NAMANYA INDRA
Episode I
”Bagaimana Sari ?”, suara Indra memecah keheningan. Kutatap lelaki ganteng yang duduk tepat di depanku ini.
“Sari, seharusnya kita lebih dulu dari Fauzi dan Lilian. Apa yang harus kita tunggu lagi!” kembali Indra Wibowo meyakinkanku. Memang betul, apa lagi yang harus di tunggu. Indra sudah lama selesai menempuh pendidikan Akabri dan sekarang bertugas di Jakarta. Aku sendiri walaupun masih kuliah tapi apa salahnya mahasiswi merangkap jadi ibu rumah tangga.
“Andai kau keberatan, bagaimana kalau kita tunangan saja dulu?”, kata Indra. Kembali kutatap Sang kekasih lalu aku tersenyum. Lalu Indrapun tersenyum. Lalu aku merasa Indra memelukku. Lalu !?
Pada pernikahan Lilian dan Fauzi itulah aku bertunangan dengan Indra Wibowo. Rencana pertunangan ini mendadak karena itu aku tidak sempat mengundang teman-teman di Yogya. Dan wajar ketika aku kembali ke Yogya banyak diantara mereka yang menggerutu karena tak kuundang. Semula Papa hanya akan menikahkan adikku, namun rupanya Papa perlu mengkhawatirkan diriku. Padahal aku rela didului Lilian. Maka berlangsunglah tunangan itu. Banyak teman-teman kuliahku yang mengatakan bahwa aku beruntung mendapatkan tunangan seorang Taruna Akabri. Apalagi Indra seorang lelaki yang jantan,ganteng, tinggi, tegap pokoknya selangit. Mendengar pujian-pujian itu aku hanya bisa tersenyum dan tentu saja ada terselip kebanggaan dalam hatiku.
Liburan semester ini seharusnya aku pergi ke Jakarta menjumpai Sang Kekasih. Tidak pulang ke Malang seperti apa yang kulakukan ini. Di rumah berkali-kali Papa menyarankan agar aku berlibur di Jakarta saja. Begitu juga Lilian, adikku yang kini tinggal di Jakarta bersama suaminya. Tapi aku tetap memilih liburan di Malang. Aku tidak tahu mengapa pertunangan ini kurasakan telah mengikat kebebasanku. Aku tidak tahu mengapa selama ini surat-surat Indra tak pernah kubalas. Aku tidak tahu mengapa aku harus acuh tak acuh kalau Indra menjengukku ke Yogya. Seharusnya aku bisa membayangkan bagaimana Indra jauh-jauh dari Jakarta untuk melepas rindu. Entahlah nampaknya aku masih menyukai kebebasan. Cincin tunangan yang melingkar di jari manisku inikah yang telah merengut kebebasanku?.
Tiga hari sebelum liburan habis aku sudah kembali ke Yogja. Hal ini kulakukan karena aku harus registrasi dan melunasi uang kuliah semester berikutnya disamping itu karena memang aku sudah jenuh dengan liburanku. Hari Sabtunya Indra menjumpaiku.
“Cukup menyenangkan liburannya?”, tanyanya. Aku hanya angkat bahu sambil tersenyum.
“Kuharap memang begitu. Bagaimana kabar Papa dan Mama?”, tanya Indra.
“Baik-baik!”, jawabku.
“Syukurlah. Aku sebetulnya ingin menyusulmu sekaligus ketemu Papa dan Mama. Sudah lama tidak bertemu, tapi tugas-tugasku semakin hari semakin banyak. Kupikir kau mau liburan di Jakarta. Aku tidak yakin kalau kau tidak tahu selama itu aku merindukanmu. Terlebih-lebih tak ada satu suratpun yang kau balas!”.
“Aku, aku malas bikin surat!”, kataku seenaknya. Kulihat Indra masih tertunduk. Terbaca pada raut wajahnya perasaan kecewa, kesal, gelisah. Namun perasaan-perasaan tersebut tertutup oleh sikap sabarnya. Indra yang penyabar, Indra yang gagah, ganteng, Indra yang selali penuh pengertian. Rasanya tidak adil jauh-jauh dari Jakarta hanya kusambut dengan sikap acuh tak acuhku. Kadang-kadang kesadaran itu timbul bahwa aku telah berbuat keterlaluan terutama disaat aku menatap punggung Indra, di saat Indra kembali ke Jakarta.
“Seharusnya kau tidak bersikap seperti itu!”, pendapat Tien, teman kentalku.
“Bukankah dia tunanganmu. Tentu saja dengan bersikap lembut dan mesra, dia akan sangat bahagia. Aku heran Sari mengapa kau bisa bersikap seperti itu kepada tunangan segagah Indra. Sungguh tak bisa kumengerti!”, kembali suara Tien. Memang betul apa yang dikatakan Tien, kuakui itu. Tapi dengan demikian aku bertambah tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aku masih juga mengulang sambutan acuh tak acuhku setiap Indra menjumpaiku. Entah mengapa begitu. Aku hanya merasa pertunangan ini telah merenggut kebebasanku. Cincin tunangan yang melingkar di jari manis ini demikian cantik tapi aneh aku tidak merasakan hal itu.
“Jika kau sudah berani bertunangan kau harus berani pula mengurangi kebebasanmu. Aku tak bisa membayangkan andai kau nanti sudah menjadi nyonya Indra, apakah kau masih ingin menuntut kebebasanmu?. Pikirlah baik-baik Sari. Jangan terlalu sering mengecewakan dia!”. Ini adalah pendapat dan nasihat Tien ketika kami ngobrol di Kantin kampus.
“Ya aku mengerti Tien. Sebenarnya saat itu aku belum mau bertunangan sebelum studiku selesai paling sedikit sampai aku meraih sarjana muda. Tapi itulah yang terjadi ketika Lilian mendahuluiku maka akupun tak bisa menolak keinginan Indra dan nampaknya Papaku pun setuju!”. Tien menghabiskan suapan baksonya terakhir.
“Kau mencintai Indra bukan?”, tanya Tien.
“Tentu saja!”, kataku.
“Kalau begitu mulailah bersikap seperti halnya kau mencintai Indra!”, kata Tien lagi. Aku diam dan Tien masih menatapku.
“Sari, seharusnya kita lebih dulu dari Fauzi dan Lilian. Apa yang harus kita tunggu lagi!” kembali Indra Wibowo meyakinkanku. Memang betul, apa lagi yang harus di tunggu. Indra sudah lama selesai menempuh pendidikan Akabri dan sekarang bertugas di Jakarta. Aku sendiri walaupun masih kuliah tapi apa salahnya mahasiswi merangkap jadi ibu rumah tangga.
“Andai kau keberatan, bagaimana kalau kita tunangan saja dulu?”, kata Indra. Kembali kutatap Sang kekasih lalu aku tersenyum. Lalu Indrapun tersenyum. Lalu aku merasa Indra memelukku. Lalu !?
Pada pernikahan Lilian dan Fauzi itulah aku bertunangan dengan Indra Wibowo. Rencana pertunangan ini mendadak karena itu aku tidak sempat mengundang teman-teman di Yogya. Dan wajar ketika aku kembali ke Yogya banyak diantara mereka yang menggerutu karena tak kuundang. Semula Papa hanya akan menikahkan adikku, namun rupanya Papa perlu mengkhawatirkan diriku. Padahal aku rela didului Lilian. Maka berlangsunglah tunangan itu. Banyak teman-teman kuliahku yang mengatakan bahwa aku beruntung mendapatkan tunangan seorang Taruna Akabri. Apalagi Indra seorang lelaki yang jantan,ganteng, tinggi, tegap pokoknya selangit. Mendengar pujian-pujian itu aku hanya bisa tersenyum dan tentu saja ada terselip kebanggaan dalam hatiku.
Liburan semester ini seharusnya aku pergi ke Jakarta menjumpai Sang Kekasih. Tidak pulang ke Malang seperti apa yang kulakukan ini. Di rumah berkali-kali Papa menyarankan agar aku berlibur di Jakarta saja. Begitu juga Lilian, adikku yang kini tinggal di Jakarta bersama suaminya. Tapi aku tetap memilih liburan di Malang. Aku tidak tahu mengapa pertunangan ini kurasakan telah mengikat kebebasanku. Aku tidak tahu mengapa selama ini surat-surat Indra tak pernah kubalas. Aku tidak tahu mengapa aku harus acuh tak acuh kalau Indra menjengukku ke Yogya. Seharusnya aku bisa membayangkan bagaimana Indra jauh-jauh dari Jakarta untuk melepas rindu. Entahlah nampaknya aku masih menyukai kebebasan. Cincin tunangan yang melingkar di jari manisku inikah yang telah merengut kebebasanku?.
Tiga hari sebelum liburan habis aku sudah kembali ke Yogja. Hal ini kulakukan karena aku harus registrasi dan melunasi uang kuliah semester berikutnya disamping itu karena memang aku sudah jenuh dengan liburanku. Hari Sabtunya Indra menjumpaiku.
“Cukup menyenangkan liburannya?”, tanyanya. Aku hanya angkat bahu sambil tersenyum.
“Kuharap memang begitu. Bagaimana kabar Papa dan Mama?”, tanya Indra.
“Baik-baik!”, jawabku.
“Syukurlah. Aku sebetulnya ingin menyusulmu sekaligus ketemu Papa dan Mama. Sudah lama tidak bertemu, tapi tugas-tugasku semakin hari semakin banyak. Kupikir kau mau liburan di Jakarta. Aku tidak yakin kalau kau tidak tahu selama itu aku merindukanmu. Terlebih-lebih tak ada satu suratpun yang kau balas!”.
“Aku, aku malas bikin surat!”, kataku seenaknya. Kulihat Indra masih tertunduk. Terbaca pada raut wajahnya perasaan kecewa, kesal, gelisah. Namun perasaan-perasaan tersebut tertutup oleh sikap sabarnya. Indra yang penyabar, Indra yang gagah, ganteng, Indra yang selali penuh pengertian. Rasanya tidak adil jauh-jauh dari Jakarta hanya kusambut dengan sikap acuh tak acuhku. Kadang-kadang kesadaran itu timbul bahwa aku telah berbuat keterlaluan terutama disaat aku menatap punggung Indra, di saat Indra kembali ke Jakarta.
“Seharusnya kau tidak bersikap seperti itu!”, pendapat Tien, teman kentalku.
“Bukankah dia tunanganmu. Tentu saja dengan bersikap lembut dan mesra, dia akan sangat bahagia. Aku heran Sari mengapa kau bisa bersikap seperti itu kepada tunangan segagah Indra. Sungguh tak bisa kumengerti!”, kembali suara Tien. Memang betul apa yang dikatakan Tien, kuakui itu. Tapi dengan demikian aku bertambah tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aku masih juga mengulang sambutan acuh tak acuhku setiap Indra menjumpaiku. Entah mengapa begitu. Aku hanya merasa pertunangan ini telah merenggut kebebasanku. Cincin tunangan yang melingkar di jari manis ini demikian cantik tapi aneh aku tidak merasakan hal itu.
“Jika kau sudah berani bertunangan kau harus berani pula mengurangi kebebasanmu. Aku tak bisa membayangkan andai kau nanti sudah menjadi nyonya Indra, apakah kau masih ingin menuntut kebebasanmu?. Pikirlah baik-baik Sari. Jangan terlalu sering mengecewakan dia!”. Ini adalah pendapat dan nasihat Tien ketika kami ngobrol di Kantin kampus.
“Ya aku mengerti Tien. Sebenarnya saat itu aku belum mau bertunangan sebelum studiku selesai paling sedikit sampai aku meraih sarjana muda. Tapi itulah yang terjadi ketika Lilian mendahuluiku maka akupun tak bisa menolak keinginan Indra dan nampaknya Papaku pun setuju!”. Tien menghabiskan suapan baksonya terakhir.
“Kau mencintai Indra bukan?”, tanya Tien.
“Tentu saja!”, kataku.
“Kalau begitu mulailah bersikap seperti halnya kau mencintai Indra!”, kata Tien lagi. Aku diam dan Tien masih menatapku.
(Bersambung)