Foto : Hensa
Tantangan
100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh
Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Sinopsis
Alan Erlangga adalah sosok yang selama 20 tahun
merasa kehilangan Diana Faria, kekasihnya yang harus dipanggil oleh Yang Maha
Punya hanya seminggu sebelum hari perkawinan mereka. Merasa kehilangan selama
20 tahun adalah waktu yang lama. Ternyata ALLAH telah mengirim seorang gadis
bernama Daisy Listya untuk menggugah hati Alan Erlangga. Daisy Listya adalah seorang
gadis cantik, cerdas, berkepribadian luhur, memiliki prinsip hidup, berhasil
membuka dan mencairkan kebekuan hati seorang Alan Erlangga. Listya ini yang
telah menyadarkannya dari mimpi buruk panjang. Mungkin saja Daisy Listya memang
nantinya bukan menjadi teman hidupnya karena seusai Wisuda Sarjana, Listya
akhirnya bertunangan dengan pria yang mencintainya bahkan sampai menuju jenjang
pernikahan. Menghadapi kenyataan ini Alan Erlangga tidak mampu berbuat apa-apa.
Alan hanya pasrah. Cukup baginya bahwa Daisy Listya adalah gadis yang telah mampu
membuka hatinya menjadi merasa hidup kembali. Ada pepatah bahwa mencintai itu
tidak harus memiliki. Benarkah cinta itu menjadi sangat tinggi nilainya ketika
harus mencintai tapi tidak harus memiliki?. Ditengah-tengah kegalauannya
tiba-tiba hadir sahabat lamanya bernama Kinanti Puspitasari. Seakan hadir untuk
menentramkan hatinya. Saat ini Kinanti memiliki seorang putri yang sedang
beranjak remaja. Wanita ini membesarkan putri semata wayangnya sendirian karena
suaminya sudah lama meninggal dunia. Kinanti adalah teman Alan sewaktu mereka
SMA dan diusia yang sudah tidak muda lagi mereka kembali bertemu. Bagi Alan
masa-masa SMA bersama Kinanti begitu indah untuk dikenang karena Alan waktu itu
pernah juga jatuh cinta kepada Kinanti walaupun ternyata Kinanti hanya
menganggapnya seorang sahabat.
Kepada siapa akhirnya Alan Erlangga melabuhkan
hatinya?. Apakah kepada Daisy Listya seperti harapan cintanya selama ini?.
Apakah kepada Kinanti?. Simak saja cerita episode demi episode dari Episode
Cinta Daisy Listya.
Episode 3
SELAMAT BERBAHAGIA BIDADARIKU
Simposium
Farmakologi di ITB berlangsung di Aula Barat dengan peserta yang cukup lumayan
banyak. Pada siang itu sehabis rehat aku baru saja selesai menyampaikan
presentasi makalahku. Dalam acara diskusi yang cukup hangat, banyak pertanyaan
dan pendapat teman-teman sejawat yang menanggapi makalahku. Mereka hampir
sebagian besar adalah teman-teman dosen yang sudah aku kenal. Ketika ada
seorang peserta wanita bertanya aku memperhatikan dia seperti bukan teman-teman
dosen yang selama ini aku kenal. Tapi nanti dulu ketika kusimak bagaimana
caranya dia bicara, warna suaranya dan profil wajahnya terutama ketika
kuperhatikan matanya yang bagus itu sepertinya aku pernah mengenalnya. Lalu
ketika dia menutup pertanyaannya dengan senyum, aku seakan-akan masih ingat
senyum itu. Oh benarkah dia?. Maka pada acara rehat sore itu aku berusaha
mencari wanita tersebut. Akhirnya diantara kerumunan para peserta yang sedang
rehat, aku melihat wanita itu berdiri di dekat pintu keluar.
Sejenak
kuperhatikan wanita itu. Oh Tuhan semakin aku perhatikan maka semakin aku
mengenalnya. Ternyata aku yakin sekarang, dia adalah Kinanti Puspitasari
sahabatku sewaktu SMA dulu.
Aku agak
pangling karena sekarang Kinanti mengenakan jilbab, tapi justru Kinanti semakin
cantik dan anggun walaupun memang awalnya dia sudah cantik dan anggun. Segera
saja aku bergegas menghampirinya.
“Apakah
betul penglihatan saya kalau ibu bernama Kinanti Puspitasari ?” aku sengaja
menyapanya dengan nama lengkapnya.
“Alan, syukurlah
ternyata kamu masih ingat aku. Lucu juga kamu panggil aku ibu!” katanya
tersenyum. Kinanti memang cantik dan anggun dan dulu aku sangat mengaguminya.
“Kejutan
bisa bertemu Kinanti Puspitasari di kota Bandung ini!” kataku sambil tertawa.
“Alan
padahal Minggu depan aku mau ke Surabaya ke Kampusmu tapi ternyata takdir
mempertemukan denganmu lebih cepat. Aku sebelumnya tidak tahu kamu Dosen di
sana. Tentu kalau ketemu di sana bisa lebih lucu lagi..,” kata Kinanti tertawa
renyah.
“Oh ya
Kinan rencana ke Surabaya tanggal berapa? Biar aku atur jadwalku sehingga aku
bisa menemanimu selama di Surabaya!” tanyaku.
“Hari
Kamis 25 Februari. Wah Alan mau menemaniku selama di Surabaya asyiiik
dong!” kata Kinanti. Akhirnya kami
berbincang akrab maklum sudah 25 tahun tidak bertemu ya sejak lulus SMA Kinanti
sebagai anak tunggal ikut orang tuanya ke Malaysia karena ayahnya ditugaskan
menjadi staf Kedubes di sana. Kinanti melanjutkan kuliah di Malaysia sampai
dengan S3. Saat ini bekerja sebagai tenaga dosen ITB. Kinanti sewaktu SMA
memang termasuk siswa yang cerdas. Saat itu tiga gadis cantik yang otaknya
cemerlang adalah Erika, Aini dan Kinanti. Tidak ada yang bisa menyaingi mereka
bertiga. Paling-paling aku dan Indra baru pada urutan berikutnya.
Ternyata
di Bandung ini aku bertemu teman lama dan bercerita banyak tentang masa-masa
yang sudah lewat. Masa remaja SMA yang penuh dengan nostalgia.
“Kinan
kamu sekarang pakai jilbab tapi aku tidak pernah lupa sama suaramu, mata dan
senyummu, mangkanya tadi waktu kamu bertanya dalam presentasiku aku seperti
mengenal ibu ini ha ha ha!” kataku
bercanda. Kinanti hanya tertawa renyah.
“Alan
jangan berlebihan ah, tapi Al kamu juga
tidak banyak berubah dari dulu tetap ganteng. Tentunya sekarang cintamu sudah
kau berikan kepada seorang wanita saja. Dulu waktu SMA cewekmu kan banyak cuma aku yang tidak jadi korbanmu
ha ha ha ha..!” kata Kinanti. Aku
tertawa mendengar apa yang dia katakan.
“Kinan
zaman SMA dulu hanya tinggal nostalgia jangan kuatir sekarang Alan sudah
menjadi orang yang hanya punya satu wanita, tapi poligami kan dibolehkan oleh agama !” kataku. Kami
kembali tertawa dan tidak memperpanjang pembicaraan apalagi beralih menjadi
diskusi tentang poligami wah bisa berdebat dengan Kinanti satu hari sendiri.
“Al aku
sekarang sudah punya anak satu, seorang gadis masih kelas 3 SMA tapi ayahnya
sudah meninggal. Ngomong-ngomong kamu jadinya sama siapa?. Arinta, Rina,
Jesica, Eva, Dian, Linda, Ana...ha ha ha cewek-cewekmu masih ada dalam
daftarku. Buntutmu sudah berapa?. Dulu pernah bilang mau bikin anak yang
banyak, ” kembali suara Kinanti bercanda. Kembali aku tertawa ketika Kinanti
menyebut nama-nama gadis yang pernah menjadi pacarku. Ah masa-masa SMA yang
penuh dengan keindahan. Namun aku lebih terkejut ketika Kinan mengatakan
suaminya sudah meninggal.
“Oh
Kinan, aku turut berduka cita ya. Kapan suamimu meninggal?” tanyaku.
“Terima
kasih Al. Suamiku meninggal 3 tahun yang lalu karena terkena kanker pencernaan.
Mungkin itu yang terbaik untuknya untukku dan anakku harus menerima dengan
ikhlas keputusunNya. Oh ya kamu belum jawab pertanyaanku?” kata Kinanti
membelokkan arah pembicaraan.
“Pertanyaan
yang mana?!” tanyaku pura-pura lupa.
“Anakmu
berapa?” tanya Kinanti.
“Aku
belum menikah he he he!” kataku mantap.
“Apa? Tidak dapat aku percayai playboy sepertimu
tidak bisa memilih satu wanitapun untuk menjadi seorang istri. Kamu jangan
bercanda Alan !” kata Kinanti seolah tidak percaya. Aku tertawa terkekeh
terutama mendengar kata playboy yang sudah lama kata tersebut tidak pernah terdengar.
“Awas ya
Kinan sekali lagi bilang aku playboy. Aku memang belum menikah dan ceritanya
panjang.... yang jelas calon istriku meninggal seminggu sebelum hari pernikahan
kami, ” kataku.
“Oh Alan
maafkan aku. Sungguh aku tidak tahu. Turut berduka ya Al. Kapan itu terjadi?”
tanya Kinanti.
“Dua
puluh tahun yang lalu. Calon istriku adalah teman kuliahku. Okeylah tapi
sekarang aku juga sudah ikhlas seperti kamu mengikhlaskan suamimu...!” kataku.
“Ya Al
ternyata kita ini tidak pernah punya
apa-apa dan seharusnya tidak pernah kehilangan apapun. Kita sendiri saja bukan
milik kita, ” kata Kinanti.
Mendengar
ini aku teringat Listya. Kata-kata Listya yang tidak pernah aku lupakan karena
kata-kata itu yang telah membuat aku tersadar. Andai kata-kata tersebut bukan
Listya yang mengucapkan, apakah hatiku akan tergugah?. Ya hanya Allah yang
dapat membuka hati seseorang hanya kebetulan hal itu terjadi melalui Listya.
“Hai
Al...kok malah melamun. Oh ya aku sekarang tinggal sama Bapak dan Ibu di Arca
Manik. Aku sengaja menemani mereka
karena aku kan anak satu-satunya. Kamu masih ingatkan rumahku?” kata Kinanti.
“Ya
tentu dong mana mungkin lupa rumahmu dulu kan markas grup kita!” kataku. Waktu
SMA dulu rumah Kinanti biasa digunakan untuk kumpul dengan sahabat-sahabat. Indra,
Erika, Aini dan aku kerap juga belajar bersama di rumah Kinanti.
“Oh Alan
bagaimana khabar Indra Susanto? Apakah dia jadi menikah dengan Erika?” tanya
Kinanti.
“Kinan
ternyata waktu begitu cepat berubah. Inilah kehidupan. Erika dijodohkan orang
tuanya dengan orang lain. Indra bukan jodohnya Erika. Ternyata jodohnya Indra
adalah Aini....!” kataku. Kinanti terperangah tidak percaya.
“Mereka
bertiga bersahabat hanya karena Allah. Erika dan Aini dua sahabat seperti
saudara kandung. Ketika Indra dan Aini menikah Erikapun hadir merestui
pernikahan itu. Betapa indah hidup ini jika cinta hanya berdasarkan cinta
ALLAH, ” kataku menjelaskan. Sekarang kulihat Kinanti termenung.
“Ya
betul Alan. Aku kenal Aini dan Erika dua gadis cantik terhormat, pandai dan
cerdas serta berhati mulia. Sekarang aku
juga semakin yakin bahwa Allah itu sebaik-baik perencana oleh karena itu mari
kita sikapi setiap ujian Allah dengan hati yang lapang, ” kata Kinanti.
Kulihat
diwajahnya ada rasa muram dan kesedihan yang dalam. Mungkin Kinanti teringat
mendiang suaminya. Sementara aku juga hanyut dengan kata-kata Kinanti yang
terakhir ini karena tiba-tiba saja aku teringat Listya yang sebentar lagi akan
melangsungkan pernikahannya. Allah itu sebaik-baik perencana oleh karena itu
mari kita sikapi setiap ujian Allah dengan hati yang lapang. Sebuah rangkaian kalimat yang perlu
direnungkan dalam dalam.
Kota
Bandung kota kelahiranku kembali menorehkan kenangan ketika aku harus bertemu
lagi dengan Kinanti. Teringat masa SMA dulu betapa aku suka gonta ganti pacar
dan waktu itu Kinanti adalah salah satu gadis yang tidak mampu aku tundukkan.
Kinanti adalah gadis yang selalu mengingatkanku untuk tidak bermain-main dengan
cinta. Cinta itu sangat luhur dan terhormat jangan dikotori dengan nafsu. Aku masih
ingat kata-katanya. Kinanti adalah gadis terhormat berwibawa seperti Erika dan
Aini yang mampu menjaga harga dirinya dengan amanah. Mereka adalah gadis-gadis
cantik lahir batin waktu itu dan kalau sekarang, mereka adalah wanita-wanita
cantik lahir batin. Teringat masa lalu ketika aku sering mempermainkan cinta
dan ketika akhirnya cinta itu berlabuh di hati seorang Diana Faria. Betapa kami
saling mencintai dengan tulus. Betapa
kami punya rencana hidup bersama untuk mengabdi kepadaNya. Namun apa boleh dikata
ternyata cinta sejati itu harus diambil oleh yang Maha Memiliki.
Memang
Dia adalah Pemilik cinta itu. Barangkali inilah mungkin balasan yang setimpal
yang harus diterima oleh seorang Alan Erlangga, Si Playboy kurang ajar yang
telah banyak menyakiti hati wanita. Bertemu dengan Kinanti seakan masa-masa SMA
dulu kembali terbayang. Aku harus banyak istighfar memohon ampun padaMU ya
Allah. Mungkin juga ketika aku mengharapkan cintaku berlabuh di hati seorang
Daisy Listya ternyata Allah menentukan lain.
Listya akan menikah dengan laki-laki lain. Ampunilah diri hamba ya Allah
karena kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain kepadaMu yang Maha
Pengampun. Berikan pula padaku keikhlasan untuk selalu menerima setiap ujianMu
dengan lapang dada. Aku mencintai Listya karena itu aku akan bahagia melihat
Listya bahagia. Aku mencintainya hanya karena aku mencintaiMu. Mencintai tidak
harus memiliki. Aku memang tidak pernah punya apapun yang harus kumiliki.
Sejak
pertemuan pada simposium itu, aku dan Kinanti sering berhubungan walau hanya
melalui hand phone. Hampir setiap hari selalu saja ada sms dari Kinanti bahkan
malamnya kadang-kadang Kinanti menelpon hanya untuk sekedar ngobrol dan
tertawa-tawa mengenang masa SMA dulu. Seperti pada malam itu Kinanti menelpon menceritakan
kebahagiaan bersama suaminya dan sering kali dia merasa rindu bertemu mendiang
suaminya. Jika sudah demikian maka Kinanti bercerita sambil terisak.
“Kinan
sabar dan ikhlas adalah jalan terbaik untukmu, ” kataku menghibur.
“Ya
terima kasih Alan. Aku bertemu denganmu saat ini merasa seperti bertemu dengan
malaikat. Selama ini aku tidak bisa bercerita seperti ini. Al mudah-mudahan
kamu tidak bosan mendengar cerita-ceritaku ini!” kata Kinanti.
“Ya
Kinan dengan senang hati aku setia mendengarkan cerita-ceritamu, ” kataku
membesarkan hatinya.
Kinanti
pada usia yang sama denganku ternyata masih memiliki kecantikan yang alami.
Wanita berdarah sunda tulen berkulit kuning langsat ini pesonanya masih
menebar. Kinanti. Kinanti. Kinanti Puspitasari.
Aku juga merasa heran mengapa Kinanti belum menikah lagi. Rasanya tidak
percaya jika tidak ada laki-laki yang berusaha mendekatinya.
Malam
itu setelah menerima telpon dari Kinanti aku tidak bisa tidur entah apa yang
kupikirkan. Di meja kecil sebelah tempat tidurku aku melihat Undangan
Pernikahan Listya. Memang aku sengaja menaruhnya di sana. Listya sedang apa kau
disana?. Sabtu pekan depan Listya akan melangsungkan pernikahannya. Apakah ini
yang membuatku tidak bisa tidur ?. Aku selalu teringat Listya, gadis kembarannya
Diana Faria. Kadang-kadang ada rasa putus asa ketika aku harus menyadari bahwa
sebentar lagi Listya sudah menjadi istri orang lain namun hal itu tidak boleh
terjadi. Aku harus tetap berfikir baik kepada Allah. Aku harus kenali diri ini
yang ternyata hanya seonggok daging dan sebatang tulang plus segaris rambut
yang semakin rapuh dan beruban. Jika ada darah mengalir dan air mata yang
tumpah itu hanya sebagian kecil saja dari ketidak berdayaan diri ini. Betapa
rapuh dan ringkih diri ini sudah seharusnya aku tahu diri. Allah aku bersimpuh
bersimbah peluh, berlutut bertekuk takut, aku hanya membawa sepatah dua patah
doa. Akhirnya malam itu aku bersujud beralas sajadah tahajudku dan membiarkan
diriku tertidur dalam haribaanNya. Aku selalu ingat FirmanNya : “Karena itu
ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadaMu dan bersyukurlah
kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu!”. Maka pada malam itu aku
benar-benar menikmati ketidak berdayaanku sampai malampun menyentuh waktu
subuh.
Di ruang
kerjaku pagi itu aku sudah menghadapi dua mahasiswa untuk konsultasi bimbingan
skripsi. Satu seorang mahasiswi dan satunya seorang mahasiswa. Mereka baru saja
selesai menyusun proposal penelitian revisi yang mau diajukan untuk seminar
proposal Minggu depan. Aku sebenarnya tinggal tanda tangan tapi kepalaku masih
terasa penat karena tadi malam tidak bisa tidur maka aku mengusir kedua
mahasiswa tersebut dengan halus.
“Okey
proposal kalian akan saya baca dulu nanti siang kembali kesini, ” kataku dan
mahasiswa tersebut berpamitan. Melihat mereka bimbingan skripsi aku jadi
teringat ketika pertama kali bertemu Listya. Waktu itu Listya bersama Amelia
sahabatnya, mengajukan proposal penelitian. Aku benar-benar terperangah ketika
berbincang atau mendengarkan tutur katanya. Ketika dia tersenyum atau tertawa
kecil. Gadis ini sangat lembut hatinya. Aku merasakan aura kecantikan hatinya.
Hatiku terasa damai tentram karena mendengar tutur kata lembut gadis ini begitu
mempesona. Kesan pertamaku tentang Listya selalu terpatri dalam hatiku.
“Pak
Alan bagaimana kalau metode spektrofotometri saja yang digunakan?” tanya Listya
suatu hari ketika kami berdiskusi tentang metode analisis instrumen yang akan
dipakai dalam skripsinya.
“Ya
Listya bisa dengan Spektrofotometri tapi jauh lebih selektif jika menggunakan
HPLC !” kataku menjelaskan.
“Baik
pak memang HPLC lebih akurat pemisahannya untuk komponen-komponen penting ini.
Tapi pak saya belum begitu familiar dengan alat HPLC karena dulu praktikumnya
berkelompok!” kata Listya ragu.
“Jangan kuatir
Lis nanti bisa kursus kilat sama Profesor Alan Erlangga..!” kataku bercanda
sambil tertawa. Listyapun tertawa. Oh begitu manisnya dia tertawa. Sebaris
gigi-giginya jauh lebih rapi dari model iklan pasta gigi apapun di Televisi.
Dialog-dialog ringan ditengah-tengah diskusi tentang skripsi yang serius
membuat kami begitu akrab. Gadis ini kecerdasannya tidak diragukan lagi. Kursus
kilat HPLC benar-benar kursus kilat betulan, karena cukup hanya satu hari
Listya sudah mampu menguasai alat canggih itu.
“Lis
sekarang saya sudah lega melepasmu untuk bercengkrama dengan HPLC ini jangan
kuatir berteman dengan alat ini sangat menyenangkan pokoknya bisa lupa waktu.
Bagiku HPLC sudah seperti istri keduaku, ” kataku kembali berseloroh ketika
saat itu aku memberikan kursus kilat HPLC.
“Lho Pak
lalu istri pertamanya kok belum pernah
dikenalkan kepada saya!?”, kata Listya juga bercanda karena Listya memang tahu
aku belum beristri.
“Lis
jangan begitu ah. Istri pertamanya masih entah dimana mungkin cewek-cewek tidak
ada yang berminat menjadi istriku maka kalau begitu berarti HPLC adalah istri
pertamaku, ” kataku sambil tertawa. Kami bersenda gurau ditengah-tengah
keseriusan menganalisis sampel-sampel penelitiannya Listya.
Aku juga
teringat ketika kami berbincang mengenai hoby. “Membaca buku adalah hoby saya.
Buku-buku ilmu pengetahuan atau novel, ” jawab Listya ketika aku bertanya
tentang hobinya.
“Buku
apa yang paling berkesan yang pernah kau baca Lis?” tanyaku.
“Buku
buku karya Al-Ghazali sangat bagus untuk menjadi renungan. Kalau buku ilmu
pengetahuan yang ada hubungannya dengan kimia farmasi!” kata Listya.
“Kalau
Novel?” tanyaku.
“Novel
yang bersifat religi lebih aku sukai. Oh ya Pak, saya juga ingin mencoba bikin
novel. Nanti kalau sudah jadi Bapak mau baca ya !” kata Listya.
“Wah
bagus Lis nanti aku tunggu novelmu tapi sekarang selesaikan dulu saja
skripsimu, ” kataku mengingatkan.
“Okey
beres Pak Profesor!” jawab Listya sambil tertawa.
Ternyata
Listya memang sedang menulis novel. Aku mengetahui hal ini ketika draft
terakhir skripsinya diserahkan padaku. “Pak rasanya lega sekarang skripsi
akhirnya ditandatangani Bapak dan saya siap untuk ujian sidang skripsi. Setelah itu saya mau
melanjutkan menulis novel saya, ” kata Listya tersenyum. Aku menyukai senyumnya
karena begitu mirip senyum Diana Faria.
“Lis
novelnya sudah berapa halaman dan judulnya apa?” tanyaku.
“Episode
pertama baru saja saya selesaikan tadi malam. Oh ya judulnya adalah Masih
adakah ruang di hatimu, bagus ya pak?” tanya Listya meminta pendapatku.
“Masih
adakah ruang dihatimu. Judul yang membuat penasaran pembacanya. Lis kok kamu
pintar memilih judul, ” aku mengomentari
judul novel itu. Listya hanya tertawa kecil.
“Rupanya
calon sarjana Farmasi juga berbakat menjadi seorang novelis. Berikan dong bocoran
sinopsis ceritanya !” kataku penasaran.
“Jangan
dulu dong, nanti Bapak tidak penasaran lagi...!” kata gadis itu.
Masa-masa
gembira bersama Listya yang mungkin tak akan pernah terulang lagi. Mengingat
ingat saat itu ada rasa bahagia namun kembali aku harus realistis karena Minggu
depan Listya sudah menjadi istri Rizal
Anugerah. Ya Allah aku berdoa semoga mereka bahagia menjadi keluarga yang
sakinah, mawaddah warohmaah. Entah seperti apa perasaanku saat ini. Namun aku
tidak boleh mengotori ketulusan hati ini dengan hal-hal yang akan merusak jalan
untuk datangnya Ridho ALLAH padaku. Saat ini aku seolah merasakan getaran hati
Listya ketika aku ingat bagaimana tatapan matanya memandangku sambil berkata :
“Sungguh saya sangat terharu kalau ingat
cerita Mbak Diana Faria. Bapak harus mulai mendapatkan teman hidup yang menjadi
cahaya mata hati bapak sehingga bapak merasa tentram kepadanya. Saya akan
bahagia jika bapak segera menemukan gadis tersebut…!”
Suara
Listya masih terngiang ditelingaku. Gadis itu berdoa untukku dengan tulus. Aku
seperti mampu membaca sesuatu dalam tatapan matanya. Tatapan mata yang pernah
aku kenal dalam suatu masa. Tatapan mata ketulusan penuh dengan kasih sayang
yang pernah aku dapati dari Diana Faria. Benarkah Daisy Listya?. Jawabannya
hanya dia yang tahu.
Di ruang
kerja itu aku tidak banyak berbuat apa-apa dan diatas meja itu ada dua proposal
skripsi untuk penelitian yang segera saja kutanda tangani tanpa sempat lagi aku
baca. Sungguh hari ini penuh dengan gundah penuh dengan resah penuh dengan
gelisah penuh dengan sesuatu yang tidak jelas sehingga aku sempat bertanya
tanya dimana gerangan keikhlasan yang selama ini ada seakan sirna beberapa
saat. Segera tersadar dari kegundahan
dan keresahan, kubuka buku harianku untuk aku catatkan sesuatu yang terjadi
hari ini. Kututup hari itu dengan kalimat pendek disudut kanan buku harianku.
Pagi itu
aku terburu buru menuju stasiun Gubeng Surabaya Kota karena aku berjanji mau
menjemput Kinanti. Sekarang hari Kamis 25 Februari Kinanti selama dua hari ini
berada di Kampusku untuk mengikuti Workshop tentang tanaman obat. Memang begitu
cepat hari berlalu dan dua hari lagi dari hari ini Listya akan melangsungkan
pernikahannya. Pagi itu kesibukan Stasiun Kereta Api Gubeng semakin ramai
karena keberangkatan beberapa Kereta Api diantaranya Argo Wilis menuju ke
Bandung, Sancaka pagi menuju Yogyakarta dan Penataran ke Blitar. Selain itu
keramaian dan kesibukan di sana juga karena banyak para penjemput masih
menunggu kedatangan KA Turangga dari Bandung dan Bima dari Jakarta. Terdengar
pengumuman bahwa pada jalur 6 KA Bima dari Jakarta akan segera masuk. Aku masih
duduk di teras jalur 6 sementara beberapa penjemput mulai berdiri menunggu
kedatangan KA Bima. Menurut jadwal setelah Bima ini adalah Turangga dari Bandung.
Tiba-tiba suara hp ku berdering. Ternyata Kinanti.
“Alan
apakah sekarang sudah di stasiun?” tanya Kinanti.
“Ya
Kinan aku menunggumu sebentar lagi keretamu tiba di Gubeng!” kataku.
“Okey Al
terima kasih!” kata Kinanti.
Beberapa
saat kemudian akhirnya Turangga berhenti di jalur 6 untuk menurunkan para
penumpangnya. Dari jauh aku melihat Kinanti sosok yang aku kenal. Aku
melambaikan tanganku. Kinanti langsung melihat lambaian tanganku.
“Assalaamu
alaikum Profesor Alan!” sapa Kinanti.
“Wa
alaikum salaam....ha ha ha mulai bercanda!” kataku. Kami tertawa kemudian
bergegas menuju tempat dimana mobilku di parkir. Kinanti minta diantar ke rumah
pamannya yaitu adik kandung ibunya di kawasan jalan Sulawesi. Kamipun menuju ke
sana. Selama di Surabaya Kinan akan menginap disana. Setelah Kinanti mandi,
ganti baju dan sarapan akhirnya kami kembali menuju Kampus dimana Workshop
diselenggarakan. Aku sendiri tidak mengikuti acara itu namun berjanji sorenya
aku akan menjemput Kinanti. Hari itu agenda kerjaku sangat padat sekali.
Sorenya setelah mengisi kuliah aku segera bergegas menuju tempat Workshop dan
disana kulihat Kinanti sudah menungguku.
“Bagaimana
Kinan acara workshopnya?” tanyaku.
“Cukup
menarik tapi aku ngantuk sekali soalnya semalaman di Turangga tidak bisa tidur.
Oh ya Alan untuk kembali ke Bandung aku sudah dapat tiket Lion Air aku mohon
kau mau antar aku ke Bandara Juanda!” kata Kinanti.
“Dengan
senang hati Bu Kinan, hamba siap mengantar kemana saja selama di Surabaya ini
he he he. Lho Kinan kapan kembali ke Bandung?” tanyaku.
“Minggu
pagi pukul 9.00 sudah harus check in di Juanda. Terpaksa dapat tiket ke Jakarta
karena yang ke Bandung sudah habis !” jawab Kinanti. Sore itu kami segera
meninggalkan Kampus. Kuantar terlebih dulu Kinanti menuju jalan Sulawesi dimana
ia menginap selama di Surabaya.
“Malam
ini sebenarnya aku ingin mengajakmu makan malam tapi kamu pasti masih lelah
butuh balas dendam untuk tidur ya Kinan !” kataku sambil tertawa.
“Besok
malam saja Al !” kata Kinanti.
“Okey...aku
cabut dulu ya...Assalaamu alaikum!”
kataku berpamitan.
Esok
malamnya kami berada di sebuah Rumah Makan di Kompleks Manyar Megah Indah
dengan menu ikan mas bakar kesukaannya Kinanti. Aku sengaja memang mengajak
Kinanti untuk bersantap ikan bakar. Makan malam yang benar-benar santai sambil
berbincang masa-masa SMA yang tidak pernah bosan-bosannya. Perbincanganpun
akhirnya sampai juga pada topik Diana Faria dan Daisy Listya. Kisah yang
sekarang sedang aku alami di Surabaya ini.
“Kisah
yang mengharukan Alan. Aku memang tidak kenal Diana Faria maupun Daisy Listya
tapi aku bisa merasakan dua wanita ini sangat istimewa dihatimu. Wanita-wanita
yang penuh dengan pesona !” kata Kinanti.
“Ya
Kinan dan besok Sabtu 27 Februari Listya akan melangsungkan pernikahannya. Aku
hanya bisa berdoa untuk kebahagiaan Listya. Aku benar-benar harus mencoba tetap
tegar..!” kataku dengan perasaan tak menentu.
“Alan,
Allah itu sebaik-baik perencana dan Dia juga Maha Mengetahui apa-apa dan siapa
yang terbaik bagimu, ” suara Kinanti mengingatkanku.
“Ya Kinan
terima kasih. Aku sangat yakin itu karena rasanya tidak mungkin Allah
mendatangkan Listya padaku jika Dia tidak memiliki rencana yang baik untukku.
Aku selalu yakin dengan Allah hanya saja begitu sulitnya untuk memahami
rahasiaNya. Hanya melalui petunjukNya kita mampu memahami segala keputusanNya
!” kataku.
“Betul
Al dan manusia tidak pernah berhak untuk memutuskan. Kita hanya pelaku
kehidupan yang dikendalikan oleh yang Maha Punya kehidupan!” kata Kinanti.
“Subhanullah.
Bersyukurlah kita yang tetap selalu ingat kepadaNya..!” kataku.
Sungguh
hanya hamba-hambaNya yang mendapat hidayah yang selalu ingat kepadaNya disaat
suka maupun duka. Ya ALLAH hanya Engkaulah yang bisa memberikan ketabahan
kepadaku. Aku benar-benar tidak berdaya menghadapi ujian ini tanpa
pertolonganMu. Aku hanya pasrah kepadaMU. Aku menyerahkan semua daya dan
upayaku hanya padaMU.
“Alan
aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan Daisy Listya. Gadis ini adalah
pilihanmu dan aku yakin Listya adalah seorang gadis yang istimewa !” suara
Kinanti mengagetkanku dari lamunanku.
Kinanti ingin sekali kenal dengan Listya?. Ya memang Listya bukan gadis
sembarangan. Listya mempunyai kedudukan yang sangat istimewa dalam hatiku.
“Kalau
begitu besok kau mau menemaniku datang ke Resepsi pernikahan Daisy Listya.
Kinan kembali ke Bandung baru hari Minggu kan?” kataku memberi usul untuk
menemaniku pergi ke Resepsi Pernikahan Listya.
Kinanti setuju atas usul yang kuberikan.
Rupanya Kinanti penasaran dengan ceritaku tentang Daisy Listya.
Sabtu
pagi 27 Februari kami menuju kota Malang untuk menghadiri pernikahan Daisy
Listya. Alhamdulillah perjalanan cukup lancar sampai di kota Malang walaupun
kemacetan kawasan Porong dan Singosari masih juga seperti hari-hari sebelumnya.
Kami menuju Gedung Al-Hikam di jalan Kalpataru ke arah Cengger ayam, tempat
dimana resepsi pernikahan Listya berlangsung. Gedung yang tidak terlalu besar
ini sudah dipenuhi para undangan untuk mengucapkan selamat kepada mempelai
berdua. Dari jauh kulihat Listya dengan ramah menyambut para undangan yang
menyampaikan ucapan selamat mereka. Listya sangat cantik sekali dengan pakaian
pengantinnya. Tidak bosan-bosannya aku memandang gadis idamanku ini yang
sekarang sudah menjadi istri orang lain.
Setelah
ikut antrian yang panjang, kini tibalah saatnya giliranku menyampaikan ucapan
selamat kepada Listya. Ya kini didepanku adalah Listya istrinya Rizal, suami
yang berdiri disampingnya.
“Pak
Alan ! ” Listya menyapaku lebih dulu sambil menatapku tajam. Oh Tuhan ini
adalah tatapan Diana Faria. Ya di depan gadis ini aku seperti melihat Diana
Faria. Aku dapat merasakan cinta pada tatapan mata Listya seperti cintanya
Diana Faria. Sejenak aku terdiam sambil menatap Listya. Berilah aku kekuatan ya Allah.
“Listya
selamat !” kataku perlahan hampir tak terdengar. Hampir saja aku lupa
memperkenalkan Kinanti karena aku tidak dapat meredam perasaanku.
“Oh ya
Listya, ini Bu Kinanti!” kataku sambil memperkenalkan Kinanti padanya. Listya
malah kembali menatapku penuh arti.
“Bu
terima kasih !” suara Listya sambil tersenyum ramah menyambut uluran tangan
Kinanti.
Aku
melihat bagaimana tatapan Listya ketika Kinanti kuperkenalkan kepadanya.
Tatapan yang seolah mengatakan : “Pak Alan inikah wanita itu?”. Listya seolah ingin mengatakan
itu.
Ya Allah
hanya Engkau yang Maha Pemberi Petunjuk. Aku akan tetap berdoa untuk
kebahagiaan Listya. Berikanlah aku kekuatan ya Allah untuk mencintainya hanya
karena aku mencintaiMu semata. Selamat Berbahagia Bidadariku.
BERSAMBUNG EPISODE 4.
No comments:
Post a Comment