Foto : Hensa
Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh
Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Sinopsis
Alan Erlangga adalah sosok yang selama 20 tahun
merasa kehilangan Diana Faria, kekasihnya yang harus dipanggil oleh Yang Maha
Punya hanya seminggu sebelum hari perkawinan mereka. Merasa kehilangan selama
20 tahun adalah waktu yang lama. Ternyata ALLAH telah mengirim seorang gadis
bernama Daisy Listya untuk menggugah hati Alan Erlangga. Daisy Listya adalah seorang
gadis cantik, cerdas, berkepribadian luhur, memiliki prinsip hidup, berhasil
membuka dan mencairkan kebekuan hati seorang Alan Erlangga. Listya ini yang
telah menyadarkannya dari mimpi buruk panjang. Mungkin saja Daisy Listya memang
nantinya bukan menjadi teman hidupnya karena seusai Wisuda Sarjana, Listya
akhirnya bertunangan dengan pria yang mencintainya bahkan sampai menuju jenjang
pernikahan. Menghadapi kenyataan ini Alan Erlangga tidak mampu berbuat apa-apa.
Alan hanya pasrah. Cukup baginya bahwa Daisy Listya adalah gadis yang telah mampu
membuka hatinya menjadi merasa hidup kembali. Ada pepatah bahwa mencintai itu
tidak harus memiliki. Benarkah cinta itu menjadi sangat tinggi nilainya ketika
harus mencintai tapi tidak harus memiliki?. Ditengah-tengah kegalauannya
tiba-tiba hadir sahabat lamanya bernama Kinanti Puspitasari. Seakan hadir untuk
menentramkan hatinya. Saat ini Kinanti memiliki seorang putri yang sedang
beranjak remaja. Wanita ini membesarkan putri semata wayangnya sendirian karena
suaminya sudah lama meninggal dunia. Kinanti adalah teman Alan sewaktu mereka
SMA dan diusia yang sudah tidak muda lagi mereka kembali bertemu. Bagi Alan
masa-masa SMA bersama Kinanti begitu indah untuk dikenang karena Alan waktu itu
pernah juga jatuh cinta kepada Kinanti walaupun ternyata Kinanti hanya
menganggapnya seorang sahabat.
Kepada siapa akhirnya Alan Erlangga melabuhkan
hatinya?. Apakah kepada Daisy Listya seperti harapan cintanya selama ini?.
Apakah kepada Kinanti?. Simak saja cerita episode demi episode dari Episode
Cinta Daisy Listya.
Episode 2
ADA CINTA DI RUANG HAMPA
Di ruang
HPLC sore itu aku baru saja menyalin beberapa data dari file Bank Data yang ada
di sana. Aku teringat beberapa waktu yang lalu di ruang ini aku bersama Listya
berbincang tentang Diana Faria.
“Kita sebenarnya tidak pernah memiliki apapun maka oleh
sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki!”
Itulah
kutipan kata-kata Listya yang sangat menyentuh hatiku. Aku seperti terbangun
dari mimpi. Ya gadis itu yang telah membangunkan mimpi burukku. Daisy Listya
seakan mau berkata bahwa Diana Faria bukan milikku tapi semata-mata hanya milik
Allah.
Oh Tuhan 20 tahun sudah aku telah menyia-nyiakan waktu.
Ampuni hambaMu yang telah menganiaya diri sendiri. Ampuni hambaMu yang sudah tidak tahu diri
merasa memiliki yang bukan haknya padahal segala sesuatu hanya Engkaulah yang
berhak.
Di depan
komputer itu aku sebenarnya lebih banyak termenung dari pada memperhatikan data
penelitian yang mau kujadikan bahan Simposium Farmakologi di ITB. Siapa lagi yang membuat aku lebih banyak termenung selain Daisy Listya.
Sudah
dua minggu yang lalu aku terakhir bertemu Listya di hari Wisuda itu. Padahal
baru dua minggu yang lalu tapi rasanya seperti sudah dua tahun yang lalu.
Mungkin karena aku sangat merindukannya, entahlah. Kini selalu terngiang-ngiang
ucapan Daisy Listya : “Kita sebenarnya tidak pernah memiliki apapun maka oleh
sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki!”
Aku
sangat bersyukur kepada Allah sudah berkenalan dan merasa dekat dengan Daisy
Listya. Sekarang paling tidak hatiku sudah terbuka walaupun sebenarnya
harapanku adalah gadis itu. Aku benar-benar merindukannya. Kadang-kadang aku
merasa tergoda untuk menghubungi nomor handphone nya tapi selalu kuurungkan.
Bahkan pernah terpikir agar nomor handphone Listya di delete saja agar aku bisa melupakannya. Namun hal itu juga tidak
kulakukan. Saat aku merindukan Listya pernah aku berharap tiba-tiba saja ada
sms darinya mungkin hanya sekedar mengatakan ‘Pak bagaimana kabar?’ tapi
ternyata tidak pernah ada. Listya sudah benar-benar menghilang. Belum pernah
aku merasakan kehampaan seperti ini. Mungkin Listya sekarang sudah kembali ke
Malang ke rumah orang tuanya. Sebenarnya Malang hanya 90 km dari Surabaya. Aku
sendiri kalau sedang bosan di Surabaya sekali-kali pergi rekreasi ke Kota
Malang yang sejuk. Aku sebenarnya bisa ke Malang kapan saja untuk bertemu
Listya tapi aku tidak tahu alamatnya. Andaikata tahu alamatnyapun lalu
sebenarnya apa keperluanku menemuinya?. Tidak
ada alasan satupun yang kutemukan jika aku menemui gadis itu.
Sudahlah Alan. Listya rupanya dikirim Allah hanya untuk dikenang.
Gadis itu dikirim Allah untuk menggugah hatimu agar kamu mulai terbuka lagi
menerima uluran calon teman hidupmu.
Suara hatiku
seakan memberontak. Aku harus merelakan Listya. Maka sore itu dari Laboratorium
HPLC itu aku hanya mendapatkan kehampaan yang amat sangat walaupun disana
sebenarnya sudah ada cinta.
Hari
sudah semakin sore dan hujan baru saja reda ketika aku meninggalkan
Laboratorium HPLC menuju ruang kerjaku di Gedung Fakultas Farmasi. Memang pada
bulan Januari ini kota Surabaya sedang diguyur hujan hampir setiap sore. Aku
menyusuri trotoar jalan dalam Kampus tiba-tiba terdengar seseorang memanggilku.
Suara perempuan. Oh ternyata Amelia, sobatnya Listya.
”Mel wah
kamu rupanya masih betah di sini saya
kira sudah hilang kemana kerja dimana atau diboyong suamimu! ” kataku bercanda.
”Pak
Alan bisa saja. Tadi saya baru ngurus legalisir ijazah dan ada keperluan
administrasi dengan Fakultas. Oh ya pak ada salam dari Listya ”kata Amelia.
Mendengar ini bagaikan ada badai dari Surga bukan angin lagi. Ya hanya salam
dari Listya telah membuat aku sangat bahagia.
”Terima
kasih sampaikan salam kembali kalau ketemu dia ya!” kataku berusaha
menyembunyikan rasa bahagiaku.
”Dua
hari yang lalu saya ketemu Listya di Kampus. Waktu itu dia juga ingin ketemu
Bapak tapi katanya Bapak sedang ke Bandung ” kata Amelia.
”Dua
hari yang lalu?. Oh ya saya pulang menjenguk Ibu. Kok Listya tidak sms saya
atau telpon?” tanyaku.
”Kata
Listya tidak apa-apa, dia hanya ingin ketemu saja ” Amelia menjelaskan.
Oh Tuhan
dia ingin ketemu denganku apakah artinya dia juga rindu padaku. Kembali aku
merasakan kebahagiaan karena harapan itu kembali muncul. Tapi nanti dulu
laki-laki yang dulu waktu wisuda itu kan calon suaminya. Tidak Alan, kau tidak
boleh berharap terlalu tinggi biar nanti kalau jatuh tidak terlalu sakit.
”Mel
ngomong-ngomong kapan saya terima undangan dari Listya tolong kalau ketemu
tanyakan ya...oh iya juga dari kamu kapan nih undangan pernikahannya !”
tanyaku.
”Wah
kalau saya masih lama Pak. Kepingin kerja dulu dong, kalau Listya mungkin bulan
depan tapi kemarin calon suaminya baru saja masuk Rumah Sakit namun tidak
cerita sakit apa!” kata Amelia.
”Apakah
sekarang masih di Rumah Sakit? Rumah
Sakit mana di Malangnya ” tanyaku penasaran.
”Rumah
sakit Saiful Anwar Kamar 2 Pavilliun Anggrek
Kemarin saya dan teman-teman baru saja menjenguk dan juga ketemu dengan
Listya ” kata Amelia.
”Saya
ingin menjenguk calon suami Listya. Bagaimana kalau Amel menemani saya besok
Minggu jika Amel tidak punya acara?” tanyaku.
”Okey
Pak saya Minggu tidak ada acara. Kita janjian ketemu di Kampus saja bagaimana
Pak?” usul Amelia.
”Okey
kita ketemu pk 7.00 ya!” kataku.
Minggu
pagi itu aku dan Amelia sudah meluncur di atas jalan Tol menuju Malang. Sampai
di Porong yang terkenal dengan Lumpur Lapindonya kendaraan mulai merayap
pelan-pelan tidak sampai macet total tapi volume kendaraan cukup padat terutama
yang menuju arah Malang. Hari Minggu biasanya orang-orang Surabaya banyak yang
rekreasi ke Malang. Ternyata tidak sampai satu jam kemacetan di Porong bisa
dilalui dengan lancar. Akhirnya kami sampai di RS Saiful Anwar sudah hampir pk
10.00. Memang perjalanan yang panjang karena macet di Porong, Singosari dan
kota Malang sendiri sekarang sudah terlalu padat dengan kendaraan bermotor
sehingga kemacetanpun terjadi dimana-mana.
Amelia
mengajakku ke Ruang Paviliun Anggrek yang ada di lantai 3. Sesampai di sana ada
beberapa Perawat yang sedang piket di Loby Ruangan Masuk. Di depan kamar
pasien, Amelia mengetuk pintu perlahan. Seseorang membukakan pintu. Seorang
lelaki yang rasanya pernah ketemu ya ini adalah Pak Sofyan,Ayah Listya.
”Oh
Amel...sama Pak Alan!” katanya ramah. Rupanya beliau masih ingat namaku.
”Mari
silahkan masuk Pak ” sambil membukakan pintu. Aku baru saja memperhatikan
Pak Sofyan ya kira-kira usianya sama
denganku sekitar 45 tahun. Nanti dulu di ruangan ini tidak nampak Listya. Ya
tidak ada Listya di situ hanya ada Rizal ya Rizal nama tunangannya Listya,
sedang terbaring dengan infus sementara di sampingnya ada seorang gadis seusia
Listya mungkin adiknya. Melihat aku datang, Rizal kelihatan sangat senang.
”Terima
kasih Pak Alan mau menjenguk saya!” kata Rizal.
”Ya Mas
Rizal. Saya baru tahu dari Amel kemarin mangkanya baru sekarang bisa menjenguk.
Oh ya bagaimana diagnosa terakhir dari dokter Ahli disini?” tanyaku.
”Sudah
diketahui ada batu ginjal yang harus diambil dan kemungkinan adanya infeksi
yang cukup serius. Tahap awal ini batu ginjal harus segera di operasi setelah
itu baru penyembuhan infeksi ginjal ” kata Rizal.
”Syukurlah
kalau sudah ketahuan penyakitnya. Rencana operasinya kapan?”
”Insya
Allah Rabu pekan depan. Mohon doa restunya Pak!” kata Rizal.
”Ya Mas
Rizal semoga semuanya berjalan lancar dan operasinya sukses!”
”Oh iya.
Tya baru saja tadi pagi gantian jaga dengan adik saya. Perkenalkan Pak Alan ini
adik saya namanya Risa, ” kata Rizal sambil memperkenalkan adiknya yang berdiri
disampingnya. Aku menjabat uluran tangannya. Rizal mengatakan adiknya baru
masuk Perguruan Tinggi di Malang. Gadis manis ini agak pendiam kesan itu
terlihat waktu Risa mengucapkan namanya demikian pelan nyaris tidak terdengar
namun gadis ini masih sempat tersenyum malu. Ya Risa disamping pendiam juga
nampaknya pemalu.
”Risa
anak bungsu ya !” tanyaku. Dia hanya tersenyum mengangguk. He he he gadis
bungsu pendiam dan pemalu.
”Ya Pak
kami hanya dua bersaudara. Saya sendiri anak sulung dan Risa ini satu-satunya
adik saya ” kata Rizal menjelaskan.
Kami
mengobrol cukup akrab tidak terasa hari sudah siang. Akhirnya aku dan Amel
berpamitan sambil mengharapkan Rizal segera sembuh dan operasi batu ginjalnya
lancar. Pak Sofyan mengantar sampai pintu.
”Terima
kasih pak Alan sudah berkunjung, sayang sekali tidak ketemu dengan Tya!” kata
Pak Sofyan. Semua orang disitu memang memanggil Listya dengan Tya sedangkan
teman-teman Kampusnya dulu seperti Amel memanggil gadis itu dengan Lis atau
Listya.
”Tidak
apa-apa kan sudah bertemu dengan Rizal yang penting segera sembuh. Titip salam
saja untuk Listya mudah-mudahan tabah menghadapi cobaan ini” kataku mencoba
menghibur Ayah Listya.
”Ya Pak
terima kasih, nanti salamnya saya sampaikan kepada Tya !”
Aku dan
Amelia akhirnya meninggalkan RS Saiful Anwar Malang. Setelah mampir makan siang
terlebih dulu di sebuah Cafe Jalan Soekarno-Hatta, tempat langgananku jika aku
berkunjung ke Malang, akhirnya kami kembali meluncur menuju Surabaya.
Sepanjang
perjalanan hujan turun menemani kami. Aku melihat Amel sudah kelihatan ngantuk
dan tertidur dalam alunan musik dari tape mobil yang mengalunkan lagu For You To Remember nya Leon Hainnes
Band dan Good bye nya Air Supplay.
Selesai lagu itu disambung dengan lagu Richard Marx :”……If I see you next to never, how can we say forever …..Wherever you go,
whatever you do . I will be right here waiting for you . Whatever it takes or
how my heart breaks . I will be right here waiting for you…….”
Lagu-lagu
itu memang akan selalu mengingatkanku kepada Listya. Ya I will be right here waiting for you. Saat saat aku masih biasa
bertemu dengannya di jalan trotoar Kampus atau di koridor Laboratorium atau di
Ruang HPLC atau di Ruang kerjaku sambil diskusi tentang skripsinya.
Ya Daisy Listya mengapa aku tidak dapat menghapus
bayanganmu dari dalam anganku. Mengapa aku tidak bisa memindahkan dirimu dari
ruang hatiku karena sekarang seolah dirimu sudah mengisi ruang dimana dulu
Diana Faria berada. Listya padahal sebentar lagi kau akan melengsungkan
pernikahan dengan orang yang kau cintai yaitu Rizal. Mengapa dirimu begitu kuat
mencengkram perasaanku seperti halnya dulu Diana Faria membelengguku dalam
jebakan masa lalu.
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang
Engkau rencanakan untukku ya Allah.
Seperti
biasa di kawasan Porong kemacetan kendaraan sudah menjadi rutin apalagi Minggu
sore seperti ini banyak kendaraan dari arah Malang menuju Surabaya.
“Oh maaf
Pak…saya ketiduran…,” suara Amelia
membangunkanku dari lamunan. Aku tersenyum melihat Amelia seperti orang
linglung.
“Tidak
apa apa Tuan Putri!” kataku sambil ketawa.
“Ah Pak
Alan saya jadi malu…oh ya sayang sekali tadi tidak ketemu Listya. Sebenarnya
saya sudah hubungi handphone nya tapi
tidak diangkat mungkin Listya masih istirahat tidur kelelahan habis piket malam
!” kata Amelia.
“Ya Mel
tapi yang penting kita sudah menjenguk tunangan Listya dan kita tahu dia sudah
berangsur sehat. Oh ya apakah Amel tahu kapan mereka melangsungkan
pernikahannya?” tanyaku.
“Dulu
Listya pernah cerita akan menikah bulan Maulud ini tapi dia juga pernah curhat
sama saya Pak tentang pernikahannya ini ” kata Amelia.
“Curhat
bagaimana Mel?” tanyaku penasaran.
“Listya
baru bertunangan dengan Rizal kira-kira sebulan sebelum wisuda dan saat itu
sekaligus lamaran. Listya sebenarnya belum tahu apakah dia mencintai Rizal atau
tidak karena yang dia lakukan adalah hanya menyenangkan kedua orang tuanya yang
banyak berhutang budi kepada keluarga Mas Rizal. Selama ini keluarga Mas Rizal
banyak membantu biaya kuliah Listya sampai dia lulus sekarang ini!” kata Amelia.
Aku
sungguh terkejut. Listya ternyata tidak mencintai Rizal dan dia bertunangan dan
menerima lamaran Rizal karena campur tangan orang tua mereka.
“Oh
begitu !” kataku pura-pura tenang menanggapi cerita ini padahal aku sangat
terkejut bercampur bahagia karena ternyata Listya belum tentu mencintai Rizal.
Sebuah harapan kembali muncul.
“Tapi
Mel mudah-mudahan Listya akhirnya mau mencintai Mas Rizal karena aku lihat Mas
Rizal begitu mencintai Listya !” kataku. Aku tidak tahu kata-kata ini hanya
basa-basi atau tidak tapi itu adalah doa. Ya Allah mudah-mudahan itu doa yang
tulus. Aku paling takut dengan ke pura-puraan.
“Ya Pak
tapi menurutku Listya tidak mencintai Mas Rizal…dia hanya ingin menyenangkan
kedua orang tuanya ” kata Amelia. Kembali aku terkejut dengan keyakinan Amelia.
“Listya
pernah bercerita waktu itu walaupun seperti bergurau bahwa dia sedang mengagumi
seseorang. Saya bertanya siapa?. Listya hanya tertawa sambil berkata rahasia ”
kata Amelia membuatku semakin penasaran. Tapi aku tetap mencoba diam tidak
bereaksi.
“Pak kan
aneh kalau Listya mengagumi seseorang soalnya dia terbiasa dikagumi
orang-orang. Cewek-cewek saja suka sama dia karena keramahannya apalagi cowok.
Banyak yang mencoba mendekati Listya tapi dia selalu menghindar dan menolaknya
dengan sopan. Saya jadi yakin rupanya
dia memang sedang mengagumi seseorang hanya sampai sekarang dia tidak pernah
cerita siapa yang dia maksud…tapi yang jelas orang yang dikagumi Listya tidak
sembarang orang, ” kembali kata Amelia. Wah makin banyak nih informasi tentang
Listya. Bahagianya orang yang dikagumi Listya.
Diskusi
tentang Listya ditengah kemacetan jalan Porong
justru membuat betah sehingga tidak terasa kami sudah keluar dari
kemacetan yang panjang dan sekarang sudah meluncur di jalan Tol Porong –
Surabaya. Sementara itu masih banyak informasi baru yang keluar dari bibir
mungil Amelia, sahabat dekatnya Listya.
“Oh ya
dia juga pernah bicara tentang Pak Alan. Katanya Bapak itu orangnya sabar,
telaten dan sangat perhatian. Dia merasa bangga menjadi mahasiswi bimbingan
Bapak. Lalu pernah bertanya-tanya Pak Alan itu pacarnya siapa ya kok masih betah sendirian, “ kembali suara
Amelia. Aku cukup terkejut juga mendengar cerita Amelia ini yang satu ini.
“Tahu
nggak Pak, waktu itu saya sempat
menggoda Listya dengan pertanyaan Lis kamu naksir ya sama Pak Alan? Aku lihat
dia terkejut mendengar pertanyaan ini kemudian sambil tersenyum Listya menjawab
yang jelas Pak Alan tak mungkin naksir aku dia kan pasti menganggapku seperti
anaknya kan usia Pak Alan hampir sama dengan Bapakku….!” kata Amelia dengan suara polos.
Mendengar
ini aku tersenyum. Tapi mungkin saja aku naksir kamu Listya he he he. Memang
Amel ini kalau sudah bercerita ngerumpi susah untuk dihentikan tapi malah tidak
apa apa karena aku dapatkan info gratis tentang Listya. Tidak terasa akhirnya
kami sudah memasuki jalan Tol dalam kota. Aku mengambil pintu keluar Tol arah
Satelit menuju TVRI di Jalan Mayjen Sungkono kemudian menuju Jalan Dr.Sutomo
menyeberang Jalan Raya Darmo kearah Kertajaya. Amelia tinggal di kawasan
Dharmahusada. Aku mengantar Amelia
sampai di depan rumahnya.
“Amel
saya sangat berterima kasih sudah mau menemani sepanjang hari ini !” kataku.
“Ya pak
sama-sama. Bapak singgah dulu?” Amelia menawarkan agar aku singgah.
“Okey
Mel lain kali saja thanks..!” kataku lalu segera aku berpamitan.
Hari
yang sangat melelahkan namun juga menyenangkan karena banyak cerita tentang
Listya. Hampir Magrib akhirnya aku tiba di rumah. Seperti biasa si Mbok sudah
menyiapkan secangkir kopi dan makanan kue di atas meja beranda rumah. Aku
benar-benar sangat lelah sekali. Tiba-tiba hand phone ku bernyanyi. Aku lihat siapa
ya?. Oh ternyata Listya menghubungiku.
“Ya Assalaamu
alaikum….,” jawabku.
“Saya
Tya pak…,” suara Listya diseberang sana.
“Oh ya
Listya…saya masih hafal suaramu !” kataku. Tentu saja suaranya yang merdu mana
mungkin aku bisa lupa.
“Saya
takut Bapak lupa karena lama kita tidak pernah saling telepon. Oh ya Pak maaf
tadi saya tidak bisa menemui waktu Bapak menjenguk mas Rizal!” kata Listya.
“Tidak
apa-apa Lis yang penting Mas Rizal sudah
semakin membaik dan mudah-mudahan besok Rabu operasinya berjalan lancar dan
sukses!”
“Iya Pak
terima kasih doanya dan kunjungannya untuk Mas Rizal. Ini sekarang sudah sampai
Surabaya Pak?”.
“Ya Lis
alhamdulillah sudah di rumah baru saja sampai !”
“Syukurlah
perjalanannya dari Malang Surabaya lancar. Minggu lalu saya ke Kampus ada
urusan penyelesaian administrasi dan juga mau ketemu Bapak tapi waktu itu
sedang ke Bandung ” kata Listya.
“Ya saya
juga dengar dari Amel ada Listya namun waktu itu sayang sekali kita tidak bisa
ketemu. Oh ya Lis sekali lagi mudah-mudahan Mas Rizal cepat sembuh sehingga
semua rencana berjalan lancar. Saya dengar Listya bulan Maulud ini sudah mau
menikah, saya ikut berbahagia Lis,” suaraku agak bergetar karena menahan
perasaan yang tidak menentu. Beberapa saat Listya terdiam.
“Ya Pak
terima kasih” jawab Listya pendek.
Kudengar
suaranya seperti menahan tangis bukan suara kebahagiaan mungkin karena Rizal
sakit sehingga Listya merasa sedih.
“Insya
Allah Listya mas Rizal sembuh. Tidak
perlu khawatir semuanya sudah ditangani dokter. Saya akan terus berdoa untuk
kebaikannya dan juga kelancaran pernikahan Listya ” kataku menghibur. Beberapa
saat tidak ada jawaban Listya. Gadis ini seperti terdiam membisu. Cukup lama
terdiam sehingga ada kekosongan pembicaraan
sampai akhirnya aku kembali bersuara :
“Hallo
Listya…kamu baik-baik saja? Listya?”
tanyaku.
“Ya
pak…tidak apa apa. Maaf pak saya sudahi dulu ya…sekali lagi terima kasih untuk
semuanya untuk doanya…saya juga berdoa mudah-mudahan Bapak juga segera
mendapatkan kebahagiaan dengan orang yang menggugah perasaan Bapak yang dulu
pernah cerita sama saya…sekali lagi saya minta maaf Pak..Assalaamu alaikum” kata
Listya suaranya seperti menahan tangis.
“Wa
alaikum salaam!” jawabku.
Apa yang
terjadi. Mengapa Listya tidak nampak bahagia menghadapi hari pernikahannya?.
Kemudian kata-katanya tentang orang yang menggugah perasaanku seperti ada
perasaan cemburu dari nada bicaranya. Dia tidak tahu orang tersebut adalah
dirinya. Ada apa denganmu Listya. Teringat cerita Amelia bahwa Listya mau
menikah karena keluarganya berhutang budi kepada keluarga Rizal. Namun kenapa
tidak, Rizal adalah pemuda yang baik sudah bekerja mapan dari keluarga
berkecukupan dan kesanku Rizal sangat sayang kepada Listya. Mengapa Listya
tidak mencintai Rizal?. Lalu siapa orang yang saat ini sangat dikagumi oleh
Listya seperti diceritakan Amelia?.
Teringat pula cerita Amelia ketika menggoda Listya :
“Tahu nggak
pak…waktu itu saya sempat menggoda Listya dengan pertanyaan Lis kamu
naksir ya sama pak Alan?. Aku lihat dia terkejut mendengar pertanyaan ini
kemudian sambil tersenyum dia menjawab yang jelas pak Alan tak mungkin naksir
aku dia kan pasti menganggapku seperti anaknya usia Pak Alan kan sama dengan
Bapakku….!”
Mendengar
ini terus terang aku jadi sadar betapa jauh usia antara aku dan Listya. Aku
berusia 45 tahun sedangkan sekarang Listya baru 21 tahun selisih 24 tahun.
Namun aku tidak tahu, sebenarnya cinta itu bukan soal usia tapi soal perasaan.
Aku melihat Litya adalah sosok dewasa yang sangat berkepribadian lengkap.
Listya adalah wanita idealku. Listya walaupun seperti titisan Diana Faria tapi
Listya adalah Listya. Gadis ini sudah menjadi dirinya sendiri. Terlalu banyak persamaan antara Daisy Listya
dan Diana Faria namun aku harus realistis Listya adalah Listya.
Dalam
kekalutan seperti ini bagaimanapun aku merasakan kebahagiaan karena telah
menerima telpon Listya padahal selama ini setiap aku menelpon dia tidak pernah
hp nya diangkat walaupun aku tahu hp nya aktif. Aku tidak mengerti mengapa
Listya seperti selalu menghindar dariku. Namun beberapa waktu yang lalu malah
Listya ingin bertemu denganku. Rasanya banyak sekali pertanyaan tentang Listya
yang sangat aku butuhkan jawabannya. Siapakah orang yang dia kagumi seperti
yang diceritakan Amelia?. Apakah memang benar Listya tidak mencintai Rizal?.
Jika benar, mengapa dia mau menikah dengan Rizal?. Apakah pernikahan mereka
hanya atas dasar hutang budi keluarga Listya kepada keluarga Rizal?. Semua
pertanyaan tersebut belum ada satupun jawabannya. Kemana aku harus mencari
jawabannya?. Entahlah.
Senin
pagi bagi para pegawai adalah hari paling malas. Ada ungkapan terkenal yang berbunyi
I don’t like Monday. Ungkapan
itu ternyata bagiku saat ini tidak berlaku walaupun aku juga adalah pegawai
negeri. Senin pagi itu aku begitu bersemangat menuju Kampus untuk bekerja. I
like Monday he he he melawan arus. Aku
tidak tahu Senin pagi ini aku begitu
segar dan bersemangat. Apakah mungkin karena sudah menerima telpon dari
Listya?. Ha ha ha mungkin juga. Tidak akan pernah habis aku membicarakan Listya
karena dia adalah gadis yang telah membangunkanku dari tidur panjang. Seperti
biasa pagi itu mobil ku parkir ditempat parkir Fakultas. Di ruang kerjaku yang
pertama kulakukan adalah menyalakan komputer. Lalu aku buka agenda hari ini.
Pk.8.00 : Mengisi kuliah semester 6. Pk
10.00 : Rapat akreditasi laboratorium. Pk 13.00 : Mengisi kuliah semester 8. Pk
15.00 : free. Agenda cukup padat tapi
aku hari Senin ini begitu semangat. Aneh. Kegiatan berikutnya membuka email.
Wow ada email dari Indra Susanto, sahabatku sewaktu kami kuliah di Bogor.
Rupanya dia mau ke Surabaya untuk menghadiri Seminar Nasional Kimia di ITS 25
Januari ini. Hai nanti dulu 25 Januari itu kan hari ini. Wah Si Indra ada di
Surabaya. Aku mencari nomornya di Hand Phone kemudian aku mencoba
menghubunginya.
“Hallo…Alan
…Assalaamu alaikum Profesor?” suara Indra lantang di seberang sana.
“Wa
alaikum salaam. Indra sudah di Surabaya? Sudah di ITS? Pagi ini aku baru saja
buka emailmu…andaikata tidak aku tidak tahu jika kamu ada di Surabaya. Sudah
mulai seminarnya?” tanyaku.
“Ya ini
masih Sidang Pleno. Aku pagi ini baru tiba!” kata Indra.
“Sebaiknya
nanti menginap di tempatku saja. Sore nanti aku jemput. Bagaimana khabar istri tercinta, Aini?”
tanyaku.
“Alhamdulillah
baik-baik terimakasih. Aini kirim salam untukmu. Kapan kamu kawin katanya he he
he!” kata Indra.
“Ha ha
ha tahun ini insya Allah!” kataku mantap.
“Serius
Al?” Tanya Indra penasaran
“Lho ya
serius atuh…kumaha..si Akang teh….aku serius tahun ini insya Allah..he he he!”
kataku kembali menjawab sambil terkekeh kekeh.
“Bagaimana
bisa serius bung…jawabannya saja tidak meyakinkan…!” kata Indra. Mendengar ini
aku tertawa. Akhirnya kami sepakat sore nanti aku menjemput Indra di ITS untuk
menginap di rumahku. Seminar Nasional Kimia di ITS berlangsung dua hari. Sore
itu didepan Loby Auditorium Perpustakaan Pusat ITS dimana seminar tersebut
berlangsung, aku menunggu kemunculan Indra Susanto. Tidak begitu lama Seminar
sore itu usai sudah dan para peserta segera meninggalkan ruangan. Diantara
orang-orang yang berhamburan keluar ruangan aku melihat sosok yang sudah tidak
asing lagi.
“Indra
!” sapaku. Kami saling berpelukan dengan rasa gembira.
“Al kau
tidak banyak berubah tetap saja ganteng dan awet muda. Pasti di Kampusmu banyak
digila-gilai mahasiswi. Mereka suka sama Dosen ganteng!” kata Indra. Aku
tertawa mendengar omongan Indra.
“Iya
memang mahasiswi-mahasiswi itu menggila-gilai aku. Gila,Gila,Gila begitu kata mereka ha ha ha
ha!” kami tertawa.
Kami
meninggalkan ITS dan mulai meluncur menyusuri jalan Kertajaya menuju arah
Darmo-Dr Sutomo-Mayjen Sungkono-Tol dalam Kota dan keluar di Menanggal akses ke
arah Mesjid Al-Akbar. Itulah rute rutinku setiap hari.
“Wah Al
ini rumah hanya tinggal diisi oleh nyonya rumahnya saja…semua sudah lengkap!”
kata Indra sambil mengamati beberapa lukisan karyaku.
“Masih
melukis Al?. Dua lukisan dipojok itu aku sudah tahu sewaktu dulu di Bogor sedangkan
yang ini rupanya baru ” sambil mengamati sebuah lukisan cat minyak yang
menggambarkan nelayan pantai Kenjeran di senja hari. Lukisan ini aku buat di
pantai Kenjeran dalam suasana senja dengan warna orange dominan menjelang
Matahari tenggelam. Malam itu setelah makan malam kami duduk sambil berbincang
tentang masa lalu di Beranda depan.
“Al
kenalkan dong calon istrimu. Tadi kamu bilang mau nikah tahun ini?” kata Indra.
“Ya tadi
aku bercanda. Memang aku sekarang sudah menemukan seorang gadis pengganti Diana
Faria bahkan banyakkemiripan karakter dan sifatnya ” kataku.
“Alan
sampai kapan kamu selalu terbelenggu masa lalumu bersama Diana Faria? Saatnya
kini mulai membuka diri. Lihat disekelilingmu banyak wanita cantik!” kata
Indra.
“Dengar
dulu jangan potong ceritaku!” kataku.
“Okey
siapa nama calon istrimu?” tanya Indra.
“Daisy
Listya!” kataku mantap tanpa ragu. Sebenarnya aku hanya bermaksud bercerita hal
yang saat ini terjadi tapi yang jelas saat ini Listya bukan calon istriku tapi
calon istrinya Rizal.
“Wah
nama yang cantik. Aku yakin orangnya juga cantik. Jangan-jangan Diana Faria
kalah cantik ” Indra mulai berkomentar.
“Listya,
begitulah aku memanggilnya adalah gadis cantik sangat berkepribadian. Seorang
muslimah yang taat pada ajaran Allah. Gadis berjilbab yang ramah tutur kata dan
kaya dengan senyum. Usianya baru 21 tahun dan baru saja di wisuda Sarjana
Farmasi !”
“Hah
usianya 21 tahun. Alan gadis itu seusia Ratu Aulia, anak gadisku yang bungsu ” kata Indra terkejut.
“Bulan
depan dia menikah dengan calon suaminya” kataku. Indra tambah terkejut lagi
lalu dia menjabat tanganku sambil mengucapkan selamat.
“Tapi
bukan menikah denganku” kataku.
Mendengar
penjelasan ini Indra bukan lagi terkejut malah tertawa terbahak-bahak. Kucoba
menjelaskan serinci mungkin kisahku dengan Listya. Indra menyimak dengan baik
kisah cintaku.
“Alan,
ini mirip kisah Indra Susanto dan Aini Mardiyah….!” kata Indra mengingatkan
kisah cintanya dengan Aini yang sekarang sudah menjadi istrinya.
“Ya
mudah-mudahan seperti itu karena kisah cintamu berakhir bahagia!” kataku
berharap.
“Alhamdulillah
Alan semua kulalui dengan Ridho Allah dan aku yakin semua yang Allah kehendaki
tidak ada yang mampu mencegah kehendakNya. Mudah-mudahan kisah antara Alan
Erlangga dan Daisy Listya berakhir bahagia !” kata Indra berfilsofi.
Aku
hanya tersenyum kecut. Bulan depan Listya mau menikah mana mungkin. Ya mana
mungkin. Namun bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Untuk saat ini lebih
baik aku berdoa untuk kebahagiaan Daisy Listya. Mencintai tidak harus memiliki.
Indra
adalah sahabatku sewaktu sama-sama SMA dan kuliah S1 di Bogor. Indra adalah
sahabat seperjuangan. Banyak ceritaku
bersamanya dan banyak pula ceritanya bersamaku. Kami seperti dua mata
uang yang tidak bisa dipisahkan bahkan sampai sekarang. Persahabatan yang tulus
penuh dengan pengertian dan saling mengisi. Kami bersahabat dengan berharap
kepada cinta Allah semata. Demikianlah malam itu kami mengobrol sampai larut
malam hingga dini hari tidak terasa malam yang kami lalui begitu cepat berlalu.
Dua hari bertemu dengan sahabatku membawa rasa semangat perjuangan masa lalu
seperti terasa saat ini. Ada kata-kata
Indra yang menjadi pendorong semangatku yaitu semua yang Allah kehendaki tidak
ada yang mampu mencegah kehendakNya. Mudah-mudahan kisah antara Alan Erlangga
dan Daisy Listya berakhir bahagia.
Semoga begitu.
Diujung
bulan Januari ini hujan di kota Surabaya masih tetap curahnya tinggi. Setiap
sore turun hujan. Hari ini hari Rabu aku ingat Rizal operasi pengambilan batu
ginjal. Sekarang sudah pk 16 lewat 5 menit. Mungkin operasinya sudah selesai.
Rasanya aku ingin menelpon Listya. Ada keraguan untuk menelpon Listya. Tapi
tiba-tiba saja handphoneku berbunyi. Ternyata dari Listya.
“Pak ini
Tya…Alhamdulillah operasinya berhasil dan sekarang Mas Rizal sudah siuman….,”
suara Listya dari seberang sana dengan nada gembira.
“Alhamdulillah
Listya. Saya ikut senang sampaikan salam untuk Mas Rizal..!” kataku.
“Ya ini
sudah saya sampaikan. Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Bapak..,”
suara Listya penuh haru.
Berita
gembira ini tentu saja membuat aku bersyukur karena berarti pernikahan Listya
dengan Rizal tidak mengalami hambatan. Aku selalu berdoa untuk kebahagiaan
Listya. Dalam hati kecilku ada rasa yang tidak bisa aku ungkapkan betapa
pedihnya ketika Listya menikah dengan orang lain yang bukan aku. Namun aku
harus berusaha untuk tetap tegar dan tabah karena ini jangan-jangan ujian Allah
berikutnya yang harus aku hadapi. Teringat FirmanNya :”Hai orang-orang yang
beriman jadikanlah sabar dan sholat menjadi penolongmu sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar..!”
Hari
Kamis ini aku baru sadar bahwa semua agenda sudah selesai sementara waktu baru
menunjukkan pk 14.30. Bagiku masih terlalu pagi kalau aku harus pulang walaupun
tidak ada kegiatan lagi. Di ruang kerjaku aku mengisi waktu luangku dengan
mengisi buku harian yang selalu setia menemani keseharianku. Sementara itu
walaupun hari masih siang ternyata mendung sudah mulai mengurung langit
disekitar Kota Surabaya ini. Tiba-tiba aku dikejutkan suara ketukan halus di
pintu.
“Ya
masuk!” kataku.
“Assalaamu
alaikum ” suara merdu seorang gadis yang sangat familiar ditelingaku. Oh Tuhan
Daisy Listya berdiri di depan pintu yang terbuka sambil tersenyum manis. Aku memandang gadis ini
tertegun sejenak terpana namun cepat tersadar. Kombinasi warna gelap jilbab
dengan busana muslim warna pink membuat gadis ini terlihat anggun. Sebenarnya
pakaian warna apa saja yang dikenakannya pasti membuat Listya tetap cantik dan
menarik karena kecantikannya bisa juga dirasakan dengan hati.
“Listya…wa-alaikum
salaam masuk Lis silahkan duduk..!” kataku mempersilahkan gadis cantik ini
duduk.
“Bagaimana
kabar Listya juga Mas Rizal?” tanyaku.
“Alhamdulillah
baik-baik. Mas Rizal dan Bapak kirim salam untuk Pak Alan!” kata Listya.
“Terima
kasih sampaikan salam juga untuk mereka. Oh ya Listya ada kabar kejutan apa
nih?” tanyaku sambil tersenyum. Sejenak gadis ini terdiam.
“Saya
mengantarkan Undangan Pernikahan saya Pak. Saya sangat berharap Bapak bisa
hadir di pernikahan saya…,” kata Listya dengan suara yang sangat pelan. Ada apa
Listya seperti merasa sedih bukannya bahagia menghadapi hari pernikahan. Aku
menerima Undangan berwarna abu-abu muda dengan tulisan berwarna biru tua.
Kombinasi warna yang sejuk. Kubuka Undangan itu. Menikah Daisy Listya dan Rizal
Anugerah.
“Ya
Listya saya akan datang Insya Allah. Semoga kita diberikan Allah kesehatan dan
kesempatan!” kataku.
“Iya pak
terima kasih…!” kata Listya. Awan mendung semakin tebal dan hujan rupanya akan
segera turun membumi.
“Pak
Alan bolehkah saya bertanya?” kata Listya.
“Boleh
Lis mau tanya apa?” kataku.
“Saya
boleh tahu orang yang telah menggugah hati Pak Alan dari kebekuan selama ini
seperti dulu pernah cerita. Mungkin dia nanti jadi calon istri Bapak!” kata
Listya.
Aku
benar-benar terkejut mendengar kata-kata Listya. Aku hanya terdiam beberapa
saat. Aku benar-benar tak bisa menjawab.
“Listya
ya betul seorang gadis telah membuat perubahan dalam hidup saya seperti dulu
saya ceritakan. Namun saya yakin gadis itu tidak tahu kalau dia telah
membukakan hati saya…!” kataku.
“Bapak
bisa sebutkan orangnya nanti saya bantu biar dia tahu…!” kata Listya penasaran.
Aku kembali terdiam dan tak mampu berkata apa-apa.
“Terima
kasih Listya mau membantu saya tapi
biarlah dia akan tahu dengan sendirinya.
Maafkan saya ya Lis!” kataku.
“Tidak
apa-apa Pak Alan. Sungguh saya sangat
terharu kalau ingat cerita Mbak Diana Faria. Bapak harus mulai
mendapatkan teman hidup yang menjadi cahaya mata hati Bapak sehingga nanti akan merasa tentram kepadanya. Saya akan bahagia
jika Bapak segera menemukan gadis tersebut…,” kata Listya, suaranya yang
lembut dengan tutur kata yang memukau.
Oh Tuhan didepanku ini adalah teman hidup yang menjadi idaman selama ini.
Mengapa mahluk cantik di depanku ini tidak ditakdirkan untuk menjadi istriku?.
“Saya
mohon pamit dulu Pak. Jangan lupa saya tunggu Undangan Pernikahan Bapak !” kata
Listya.
Gadis
cantik ini berpamitan mengucapkan salam sambil meninggalkan keramahannya. Aku menyempatkan
mengantar Listya sampai di ujung pintu.
“Hati-hati
Listya!” kataku. Mendengar ini Listya kembali tersenyum manis.
Hujan
diluar sudah mulai turun membasahi tanah. Aku masih duduk memandang Undangan
Pernikahan Daisy Listya. Rasanya seperti
mimpi. Aku sudah menemukan gadis yang mampu menggantikan Diana Faria namun
gadis ini ternyata harus menikah dengan orang lain. Apa sebenarnya yang
terjadi. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti.
Aku mencoba terus memahami arti hidup ini hari demi hari. Aku harus
mulai mencoba pula melupakan harapanku terhadap Listya. Biarlah dia bahagia
dengan orang yang dicintainya. Aku harus mencoba menjadikan hatiku memiliki
ruang yang luas sehingga bisa menerima cobaan apapun yang terjadi padaku. Harus
ku akui saat ini memang ada rasa cinta disalah satu ruang hatiku yang hampa.
Cinta yang sudah terlantar selama 20 tahun. Entah akan kuberikan kepada siapa
lagi jika bukan kepada Daisy Listya. Entahlah.
BERSAMBUNG
Episode 3
No comments:
Post a Comment