Friday, May 13, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (23)




Foto Fiksiana Community



Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)

Episode 23
SAATNYA AKU BAHAGIA
”Kadang kadang saat ini aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
Ini adalah salah satu sms Kinanti Puspitasari tempo hari ketika dia memutuskan untuk menerima lamaran Eko. Sekarang rencana pernikahan mereka akhirnya kandas begitu saja karena penghianatan Eko kepada Kinanti. Bagiku sms Kinanti ini  jauh lebih berarti dibandingkan dengan batalnya pernikahan Kinanti dengan Eko.  Aku semakin merasakan bahwa Kinanti adalah harapan terakhirku karena  Daisy Listya sudah menjadi masa laluku. Inilah realita yang sekarang aku harus hadapi.
Suatu hari aku harus kembali mengutarakan niatku untuk menjadikan Kinanti sebagai teman hidupku. Sejak gagalnya pernikahan dengan Eko, aku merasakan Kinanti begitu dekat denganku. Hampir setiap hari selalu kontak melalui ponsel karena jarak yang meisahkan kami. Aku bisa memaklumi jika Kinanti saat ini sangat butuh orang yang dapat menenteramkan hatinya. Andai Kinanti memilih aku sebagai orang yang menjadikan curahan hatinya kukira wajar saja. Aku sejak dulu memang sahabatnya. Aku sejak SMA dulu pernah mengemukakan cintaku. Saat ini orang terdekat bagi Kinanti tentu saja aku. Aku bisa memastikan apa yang sekarang dilakukan Kinanti bukan sebuah pelarian tapi kepercayaannya kepadaku sebagai seorang sahabat. Kepercayaan Kinanti harus aku hargai dengan ketulusan cintaku. Namun aku tetap harus berjuang untuk bisa menggapai cinta wanita cantik ini. Tidak mudah memang karena yang menjadi acuan Kinanti adalah cinta Daisy Listya. Sepenggal sms Kinanti tempo hari membuktikan hal itu. Aduuuh memang mumet.
Sabtu pagi ini aku menerima kabar Kinanti sore nanti minta dijemput di Bandara Juanda. Kinanti bersedia menemaniku ke Resepsi Pernikahan Audray hari Minggu besok. Alhamdulillah mudah-mudahan ini pertanda baik. Aku tetap harus berjuang untuk mendapatkan cintanya. Maka sore itu aku sudah menunggu di Pintu Kedatangan Bandara Juanda. Aku melihat Kinanti menuju pintu keluar. Kelihatan badannya agak kurusan mungkin sehabis sakit tempo hari masih belum pulih namun wajahnya tetap kelihatan cantik, segar dan senyumnya tetap manis menenteramkan.
”Assalaamu alaikum Bu Kinan, bisa saya bantu!” kataku mulai menggoda sambil mengambil tas yang dibawanya. Kinanti hanya tersenyum sambil menepuk bahuku. Kami bergegas menuju tempat parkir lalu meluncur menuju Tol Bandara.
”Alan tadi dari Kampus langsung ke Juanda?” tanya Kinanti.
”Iya tadi siang ada kerjaan tunda di Laboratorium setelah itu langsung menjemputmu di Juanda. Bagaimana kesehatanmu. Kok agak kurusan?” tanyaku.
”Alhamdulillah sehat. Kurus?. Kamu mengejekku ya. Aku ini masih gembrot!” kata Kinanti pura pura marah.
”Iya iya jangan galak dong dibilang kurus malah galak. Kinanti kurus atau gembrot sama saja Kinanti yang ramah dan...galak!” kataku sambil ketawa.
”Ramah sama galak tidak bisa dicampur!” kata Kinanti.
”Galak yang ramah itu artinya menyenangkan. Tidak ada lho yang begitu kecuali Kinanti Puspitasari yang selalu ku kagumi!” kataku mulai gombalnya keluar.
”Sudah Alan jangan ngawur!” suara Kinanti pura-pura marah.
”Oh ya bagaimana kabar Intan?” tanyaku.
”Alhamdulillah baik. Intan kirim salam untukmu juga Bapak dan Ibu!” kata Kinanti.
”Intan cuma kirim salam saja tidak titip pesan kepadaku?” tanyaku terus menggoda. Aku lihat Kinanti tersenyum penuh arti. Aku mengerti mengapa Kinanti tersenyum pasti memang ada pesan dari Intan anak gadis Si Mata wayangnya.
”Kok tahu saja kalau ada pesan!” kata Kinanti.
”Iya dong!. Apa isi pesan Intan” kataku.
”Intan bilang padaku, Bu sampaikan salam kangenku untuk Ayah Alan!” kata Kinanti sambil tersenyum melirikku.
”Hah Intan bilang Ayah Alan. Berarti sudah mendapat restu nih!” kataku.
”Restu dari siapa?” tanya Kinanti.
”Restu dari Intan atuh. Oh ananda Intan Ayah juga kangen nih!” kataku dan kali ini Kinanti tertawa berderai mendengar candaanku. Bercanda tapi serius nih. Sebenarnya aku sudah tahu kalau Intan memang mendukungku untuk segera menikahi Ibunya.
Tidak terasa akhirnya kami tiba di jl Sulawesi tempat Paman Kinanti tinggal. Selama di Surabaya, Kinanti menginap di Rumah Pamannya. Aku sudah sangat familiar dengan keluarganya. Paman Kinanti ini adalah Paman dari garis Ibunya. Beliau sudah Pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai di sebuah Perusahaan Perkebunan. Sambutan ramah aku rasakan ketika kami tiba di sana. Aku tidak lama segera berpamitan karena hari sudah mulai sore.
Pesta Pernikahan Audray dilaksanakan di Rumah Om dan Tantenya Kawasan Darmo. Resepsi dilangsungkan dengan konsep Pesta Kebun dan terasa meriah sekali.
”Terima kasih Pak Alan dan Bu Kinan sudah hadir di sini!” suara Audray menyambut uluran tangan kami. Aku dan Kinanti setelah menyampaikan ucapan selamat kepada mempelai berdua segera saja berbaur dengan tetamu lainnya menikmati hidangan yang lezat. Aku lihat Audray dan Suaminya berdampingan mesra penuh kebahagiaan. Tiba-tiba saja aku teringat Daisy Listya. Mataku melihat ke seluruh penjuru arah angin hanya ingin melihat apakah Listya ada diantara tetamu yang hadir. Rupanya Kinanti juga mencari Listya.
”Alan! aku belum melihat Listya hadir di sini!” kata Kinanti.
”Iya Kinan. Mungkin tadi sudah duluan. Kita yang datang agak siang!” kataku.
”Ya mungkin juga. Aku belum sempat telpon dia. Nanti malam saja aku telpon Listya!” kata Kinanti.
Anehnya aku merasakan hal yang tidak enak. Listya nampaknya tidak hadir pada Resepsi Audray ini. Ada apa ya?  Sewaktu perjalanan pulang rupanya Kinanti merasa ingin menelpon Listya.
”Assalaamu alaikum Bu Kinan!” suara Listya terdengar di seberang sana. Kinanti sengaja posisi Hand Phone nya dalam keadaan  ”on”  sehingga aku bisa mendengar pembicaraan mereka.
”Listya bagaimana kabar?” tanya Kinanti.
”Alhamdulillah baik Bu. Maaf tidak bisa hadir diacara resepsinya Audray. Mas Rizal masuk Rumah Sakit Bu!” kata Listya.
”Ya Tuhan bagaimana kondisinya sekarang?” tanya Kinanti.
”Sudah ditangani Dokter Bu. Doa nya Bu Kinan ya!” kata Listya.
”Iya Listya. Saya juga mohon maaf tidak bisa menjenguk karena sore ini sudah kembali ke Bandung. Salam dari Pak Alan juga nih semoga Mas Rizal segera pulih!” kata Kinanti.
”Terima kasih Bu Kinan dan Pak Alan!” suara Listya terharu.
Aku cukup prihatin mendengar kondisi kesehatan Rizal, suami Listya. Hal ini pasti ada hubungannya dengan cangkok ginjalnya. Memang tidak mudah upaya cangkok organ tubuh ini. Banyak risiko yang harus ditempuh. Semoga saja Rizal segera pulih dan Listya selalu tabah menghadapi cobaan demi cobaan.
”Al kelihatannya ada komplikasi dan masalah pada hasil cangkok ginjalnya!” kata Kinanti.
”Iya aku juga berfikir begitu!” kataku pendek.
”Semoga Listya tetap tabah menghadapi ujian ini!” kata Kinanti khawatir. Betapa dua wanita ini saling mencintai karena Allah. Sungguh mulia mereka.
”Ya semoga Allah memberikan yang terbaik untuk mereka!” kataku.
Hari Minggu ini seharian bersama Kinanti berjalan begitu cepat. Tiba-tiba saja sudah sore hari dan aku harus mengantar Kinanti kembali menuju Bandara Juanda. Sambil menunggu jam keberangkatan kami duduk santai di sebuah Kafe.
”Kinan, hari rasanya begitu cepat berlalu ya!” kataku agak serius.
”Ya Alan rasanya waktu begitu singkat tiba-tiba saja aku sudah harus balik ke Bandung lagi!” kata Kinanti.
”Aku tidak mengerti setiap bersamamu rasanya waktu begitu cepat berlalu!” kataku sambil menatap Kinanti. Aku lihat wanita cantik ini tersenyum manis.
”Aku juga tidak mengerti kenapa waktu begitu cepat berlalu setiap Kinanti bersamamu!” kata Kinanti masih sambil tersenyum. Aku memegang kedua tangan Kinanti dan wanita cantik ini menatapku. Aku menyukai mata Kinanti yang tajam dan indah apalagi sedang menatapku begini.
”Kinan aku sedang berfikir apakah kau mau memaafkan kesalahan masa laluku yang tidak pernah kau sukai!” kataku.
”Alan, aku sudah memaafkanmu sejak dulu kita berpisah saat SMA. Kalau belum kumaafkan mana mungkin sekarang aku bersamamu!” kata Kinanti pelan.
”Baik Kinan. Aku merasa lega kini dan aku ingin membuktikan bahwa aku memang sahabat sejatimu. Inshaa Allah aku selalu ada untukmu!” kataku.
”Terima kasih Alan!” kata Kinanti dan tangannya memegang tanganku sangat erat sekali seolah tidak ingin melepaskannya. Aku lihat ada setitik air mata jatuh di pipinya.
”Kinan rasanya aku ingin selalu bersamamu. Kadang ada rasa rindu disaat kau jauh di Bandung sana!” kataku.
”Biarkan Alan rasa rindu kita ini tetap ada!” kata Kinanti pelan. Aku mulai merasakan keharuan yang sangat dalam diri Kinanti. Aku sekarang sangat yakin Kinanti mulai mebuka hatinya untukku tapi aku tidak mau terburu buru. Apa yang terjadi jika ternyata Kinanti masih tetap menganggapku hanya seorang sahabat saja seperti selama ini. Tentu saja aku akan kecewa. Akhirnya Kinanti harus segera bersiap menuju pintu keberangkatan.
”Alan aku pulang dulu ke Bandung ya jaga dirimu!” kata Kinanti.
”Baik Kinan. Oh ya jangan lupa sampaikan salam untuk Intan dari Ayah Alan!” kataku. Kinanti mengangguk sambil tersenyum manis. Senyum yang menurut perasaanku penuh dengan arti. Aku hanya bisa memandang punggung Kinanti diujung koridor itu. Wanita cantik itu masih sempat melambaikan tangannya kepadaku.
”Biarkan Alan rasa rindu kita ini tetap ada!” kata Kinanti. Ini kata-kata yang kembali terekam dalam hatiku. Ya biarkan rasa rindu kita tetap ada dan terus ada tanpa batas. Ya Allah andaikan Kinanti adalah takdir terbaikku menurutMu maka jadikanlah Kinanti teman hidupku dengan penuh keridhoanMu.
Aku merasakan hari hari ke depan menjadi hari hari yang penuh harapan. Memang seharusnya jadikanlah setiap hari penuh dengan harapan kebahagiaan. Ujian yang datang silih berganti semata mata hanya untuk membuat diri ini semakin tangguh dan berani menghadapi hidup. Ada orang bilang hidup ini hanya menunggu kematian tapi berani menghadapi hidup tidak sama dengan hidup yang hanya menunggu kematian. Entahlah. Saat ini aku hanya ingin berkata untuk diri sendiri bahwa kini saatnya aku bahagia. Semoga.


BERSAMBUNG Episode 24 


Monday, May 9, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (22)


Foto Hensa

Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode 22
BERAKHIR PEKAN DI BOROMEUS
Beberapa malam ini aku sengaja tidak menelpon Kinanti. Sudah tiga malam dan ini malam yang ke empat. Padahal sebelumnya hampir setiap malam aku ngobrol dengan Kinanti melalui hand phone. Aku hanya ingin tahu apakah Kinanti rindu denganku ataukah tidak. Apakah Kinanti merasa kehilangan aku ataukah tidak. He he he metode lamaku kembali aku jalankan. Aku nanti akan tahu apakah Kinanti akan bersikap bagaimana dan dari sana aku bisa menebak isi hatinya?. Sebenarnya saat ini aku tahu Kinanti memang sedang butuh kehadiranku hanya aku tidak mau sekedar dijadikan tempat untuk pelarian kekecewaanya terhadap Eko yang menghianatinya.  Ah benar saja ponselku berbunyi. Kulihat siapa yang menelpon. Eh ternyata Audray ada apa gadis ini menelponku malam-malam begini?
”Maaf pak Profesor malam-malam begini menelpon tapi masih jam sembilan belum terlalu larut!”  suara Audray di seberang sana. Aku melihat jam dinding ternyata baru jam sembilan seperempat. Pantas saja belum jamnya Kinanti menelpon. Kinanti biasanya menelpon diatas jam sepuluh.
”Iya tidak apa-apa. Apa yang bisa saya bantu Bu?” kataku bercanda.
”He he he Pak Alan bisa saja. Hanya ingin mengkonfirmasi apakah Undangan saya sudah Bapak terima?” kata Audray.
”Belum,  Undangan apa nih Di?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
”Undangan Pernikahan Prof!” kata Audray.
”Alhamdulillah selamat ya Audray. Saya turut merasakan bahagia!” kataku.
”Terima kasih Pak. Sambil menunggu Undangan yang belum Bapak terima, saya ingin mengundang lisan malam ini. Hadir ya Pak hari Minggu pekan depan ini!” suara Audray penuh rasa bahagia.
”Baik Di!. Inshaa Allah saya hadir di hari pernikahanmu!” kataku. Audray kembali mengucapkan terima kasih suaranya terdengar penuh kebahagiaan.
Aku juga bersyukur gadis Tionghoa yang cantik ini akhirnya mendapatkan jodohnya. Audray Lin sosok gadis cerdas yang pernah menjadi mahasiswiku mungkin akan memiliki catatan sendiri dalam lembaran lembaran buku hidupku. Andaikan aku harus mencatat biarlah aku akan mencatat yang baik baik saja darinya. Faktanya di lembar akhir buku hidupku Audray adalah gadis yang juga memiliki kepribadian yang kuat. Hari Minggu pekan depan adalah sejarah untuk Audray untuk memulai mengarungi bahtera rumah tangga. Lalu kapan aku sendiri memulai mengarungi bahtera rumah tangga?.  Aku tertawa sendiri di kamar itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Wahai Kinanti kemanakah dirimu?. Waktu terus merayap dan tanpa terasa aku tertidur baru terbangun lagi saat terdengar suara adzan Subuh dari Mesjid Al-Akbar. Astagfirullah aku benar-benar kesiangan untuk kali ini aku terlambat tidak bisa mengikuti sholat Subuh berjamaah. Malam yang melelahkan dan ternyata telepon yang aku tunggu tidak pernah berbunyi.
Jumat pagi ini seperti biasa, lalu lintas Kota Surabaya padat penuh dengan semangat. Motor motor seakan berkejaran dengan waktu sedangkan mobil harus banyak mengalah untuk memberi jalan. Kemacetan seakan sudah menjadi ritual sehari-hari namun Alhamdulillah pagi itu aku sudah tiba di ruang kerjaku. Aku menyusun agenda hari ini. Mengisi kuliah di Pasca Sarjana sampai pukul sebelas siang. Sorenya ada pengamatan data penelitian mahasiswa di Laboratorium HPLC. Ketika aku sedang mempersiapkan bahan untuk mengisi kuliah tiba-tiba ponsel berdering. Ternyata Intan yang menelpon.
”Assalaamu alaikum Om Alan!” suara Intan terdengar khawatir.
”Wa alaikum salam ya Intan!”
”Om Alan ada khabar buruk, Ibu sedang di rawat di Rumah Sakit!”
”Lho sakit apa Ibumu!” kataku terkejut.
”Tekanan darahnya turun drastis namun sekarang sudah ditangani dokter. Ibu sedang beristirahat kondisinya sudah lumayan!” kata Intan.
”Baik Intan sore ini Om Alan ke Bandung!”
”Iya Om kelihatannya Ibu sangat membutuhkan Om Alan!” suara Intan penuh harap. Ya Allah kalimat itu keluar dari anak gadisnya Kinanti. Aku sangat terharu mendengarnya. 
Bandara Juanda sore itu tidak begitu sibuk sehingga aku masih dapat tiket untuk penerbangan ke Bandung. Menjelang Isya aku sudah mendarat di Bandara Husein Santranegara. Aku menggunakan Taksi menuju Rumah Sakit Boromeus di jalan Juanda tempat dimana Kinanti dirawat. Melalui jalan layang Pasopati tidak sampai satu jam akhirnya taksi itu mengantarku ke halaman parkir Rumah Sakit Boromeus. Segera aku menuju kamar rawat di lantai dua. Aku ketuk pintu kamar dan ketika pintu terbuka Intan sudah berdiri di sana.
”Om Alan Bu!” suara Intan dengan gembira memberitahu ibunya.
”Assalaamu alaikum!” aku memberi salam.
Aku melihat Kinanti tersenyum padaku sambil membalas salamku. Kinanti terlihat pucat. Memang butuh istirahat untuk mengembalikan kondisi kesehatannya. Tekanan darahnya rendah dan ternyata hasil uji Laboratorium menunjukkan kadar haemoglobinnya juga rendah. Kinanti mungkin terlalu capek. Terutama karena kelelahan tidak hanya secara fisik namun juga psikis.
”Terima kasih Alan sudah mau menjengukku!” kata Kinanti dengan suara lemah namun wajahnya menampakkan kegembiraan.
”Alhamdulillah Kinan. Tentu saja aku pasti menjengukmu apalagi sedang sakit begini sedang tidak sakitpun aku tetap menjengukmu!” kataku.
”Iya Bu. Jika Om Alan menjenguk Ibu saat sedang sakit itu artinya khawatir namun jika Om Alan menjenguk Ibu waktu Ibu tidak sakit, itu artinya karena rindu!” suara Intan menggoda sambil tertawa. Rupanya Intan sudah mulai berseloroh. Mendengar ini aku  tertawa dan Kinanti hanya tersenyum.
”Intan sekarangpun Om Alan menjenguk Ibumu juga karena rindu lho!” kataku tidak kalah dengan Intan untuk menggoda Kinanti. Ruangan rawat inap itu penuh dengan canda dan tawa. Suasana yang sangat menggembirakan.
”Kinan bagaimana kondisimu sekarang?” tanyaku.
”Alhamdulillah, tensi sudah mulai membaik dan haemoglobin mudah-mudahan juga sudah meningkat dengan transfusi ini!” kata Kinanti.
”Syukurlah beristirahatlah sampai pulih lagi jangan terlalu banyak pikiran!” kataku.
”Om Alan sih enggak mau ngerti. Ibu tuh banyak pikiran karena orang Surabayanya nggak mau ngerti!” kata Intan lag-lagi menggoda Ibunya.
”Intan, jangan macam-macam kamu itu!” suara Kinanti sambil cemberut. Aku kembali tertawa.  Kinanti benar-benar tidak berkutik ”dikerjain” Intan, anak gadisnya sendiri. Memang suasana ruangan tempat Kinanti dirawat demikian hangat dengan canda dan tawa. Aku melihat Kinanti seperti terlahir kembali.  Wajahnya sudah nampak bersinar.
Wanita cantik yang terbaring di ruang perawatan ini seakan sudah pulih. Aku kembali melihat mata yang berbinar jika Kinanti berbicara dan menatapku. Aku juga merasakan ada rindu di hatinya. Iya Kinanti memang merindukanku sama seperti halnya aku merindukannya.
Sabtu itu ketika aku kembali menjenguk, Kinanti sudah kelihatan segar dan bugar. Wajah cantiknya sudah kembali memancar secerah Sabtu pagi ini. Kota Bandung ditemani Matahari yang bersinar dengan langit cerah berwarna biru. Hari ini aku mempunyai kesempatan seharian menemani Kinanti. Intan sendiri hari Sabtu ada kegiatan di Kampusnya sehingga aku benar-benar hanya bersama Kinanti.
”Tadi malam Listya telpon aku menanyakan kondisi kesehatanku!. Dia tahu darimu aku dirawat di Rumah Sakit!” kata Kinanti.
”Iya tadi malam aku sms Listya memberi khabar tentangmu!” kataku.
”Oh ya Listya bercerita katanya Audray minggu depan mau melangsungkan pernikahannya!” kata Kinanti.
”Benar Kinan. Aku berharap minggu depan kau sudah benar-benar pulih sehingga bisa bersamaku ke resepsi pernikahannya Audray!” kataku.
”Menurut dokter yang memeriksaku pagi tadi, Inshaa Allah hari Senin besok aku sudah diperbolehkan pulang!” kata Kinanti.
”Alhamdulillah. Kinan sungguh aku senang mendengarnya. Memang aku melihat wajahnya Kinanti sekarang sudah kembali berbinar seperti biasanya!” kataku.
”Alan Erlangga mulai kumat!” kata Kinanti mendelik tapi sambil tersenyum dan aku tertawa lepas.
”Lalu apa pesan dokter tadi pagi untuk menjaga kesehatanmu?” tanyaku.
”Dokter bilang padaku jangan terlalu banyak pikiran, istirahat cukup dan perhatikan makan!” kata Kinanti.
”Nah itu terlalu banyak yang dipikirkan sebaiknya Kinanti memikirkan satu hal saja!” kataku.
”Memikirkan satu hal?. Apa itu?” tanya Kinanti.
”Cukup memikirkan satu hal yaitu pikirkan Alan Erlangga yang lain lupakan!” kataku sambil tertawa. Untuk kali ini sebuah cubitan mendarat di perutku dan aku hanya meng”aduh”.
”Memang dasar Alan Erlangga sifat jeleknya tidak hilang-hilang!” kata Kinanti pura-pura ketus.
”Astagfirullah sifat jelek yang mana?” kataku protes.
”Itu yang pintar bikin rayuan gombal!”kata Kinanti. Aku kembali tertawa sementara Kinanti hanya tersenyum. Aku benar-benar lega karena aku melihat Kinanti sudah pulih, sehat dan gembira.
Menjelang sore aku segera berpamitan sesaat setelah Intan dan Bapak  Ibunya datang menjenguk Kinanti. Kedua orang tua Kinanti mengucapkan terima kasih atas kunjunganku. Bagiku beliau-beliau sudah bukan orang lain tapi sudah seperti orang tuaku sendiri. Terutama Ibunya seakan penuh harap kepadaku agar aku selalu tetap bisa menjaga Kinanti. Aku bisa merasakan dari dialog dialog kecilnya bersamaku. Sebelum aku berpamitan Intan masih sempat bercanda menggoda Ibunya.
”Om ternyata obatnya Ibu itu ada di Surabaya. Buktinya setelah obat itu datang menjenguk sekarang Ibu sudah sehat lagi!” kata Intan dan kami di ruang itu tertawa sementara Kinanti hanya bisa melotot kepada Intan anak gadisnya.
Malam Minggunya aku habiskan bersama Ibunda tercinta dengan mengajak makan malam di sebuah Kafe yang dekat dengan rumah. Ibu sekali lagi menanyakan tentang jodohku bahkan ketika tahu Kinanti sedang menyendiri saat ini, Ibu mengharapkan aku menikah dengan Kinanti saja. Memang Ibu dulu juga pernah berkata seperti itu dan kali ini permintaan Ibu dikatakannya lagi. Aku mencoba merenung ada makna apa dan bagaimana aku harus bersikap. Malam itu aku hanya berkata kepada Ibuku agar aku selalu didoakan mendapatkan jodoh yang terbaik.
Minggu pagi itu aku masih sempat menjenguk Kinanti di Rumah Sakit Boromeus karena aku mendapatkan tiket penerbangan siang.
”Kinan siang ini aku kembali ke Surabaya. Semoga kau tetap sehat dan kembali ceria jangan murung. Jangan terlalu banyak pikiran cukup pikirkan satu hal saja!”,kataku.
Untuk kali ini Kinanti tersenyum penuh arti dan aku tahu arti dari senyum itu. Senyum yang manis dengan mata indah bercahaya maka lengkaplah kecantikan wanita di depanku ini.
”Alan sungguh aku sangat bahagia memiliki sahabat sepertimu. Sungguh aku merasa nyaman, tenang, tentram berada di sisi sahabat sejatiku ini!” kata Kinanti.
”Alhamdulillah. Aku juga demikian Kinanti adalah sahabat sejatiku yang selalu membuat aku penasaran. Sahabat yang selalu membuatku bertanya-tanya!” kataku.
”Mengapa aku membuatmu selalu bertanya-tanya? Profesor Alan apa sebenarnya yang ingin kau tanyakan?” kata Kinanti sambil senyum senyum.
”Entahlah saking banyaknya pertanyaan sehingga tidak satupun yang mampu aku ingat!” kataku juga sambil senyum-senyum.
”Baiklah Profesor jika nanti sudah ingat pertanyaan itu segeralah katakan  kepadaku!” kata Kinanti.
Dialog-dialog itu akhirnya membuat kami tertawa. Aku merasakan kebahagiaan yang lain terutama ketika Kinanti mengatakan merasa nyaman, tenang, tentram berada di sisiku. Benarkah? Mudah-mudahan bukan sekedar angin Surga. Ternyata perjuangan masih panjang maka akupun siang itu berpamitan kembali ke Surabaya.
”Hati-hati Alan jaga dirimu baik-baik. Kabari aku jika sudah tiba di Surabaya!” pesan Kinanti.
”Juga untuk Kinan jaga kesehatan, cukup fikirkan satu hal saja ya!” kataku. Kinanti mengangguk sambil tersenyum manis.

BERSAMBUNG Episode 23