Foto Hensa
Tantangan
100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh
Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode
22
BERAKHIR PEKAN DI BOROMEUS
Beberapa
malam ini aku sengaja tidak menelpon Kinanti. Sudah tiga malam dan ini malam
yang ke empat. Padahal sebelumnya hampir setiap malam aku ngobrol dengan
Kinanti melalui hand phone. Aku hanya ingin tahu apakah Kinanti rindu denganku
ataukah tidak. Apakah Kinanti merasa kehilangan aku ataukah tidak. He he he
metode lamaku kembali aku jalankan. Aku nanti akan tahu apakah Kinanti akan
bersikap bagaimana dan dari sana aku bisa menebak isi hatinya?. Sebenarnya saat
ini aku tahu Kinanti memang sedang butuh kehadiranku hanya aku tidak mau
sekedar dijadikan tempat untuk pelarian kekecewaanya terhadap Eko yang
menghianatinya. Ah benar saja ponselku
berbunyi. Kulihat siapa yang menelpon. Eh ternyata Audray ada apa gadis ini
menelponku malam-malam begini?
”Maaf
pak Profesor malam-malam begini menelpon tapi masih jam sembilan belum terlalu
larut!” suara Audray di seberang sana.
Aku melihat jam dinding ternyata baru jam sembilan seperempat. Pantas saja
belum jamnya Kinanti menelpon. Kinanti biasanya menelpon diatas jam sepuluh.
”Iya
tidak apa-apa. Apa yang bisa saya bantu Bu?” kataku bercanda.
”He he
he Pak Alan bisa saja. Hanya ingin mengkonfirmasi apakah Undangan saya sudah
Bapak terima?” kata Audray.
”Belum, Undangan apa nih Di?” tanyaku pura-pura tidak
tahu.
”Undangan
Pernikahan Prof!” kata Audray.
”Alhamdulillah
selamat ya Audray. Saya turut merasakan bahagia!” kataku.
”Terima
kasih Pak. Sambil menunggu Undangan yang belum Bapak terima, saya ingin
mengundang lisan malam ini. Hadir ya Pak hari Minggu pekan depan ini!” suara
Audray penuh rasa bahagia.
”Baik
Di!. Inshaa Allah saya hadir di hari pernikahanmu!” kataku. Audray kembali
mengucapkan terima kasih suaranya terdengar penuh kebahagiaan.
Aku juga
bersyukur gadis Tionghoa yang cantik ini akhirnya mendapatkan jodohnya. Audray
Lin sosok gadis cerdas yang pernah menjadi mahasiswiku mungkin akan memiliki
catatan sendiri dalam lembaran lembaran buku hidupku. Andaikan aku harus
mencatat biarlah aku akan mencatat yang baik baik saja darinya. Faktanya di
lembar akhir buku hidupku Audray adalah gadis yang juga memiliki kepribadian
yang kuat. Hari Minggu pekan depan adalah sejarah untuk Audray untuk memulai
mengarungi bahtera rumah tangga. Lalu kapan aku sendiri memulai mengarungi
bahtera rumah tangga?. Aku tertawa
sendiri di kamar itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Wahai Kinanti
kemanakah dirimu?. Waktu terus merayap dan tanpa terasa aku tertidur baru
terbangun lagi saat terdengar suara adzan Subuh dari Mesjid Al-Akbar.
Astagfirullah aku benar-benar kesiangan untuk kali ini aku terlambat tidak bisa
mengikuti sholat Subuh berjamaah. Malam yang melelahkan dan ternyata telepon
yang aku tunggu tidak pernah berbunyi.
Jumat
pagi ini seperti biasa, lalu lintas Kota Surabaya padat penuh dengan semangat.
Motor motor seakan berkejaran dengan waktu sedangkan mobil harus banyak
mengalah untuk memberi jalan. Kemacetan seakan sudah menjadi ritual sehari-hari
namun Alhamdulillah pagi itu aku sudah tiba di ruang kerjaku. Aku menyusun
agenda hari ini. Mengisi kuliah di Pasca Sarjana sampai pukul sebelas siang.
Sorenya ada pengamatan data penelitian mahasiswa di Laboratorium HPLC. Ketika
aku sedang mempersiapkan bahan untuk mengisi kuliah tiba-tiba ponsel berdering.
Ternyata Intan yang menelpon.
”Assalaamu
alaikum Om Alan!” suara Intan terdengar khawatir.
”Wa
alaikum salam ya Intan!”
”Om Alan
ada khabar buruk, Ibu sedang di rawat di Rumah Sakit!”
”Lho
sakit apa Ibumu!” kataku terkejut.
”Tekanan
darahnya turun drastis namun sekarang sudah ditangani dokter. Ibu sedang
beristirahat kondisinya sudah lumayan!” kata Intan.
”Baik
Intan sore ini Om Alan ke Bandung!”
”Iya Om
kelihatannya Ibu sangat membutuhkan Om Alan!” suara Intan penuh harap. Ya Allah
kalimat itu keluar dari anak gadisnya Kinanti. Aku sangat terharu
mendengarnya.
Bandara
Juanda sore itu tidak begitu sibuk sehingga aku masih dapat tiket untuk
penerbangan ke Bandung. Menjelang Isya aku sudah mendarat di Bandara Husein
Santranegara. Aku menggunakan Taksi menuju Rumah Sakit Boromeus di jalan Juanda
tempat dimana Kinanti dirawat. Melalui jalan layang Pasopati tidak sampai satu
jam akhirnya taksi itu mengantarku ke halaman parkir Rumah Sakit Boromeus.
Segera aku menuju kamar rawat di lantai dua. Aku ketuk pintu kamar dan ketika
pintu terbuka Intan sudah berdiri di sana.
”Om Alan
Bu!” suara Intan dengan gembira memberitahu ibunya.
”Assalaamu
alaikum!” aku memberi salam.
Aku
melihat Kinanti tersenyum padaku sambil membalas salamku. Kinanti terlihat
pucat. Memang butuh istirahat untuk mengembalikan kondisi kesehatannya. Tekanan
darahnya rendah dan ternyata hasil uji Laboratorium menunjukkan kadar
haemoglobinnya juga rendah. Kinanti mungkin terlalu capek. Terutama karena
kelelahan tidak hanya secara fisik namun juga psikis.
”Terima
kasih Alan sudah mau menjengukku!” kata Kinanti dengan suara lemah namun
wajahnya menampakkan kegembiraan.
”Alhamdulillah
Kinan. Tentu saja aku pasti menjengukmu apalagi sedang sakit begini sedang
tidak sakitpun aku tetap menjengukmu!” kataku.
”Iya Bu.
Jika Om Alan menjenguk Ibu saat sedang sakit itu artinya khawatir namun jika Om
Alan menjenguk Ibu waktu Ibu tidak sakit, itu artinya karena rindu!” suara
Intan menggoda sambil tertawa. Rupanya Intan sudah mulai berseloroh. Mendengar
ini aku tertawa dan Kinanti hanya
tersenyum.
”Intan
sekarangpun Om Alan menjenguk Ibumu juga karena rindu lho!” kataku tidak kalah
dengan Intan untuk menggoda Kinanti. Ruangan rawat inap itu penuh dengan canda
dan tawa. Suasana yang sangat menggembirakan.
”Kinan
bagaimana kondisimu sekarang?” tanyaku.
”Alhamdulillah,
tensi sudah mulai membaik dan haemoglobin mudah-mudahan juga sudah meningkat
dengan transfusi ini!” kata Kinanti.
”Syukurlah
beristirahatlah sampai pulih lagi jangan terlalu banyak pikiran!” kataku.
”Om Alan
sih enggak mau ngerti. Ibu tuh banyak pikiran karena orang Surabayanya nggak
mau ngerti!” kata Intan lag-lagi menggoda Ibunya.
”Intan,
jangan macam-macam kamu itu!” suara Kinanti sambil cemberut. Aku kembali
tertawa. Kinanti benar-benar tidak
berkutik ”dikerjain” Intan, anak gadisnya sendiri. Memang suasana ruangan
tempat Kinanti dirawat demikian hangat dengan canda dan tawa. Aku melihat
Kinanti seperti terlahir kembali.
Wajahnya sudah nampak bersinar.
Wanita
cantik yang terbaring di ruang perawatan ini seakan sudah pulih. Aku kembali
melihat mata yang berbinar jika Kinanti berbicara dan menatapku. Aku juga
merasakan ada rindu di hatinya. Iya Kinanti memang merindukanku sama seperti
halnya aku merindukannya.
Sabtu
itu ketika aku kembali menjenguk, Kinanti sudah kelihatan segar dan bugar.
Wajah cantiknya sudah kembali memancar secerah Sabtu pagi ini. Kota Bandung
ditemani Matahari yang bersinar dengan langit cerah berwarna biru. Hari ini aku
mempunyai kesempatan seharian menemani Kinanti. Intan sendiri hari Sabtu ada
kegiatan di Kampusnya sehingga aku benar-benar hanya bersama Kinanti.
”Tadi
malam Listya telpon aku menanyakan kondisi kesehatanku!. Dia tahu darimu aku
dirawat di Rumah Sakit!” kata Kinanti.
”Iya
tadi malam aku sms Listya memberi khabar tentangmu!” kataku.
”Oh ya
Listya bercerita katanya Audray minggu depan mau melangsungkan pernikahannya!”
kata Kinanti.
”Benar
Kinan. Aku berharap minggu depan kau sudah benar-benar pulih sehingga bisa
bersamaku ke resepsi pernikahannya Audray!” kataku.
”Menurut
dokter yang memeriksaku pagi tadi, Inshaa Allah hari Senin besok aku sudah
diperbolehkan pulang!” kata Kinanti.
”Alhamdulillah.
Kinan sungguh aku senang mendengarnya. Memang aku melihat wajahnya Kinanti
sekarang sudah kembali berbinar seperti biasanya!” kataku.
”Alan
Erlangga mulai kumat!” kata Kinanti mendelik tapi sambil tersenyum dan aku
tertawa lepas.
”Lalu
apa pesan dokter tadi pagi untuk menjaga kesehatanmu?” tanyaku.
”Dokter
bilang padaku jangan terlalu banyak pikiran, istirahat cukup dan perhatikan
makan!” kata Kinanti.
”Nah itu
terlalu banyak yang dipikirkan sebaiknya Kinanti memikirkan satu hal saja!”
kataku.
”Memikirkan
satu hal?. Apa itu?” tanya Kinanti.
”Cukup
memikirkan satu hal yaitu pikirkan Alan Erlangga yang lain lupakan!” kataku
sambil tertawa. Untuk kali ini sebuah cubitan mendarat di perutku dan aku hanya
meng”aduh”.
”Memang
dasar Alan Erlangga sifat jeleknya tidak hilang-hilang!” kata Kinanti pura-pura
ketus.
”Astagfirullah
sifat jelek yang mana?” kataku protes.
”Itu
yang pintar bikin rayuan gombal!”kata Kinanti. Aku kembali tertawa sementara
Kinanti hanya tersenyum. Aku benar-benar lega karena aku melihat Kinanti sudah
pulih, sehat dan gembira.
Menjelang
sore aku segera berpamitan sesaat setelah Intan dan Bapak Ibunya datang menjenguk Kinanti. Kedua orang
tua Kinanti mengucapkan terima kasih atas kunjunganku. Bagiku beliau-beliau
sudah bukan orang lain tapi sudah seperti orang tuaku sendiri. Terutama Ibunya
seakan penuh harap kepadaku agar aku selalu tetap bisa menjaga Kinanti. Aku
bisa merasakan dari dialog dialog kecilnya bersamaku. Sebelum aku berpamitan
Intan masih sempat bercanda menggoda Ibunya.
”Om
ternyata obatnya Ibu itu ada di Surabaya. Buktinya setelah obat itu datang
menjenguk sekarang Ibu sudah sehat lagi!” kata Intan dan kami di ruang itu
tertawa sementara Kinanti hanya bisa melotot kepada Intan anak gadisnya.
Malam
Minggunya aku habiskan bersama Ibunda tercinta dengan mengajak makan malam di
sebuah Kafe yang dekat dengan rumah. Ibu sekali lagi menanyakan tentang jodohku
bahkan ketika tahu Kinanti sedang menyendiri saat ini, Ibu mengharapkan aku
menikah dengan Kinanti saja. Memang Ibu dulu juga pernah berkata seperti itu
dan kali ini permintaan Ibu dikatakannya lagi. Aku mencoba merenung ada makna
apa dan bagaimana aku harus bersikap. Malam itu aku hanya berkata kepada Ibuku
agar aku selalu didoakan mendapatkan jodoh yang terbaik.
Minggu
pagi itu aku masih sempat menjenguk Kinanti di Rumah Sakit Boromeus karena aku
mendapatkan tiket penerbangan siang.
”Kinan
siang ini aku kembali ke Surabaya. Semoga kau tetap sehat dan kembali ceria
jangan murung. Jangan terlalu banyak pikiran cukup pikirkan satu hal
saja!”,kataku.
Untuk
kali ini Kinanti tersenyum penuh arti dan aku tahu arti dari senyum itu. Senyum
yang manis dengan mata indah bercahaya maka lengkaplah kecantikan wanita di
depanku ini.
”Alan
sungguh aku sangat bahagia memiliki sahabat sepertimu. Sungguh aku merasa
nyaman, tenang, tentram berada di sisi sahabat sejatiku ini!” kata Kinanti.
”Alhamdulillah.
Aku juga demikian Kinanti adalah sahabat sejatiku yang selalu membuat aku
penasaran. Sahabat yang selalu membuatku bertanya-tanya!” kataku.
”Mengapa
aku membuatmu selalu bertanya-tanya? Profesor Alan apa sebenarnya yang ingin
kau tanyakan?” kata Kinanti sambil senyum senyum.
”Entahlah
saking banyaknya pertanyaan sehingga tidak satupun yang mampu aku ingat!”
kataku juga sambil senyum-senyum.
”Baiklah
Profesor jika nanti sudah ingat pertanyaan itu segeralah katakan kepadaku!” kata Kinanti.
Dialog-dialog
itu akhirnya membuat kami tertawa. Aku merasakan kebahagiaan yang lain terutama
ketika Kinanti mengatakan merasa nyaman, tenang, tentram berada di sisiku.
Benarkah? Mudah-mudahan bukan sekedar angin Surga. Ternyata perjuangan masih
panjang maka akupun siang itu berpamitan kembali ke Surabaya.
”Hati-hati
Alan jaga dirimu baik-baik. Kabari aku jika sudah tiba di Surabaya!” pesan
Kinanti.
”Juga
untuk Kinan jaga kesehatan, cukup fikirkan satu hal saja ya!” kataku. Kinanti
mengangguk sambil tersenyum manis.
BERSAMBUNG
Episode 23
2 comments:
good post mas
Terima kasih Mas Surya...Salam hangat.
Post a Comment