Episode IV
CERITA PENDEK
Sungguh kini aku tidak tahu dari mana dulu aku memulai membuat cerita pendek ini. Aku tidak bisa memilih bahan yang cocok untuk cerita pendekku kali ini. Daya khayalku nampaknya sudah mulai berkurang. Mungkin hal itu wajar sebab dalam usiaku yang hampir senja ini semua kenangan telah membeku dan aku mengalami kesukaran untuk mencairkan kembali. Apalagi jika harus kujadikan cerita pendek.
Pada usia 25, Melati melangsungkan pernikahannya dengan pria pilihannya. Dulu, Fadli Hadiwijaya, demikian nama pria itu adalah teman sefakultasnya. Mungkin proses percintaan mereka berlangsung di sana, aku tidak pernah tahu. Yang jelas setelah mereka sama-sama sukses meraih gelar sarjana tak begitu lama Fadli cepat-cepat melamar Melati.
“Mama! beginikah rasanya kebahagiaan seorang gadis yang tengah menunggu hari pernikahannya?”, suara Melati memecah heningnya ruang tengah. Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya.
“Bagaimana perasaan Mama dulu waktu menunggu saat pernikahan dengan Papa?”, tanya Melati kemudian.
“Tentu saja penuh harapan kebahagiaan seperti yang kau rasakan sekarang ini”, kataku. Indra Susanto, suamiku meletakkan koran yang tengah dibacanya lalu memberi isyarat kepada anak gadisnya agar duduk mendekat.
“Dengar Mela!. Kau adalah anak Papa yang lembut, anggun, penuh percaya diri. Kelembutan dan keanggunanmu itu adalah kepribadian yang dapat kau pakai sebagai salah satu modal menjadi seorang istri yang baik. Namun jangan lupa kaupun harus sanggup keras hati karena perjalanan hidup yang nanti akan kau lewati penuh jalan-jalan yang terjal dan berliku. Saling pengertian antara kau dan suamimu bekal utama untuk menghadapi tantangan itu. Mendekat kemari Melati sayang. Papa Mama sangat bahagia sekali melihat kau bahagia!”, aku tersenyum penuh haru memandang Indra Susanto mencium kening Melati, anak gadisnya.
Sungguh, itu adalah kenangan manis dan indah namun masih juga aku tak mampu merangkainya menjadi kata apalagi kalimat dalam sebuah cerita pendek. Lonceng jam dinding di ruang tengah berbunyi lima kali. Hujan gerimis yang sejak siang tadi turun membasahi bumi, sore hari ini sudah mulai reda. Rupanya sudah hampir dua jam aku menghadapi layar komputer ini namun masih juga jari-jariku belum mampu menekan sebuah hurufpun pada papan keyboard itu. Telepon berdering di ruang tengah. Lalu kudengar seseorang mengangkatnya. Tidak berapa lama kudengar pintu kamar diketuk.
“Bu, bu, telepon untuk ibu dari Neng Mela!”, suara Bi Inah, pembantu setiaku. Aku bergegas menyambut telepon Melati.
“Mama!”, suara Melati di seberang sana.
“Mama tentu tidak lupa bahwa hari ini tepat hari kematian Papa yang kesepuluh tahun. Tadi, Mela akan menjemput Mama untuk berziarah, namun ternyata hujan baru reda setelah sore begini. Bagaimana jika besok saja Mam?”.
Selanjutnya aku tak mendengar lagi apa yang dikatakan Melati. Aku hanya termenung mengenang semuanya. Hari ini sepuluh tahun yang lalu suamiku meninggalkanku untuk selamanya. Aku belum pernah merasa kehilangan Indra Susanto seperti saat ini. Aku sangat merindukannya. Rasanya seperti baru kemarin. Selorohnya, canda-candanya, kesabarannya, ketabahannya, ketangguhannya, lapang dadanya, maafnya, senyumnya, cerianya dan ketulusan cintanya oh Tuhan semuanya masih terbayang.
Sungguh untuk pertama kali dalam hidupku kerinduanku kepada Indra Susanto adalah kerinduan yang teramat lengkap. Kerinduan yang tidak tergantikan. Namun aku tidak tahu mengapa kerinduan ini tak akan pernah satu katapun menjadi sebuah cerita pendek. Ternyata memang begitu. Sungguh aku tidak tahu mengapa jari-jariku belum juga mampu menyentuh sebuah hurufpun pada keyboard komputer itu sehingga jangankan sebuah cerita pendek ternyata satu katapun begitu sulit tercipta. Entah mengapa.
SELESAI
Tuesday, June 24, 2008
Thursday, June 5, 2008
CerPen Corner
Episode III
CERITA PENDEK
Memang kuakui Indra Wibowo adalah profil lelaki idealku. Aku membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melenyapkan kekecewaanku. Dan terus terang ketika Indra Susanto tiba-tiba hadir dalam hidupku bayangan Indra Wibowo tidak pernah hilang. Seorang Indra Susanto yang terlalu sederhana tidak mampu menggeser seorang Indra Wibowo dari dasar hatiku. Indra Susanto bukan lelaki idealku, anehnya dia adalah suamiku. Anehnya aku mencintainya namun selama aku menjadi istri Indra Susanto tidak satupun alasan kudapatkan, mengapa aku mencintainya. Hingga saat inipun alasan itu belum juga kudapatkan. Aku yakin alasan itu mestinya ada. Mana mungkin aku mencintainya tanpa alasan. Alangkah kecewanya Indra Susanto andainya ia tahu aku mencintai tanpa alasan apapun. Dulu sering kali Indra menanyakan tentang sebab apa yang membuat aku mencintainya.
“Aku hanya ingin tahu jawaban dari rasa heran ini. Sebab aku menyadari alangkah banyaknya kekurangan-kekurangan diriku yang harus kau terima. Aku tidak mau kau terlalu banyak menanggung beban akibat terlalu banyaknya kekuranganku”, kata Indra. Mendengar pengakuannya aku tidak pernah menanggapi cukup kujawab dengan jawaban pendek.
“Hal itu jangan terlalu dipikirkan. Semua manusia sama”, jawaban ini sebenarnya bukan jawaban yang jujur. Aku yakin Indra Susanto akan kecewa seumur hidupnya andaikan kukatakan alasan yang sebenarnya mengapa aku mencintai dan bersedia menjadi istrinya. Karena itu aku tidak pernah mau mengatakan hal tersebut. Cukup hanya aku seorang diri yang mengetahui apa sebenarnya alasan tersebut. Nampaknya aku tidak adil jika harus membandingkan apa-apa yang ada pada Indra Susanto dengan apa-apa yang ada pada Indra Wibowo. Bekas tunanganku dulu memang lelaki ideal tapi Indra Susanto tak boleh dibandingkan dengannya. Indra Susanto adalah Indra Susanto. Indra yang sederhana, apa adanya. Indra yang biasa-biasa saja. Indra yang lugu. Indra yang rendah hati. Indra yang sabar. Indra yang kucinta. Indra Susanto, suamiku.
Aku baru merasa menerima kehadiran Indra Susanto dalam hatiku ketika anak kami yan pertama lahir. Bayi perempuan yang cantik seperti ibunya ini kuberi nama Melati Puspitasari. Sudah kuduga sejak semula bahwa Melati pada masa remajanya adalah sekuntum bunga harum dambaan rama-rama. Tidak berlebihan jika aku sangat mengagumi kecantikan yang terpancar dari wajah Melati, anak gadisku. Raut wajahnya berbentuk oval dengan sepasang mata yang indah, hidung mancung dan seulas bibir tipis manis yang jika tersenyum akan menundukkan hati lelaki manapun.
Mengamati masa remaja Melati kembali aku teringat peristiwa indah masa lalu. Malam Minggu itu untuk pertama kali aku menerima tamu seorang pria.
“Selamat malam dik Sari!”, sapa Indra Wibowo. Kutatap pria dengan perawakan tegap dan ganteng ini. Dan kusambut sapanya dengan senyumku. Maka kami menikmati malam Minggu itu dengan gelak tawa, canda dan senyum mesra. Hari-hari berikutnya adalah milik kami. Bertamasya ke pantai, naik gunung, mengunjungi tempat rekreasi lainnya adalah acara akhir Minggu kami. Puncak kebahagiaan ini adalah ketika saat pertunangan kami. Cincin itu menelusup jari manisku dan sebuah kecupan di keningku disambut tepuk tangan hadirin. Oh, bangganya hatiku, bahagianya diriku. Namun kini semuanya tinggal kenangan indah. Betul kata orang bahwa cinta pertama tak bisa dilupakan.
Ternyata di depan keyboard komputer ini aku cuma bisa tersenyum. Jari-jariku belum juga mampu menyentuh sebuah hurufpun pada keyboard komputer itu.
(Bersambung)
CERITA PENDEK
Memang kuakui Indra Wibowo adalah profil lelaki idealku. Aku membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melenyapkan kekecewaanku. Dan terus terang ketika Indra Susanto tiba-tiba hadir dalam hidupku bayangan Indra Wibowo tidak pernah hilang. Seorang Indra Susanto yang terlalu sederhana tidak mampu menggeser seorang Indra Wibowo dari dasar hatiku. Indra Susanto bukan lelaki idealku, anehnya dia adalah suamiku. Anehnya aku mencintainya namun selama aku menjadi istri Indra Susanto tidak satupun alasan kudapatkan, mengapa aku mencintainya. Hingga saat inipun alasan itu belum juga kudapatkan. Aku yakin alasan itu mestinya ada. Mana mungkin aku mencintainya tanpa alasan. Alangkah kecewanya Indra Susanto andainya ia tahu aku mencintai tanpa alasan apapun. Dulu sering kali Indra menanyakan tentang sebab apa yang membuat aku mencintainya.
“Aku hanya ingin tahu jawaban dari rasa heran ini. Sebab aku menyadari alangkah banyaknya kekurangan-kekurangan diriku yang harus kau terima. Aku tidak mau kau terlalu banyak menanggung beban akibat terlalu banyaknya kekuranganku”, kata Indra. Mendengar pengakuannya aku tidak pernah menanggapi cukup kujawab dengan jawaban pendek.
“Hal itu jangan terlalu dipikirkan. Semua manusia sama”, jawaban ini sebenarnya bukan jawaban yang jujur. Aku yakin Indra Susanto akan kecewa seumur hidupnya andaikan kukatakan alasan yang sebenarnya mengapa aku mencintai dan bersedia menjadi istrinya. Karena itu aku tidak pernah mau mengatakan hal tersebut. Cukup hanya aku seorang diri yang mengetahui apa sebenarnya alasan tersebut. Nampaknya aku tidak adil jika harus membandingkan apa-apa yang ada pada Indra Susanto dengan apa-apa yang ada pada Indra Wibowo. Bekas tunanganku dulu memang lelaki ideal tapi Indra Susanto tak boleh dibandingkan dengannya. Indra Susanto adalah Indra Susanto. Indra yang sederhana, apa adanya. Indra yang biasa-biasa saja. Indra yang lugu. Indra yang rendah hati. Indra yang sabar. Indra yang kucinta. Indra Susanto, suamiku.
Aku baru merasa menerima kehadiran Indra Susanto dalam hatiku ketika anak kami yan pertama lahir. Bayi perempuan yang cantik seperti ibunya ini kuberi nama Melati Puspitasari. Sudah kuduga sejak semula bahwa Melati pada masa remajanya adalah sekuntum bunga harum dambaan rama-rama. Tidak berlebihan jika aku sangat mengagumi kecantikan yang terpancar dari wajah Melati, anak gadisku. Raut wajahnya berbentuk oval dengan sepasang mata yang indah, hidung mancung dan seulas bibir tipis manis yang jika tersenyum akan menundukkan hati lelaki manapun.
Mengamati masa remaja Melati kembali aku teringat peristiwa indah masa lalu. Malam Minggu itu untuk pertama kali aku menerima tamu seorang pria.
“Selamat malam dik Sari!”, sapa Indra Wibowo. Kutatap pria dengan perawakan tegap dan ganteng ini. Dan kusambut sapanya dengan senyumku. Maka kami menikmati malam Minggu itu dengan gelak tawa, canda dan senyum mesra. Hari-hari berikutnya adalah milik kami. Bertamasya ke pantai, naik gunung, mengunjungi tempat rekreasi lainnya adalah acara akhir Minggu kami. Puncak kebahagiaan ini adalah ketika saat pertunangan kami. Cincin itu menelusup jari manisku dan sebuah kecupan di keningku disambut tepuk tangan hadirin. Oh, bangganya hatiku, bahagianya diriku. Namun kini semuanya tinggal kenangan indah. Betul kata orang bahwa cinta pertama tak bisa dilupakan.
Ternyata di depan keyboard komputer ini aku cuma bisa tersenyum. Jari-jariku belum juga mampu menyentuh sebuah hurufpun pada keyboard komputer itu.
(Bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)