. Minggu sore Kinanti sudah kembali ke Bandung. Tentu
selanjutnya aku semakin merindukannya untuk setiap hari hari yang aku lewati.
Subuh
itu aku bersyukur masih bisa bangun pagi dan sholat berjamaah seperti biasanya
di Masjid Al-Akbar. Pulang dari Masjid masih sempat pula ber olah raga ringan.
Rencana hari Minggu ini aku dan Kinanti hanya ingin menghabiskan waktu di
Surabaya. Ketika baru saja selesai sarapan Kinanti menelponku.
”Alan
ada kabar duka. Rizal meninggal dunia pagi Subuh tadi. Aku baru saja menerima
kabar dari Listya!” kata Kinanti.
Inna
lillaahi wa inna ilaihi roo jiuun. Ya Allah semoga Rizal Anugerah diterima
semua amal ibadahnya dan keluarga yang ditinggalkan mendapat ketabahan terutama
Listya. Mendengar berita duka ini aku hanya bisa termenung. Pagi itu aku dan
Kinanti segera meluncur ke Malang menuju rumah duka. Dalam perjalanan menuju
Malang aku melihat Kinanti banyak diam. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
”Kinan
sedang melamunkan siapa?” aku mencoba bertanya.
”Sedang
merasakan dukanya Listya!” kata Kinanti.
”Duka
Listya adalah duka kita juga!” kataku.
”Aku
teringat Listya sering mencurahkan isi hatinya tentang hambarnya sebuah
perkawinan. Apakah ini jawaban Allah atas doaku agar Listya suatu hari akan
mendapatkan harapannya selama ini!” kata Kinanti.
”Kinanti
biarlah Listya mendapatkan keikhlasan dengan takdirnya. Kita hanya bisa berdoa
agar Listya selalu mendapat kekuatan dari Allah!” kataku.
”Ya Alan.
Semoga!” kata Kinanti pendek.
Sesampainya
di Rumah duka aku dan Kinanti menemui Listya dan menyampaikan rasa duka yang
mendalam. Rizal Anugerah setelah seminggu mengalami koma akhirnya menghembuskan
nafas terakhir. Semoga ini jalan terbaik untuknya setelah mengalami penderitaan
yang panjang. Demikian pula untuk Listya semoga ketabahan selalu ada dalam
hatinya.
”Listya
tabahkan hati ya ikhlaskan Mas Rizal. Ini adalah jalan yang terbaik dari
Allah!” kataku menghibur.
”Terima
kasih pak Alan!” kata Listya disela isak tangisnya. Kemudian Listya menghampiri
Kinanti.
”Bu
Kinan!” Listya menangis dipelukkan Kinanti.
Aku
hanya bisa memandang dua wanita cantik ini berpelukan. Mereka adalah dua wanita
berbeda usia. Keduanya sangat dekat dengan hatiku. Keduanya adalah orang-orang
yang sangat berarti dalam hidupku.
”Tabahkan
hatimu Listya. Allah selalu memberi kita yang terbaik. Takdir Allah itu pasti
terbaik untuk kita. Listya harus mengikhlaskan Mas Rizal..!” kata Kinanti
menghibur sambil memeluk Listya yang masih terisak. Duka Listya adalah dukaku
juga. Aku merasakan kesedihan dari tatap sendu matanya. Dulu aku merasakan duka
seperti ini ketika kehilangan Diana Faria.
Duka
Listya telah membuka lagi duka masa lalu. Semakin lama semakin sadar ternyata
hanya Allah Yang Maha Memiliki. Suara Adzan Dhuhur di Masjid itu berkumandang
seolah mengingatkan bahwa Allah lah Yang Maha Besar, Maha Berkuasa atas segala
sesuatu. KerajaanNya meliputi langit dan bumi dan diantara keduanya. Suara
Adzan itu membuka hati ini agar lebih sabar dan ikhlas menerima semua ketentuan
dan keputusanNya. Kesabaran hati adalah awal dari kemuliaan.
BERSAMBUNG
Episode 26
1 comment:
di tunggu lanjutannya mas
Post a Comment