Tuesday, March 22, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (3)


Foto : Hensa

Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Sinopsis
Alan Erlangga adalah sosok yang selama 20 tahun merasa kehilangan Diana Faria, kekasihnya yang harus dipanggil oleh Yang Maha Punya hanya seminggu sebelum hari perkawinan mereka. Merasa kehilangan selama 20 tahun adalah waktu yang lama. Ternyata ALLAH telah mengirim seorang gadis bernama Daisy Listya untuk menggugah hati Alan Erlangga. Daisy Listya adalah seorang gadis cantik, cerdas, berkepribadian luhur, memiliki prinsip hidup, berhasil membuka dan mencairkan kebekuan hati seorang Alan Erlangga. Listya ini yang telah menyadarkannya dari mimpi buruk panjang. Mungkin saja Daisy Listya memang nantinya bukan menjadi teman hidupnya karena seusai Wisuda Sarjana, Listya akhirnya bertunangan dengan pria yang mencintainya bahkan sampai menuju jenjang pernikahan. Menghadapi kenyataan ini Alan Erlangga tidak mampu berbuat apa-apa. Alan hanya pasrah. Cukup baginya bahwa Daisy Listya adalah gadis yang telah mampu membuka hatinya menjadi merasa hidup kembali. Ada pepatah bahwa mencintai itu tidak harus memiliki. Benarkah cinta itu menjadi sangat tinggi nilainya ketika harus mencintai tapi tidak harus memiliki?. Ditengah-tengah kegalauannya tiba-tiba hadir sahabat lamanya bernama Kinanti Puspitasari. Seakan hadir untuk menentramkan hatinya. Saat ini Kinanti memiliki seorang putri yang sedang beranjak remaja. Wanita ini membesarkan putri semata wayangnya sendirian karena suaminya sudah lama meninggal dunia. Kinanti adalah teman Alan sewaktu mereka SMA dan diusia yang sudah tidak muda lagi mereka kembali bertemu. Bagi Alan masa-masa SMA bersama Kinanti begitu indah untuk dikenang karena Alan waktu itu pernah juga jatuh cinta kepada Kinanti walaupun ternyata Kinanti hanya menganggapnya seorang sahabat.
Kepada siapa akhirnya Alan Erlangga melabuhkan hatinya?. Apakah kepada Daisy Listya seperti harapan cintanya selama ini?. Apakah kepada Kinanti?. Simak saja cerita episode demi episode dari Episode Cinta Daisy Listya.





Episode 3
SELAMAT BERBAHAGIA BIDADARIKU
Simposium Farmakologi di ITB berlangsung di Aula Barat dengan peserta yang cukup lumayan banyak. Pada siang itu sehabis rehat aku baru saja selesai menyampaikan presentasi makalahku. Dalam acara diskusi yang cukup hangat, banyak pertanyaan dan pendapat teman-teman sejawat yang menanggapi makalahku. Mereka hampir sebagian besar adalah teman-teman dosen yang sudah aku kenal. Ketika ada seorang peserta wanita bertanya aku memperhatikan dia seperti bukan teman-teman dosen yang selama ini aku kenal. Tapi nanti dulu ketika kusimak bagaimana caranya dia bicara, warna suaranya dan profil wajahnya terutama ketika kuperhatikan matanya yang bagus itu sepertinya aku pernah mengenalnya. Lalu ketika dia menutup pertanyaannya dengan senyum, aku seakan-akan masih ingat senyum itu. Oh benarkah dia?. Maka pada acara rehat sore itu aku berusaha mencari wanita tersebut. Akhirnya diantara kerumunan para peserta yang sedang rehat, aku melihat wanita itu berdiri di dekat pintu keluar.
Sejenak kuperhatikan wanita itu. Oh Tuhan semakin aku perhatikan maka semakin aku mengenalnya. Ternyata aku yakin sekarang, dia adalah Kinanti Puspitasari sahabatku sewaktu SMA dulu.
Aku agak pangling karena sekarang Kinanti mengenakan jilbab, tapi justru Kinanti semakin cantik dan anggun walaupun memang awalnya dia sudah cantik dan anggun. Segera saja aku bergegas menghampirinya.
“Apakah betul penglihatan saya kalau ibu bernama Kinanti Puspitasari ?” aku sengaja menyapanya  dengan nama lengkapnya.
“Alan, syukurlah ternyata kamu masih ingat aku. Lucu juga kamu panggil aku ibu!” katanya tersenyum. Kinanti memang cantik dan anggun dan dulu aku sangat mengaguminya.
“Kejutan bisa bertemu Kinanti Puspitasari di kota Bandung ini!” kataku sambil tertawa.
“Alan padahal Minggu depan aku mau ke Surabaya ke Kampusmu tapi ternyata takdir mempertemukan denganmu lebih cepat. Aku sebelumnya tidak tahu kamu Dosen di sana. Tentu kalau ketemu di sana bisa lebih lucu lagi..,” kata Kinanti tertawa renyah.
“Oh ya Kinan rencana ke Surabaya tanggal berapa? Biar aku atur jadwalku sehingga aku bisa menemanimu selama di Surabaya!” tanyaku.
“Hari Kamis 25 Februari. Wah Alan mau menemaniku selama di Surabaya asyiiik dong!”  kata Kinanti. Akhirnya kami berbincang akrab maklum sudah 25 tahun tidak bertemu ya sejak lulus SMA Kinanti sebagai anak tunggal ikut orang tuanya ke Malaysia karena ayahnya ditugaskan menjadi staf Kedubes di sana. Kinanti melanjutkan kuliah di Malaysia sampai dengan S3. Saat ini bekerja sebagai tenaga dosen ITB. Kinanti sewaktu SMA memang termasuk siswa yang cerdas. Saat itu tiga gadis cantik yang otaknya cemerlang adalah Erika, Aini dan Kinanti. Tidak ada yang bisa menyaingi mereka bertiga. Paling-paling aku dan Indra baru pada urutan berikutnya.
Ternyata di Bandung ini aku bertemu teman lama dan bercerita banyak tentang masa-masa yang sudah lewat. Masa remaja SMA yang penuh dengan nostalgia.
“Kinan kamu sekarang pakai jilbab tapi aku tidak pernah lupa sama suaramu, mata dan senyummu, mangkanya tadi waktu kamu bertanya dalam presentasiku aku seperti mengenal ibu ini ha ha ha!”  kataku bercanda. Kinanti hanya tertawa renyah.
“Alan jangan berlebihan ah, tapi  Al kamu juga tidak banyak berubah dari dulu tetap ganteng. Tentunya sekarang cintamu sudah kau berikan kepada seorang wanita saja. Dulu waktu SMA cewekmu  kan banyak cuma aku yang tidak jadi korbanmu ha ha ha ha..!”  kata Kinanti. Aku tertawa mendengar apa yang dia katakan.
“Kinan zaman SMA dulu hanya tinggal nostalgia jangan kuatir sekarang Alan sudah menjadi orang yang hanya punya satu wanita, tapi poligami  kan dibolehkan oleh agama !” kataku. Kami kembali tertawa dan tidak memperpanjang pembicaraan apalagi beralih menjadi diskusi tentang poligami wah bisa berdebat dengan Kinanti satu hari sendiri.
“Al aku sekarang sudah punya anak satu, seorang gadis masih kelas 3 SMA tapi ayahnya sudah meninggal. Ngomong-ngomong kamu jadinya sama siapa?. Arinta, Rina, Jesica, Eva, Dian, Linda, Ana...ha ha ha cewek-cewekmu masih ada dalam daftarku. Buntutmu sudah berapa?. Dulu pernah bilang mau bikin anak yang banyak, ” kembali suara Kinanti bercanda. Kembali aku tertawa ketika Kinanti menyebut nama-nama gadis yang pernah menjadi pacarku. Ah masa-masa SMA yang penuh dengan keindahan. Namun aku lebih terkejut ketika Kinan mengatakan suaminya sudah meninggal.
“Oh Kinan, aku turut berduka cita ya. Kapan suamimu meninggal?”  tanyaku.
“Terima kasih Al. Suamiku meninggal 3 tahun yang lalu karena terkena kanker pencernaan. Mungkin itu yang terbaik untuknya untukku dan anakku harus menerima dengan ikhlas keputusunNya. Oh ya kamu belum jawab pertanyaanku?” kata Kinanti membelokkan arah pembicaraan.
“Pertanyaan yang mana?!” tanyaku pura-pura lupa.
“Anakmu berapa?” tanya Kinanti.
“Aku belum menikah he he he!” kataku mantap.
“Apa?  Tidak dapat aku percayai playboy sepertimu tidak bisa memilih satu wanitapun untuk menjadi seorang istri. Kamu jangan bercanda Alan !” kata Kinanti seolah tidak percaya. Aku tertawa terkekeh terutama mendengar kata playboy yang sudah lama kata tersebut tidak pernah terdengar.
“Awas ya Kinan sekali lagi bilang aku playboy. Aku memang belum menikah dan ceritanya panjang.... yang jelas calon istriku meninggal seminggu sebelum hari pernikahan kami, ” kataku.
“Oh Alan maafkan aku. Sungguh aku tidak tahu. Turut berduka ya Al. Kapan itu terjadi?” tanya Kinanti.
“Dua puluh tahun yang lalu. Calon istriku adalah teman kuliahku. Okeylah tapi sekarang aku juga sudah ikhlas seperti kamu mengikhlaskan suamimu...!” kataku.
“Ya Al ternyata kita ini  tidak pernah punya apa-apa dan seharusnya tidak pernah kehilangan apapun. Kita sendiri saja bukan milik kita, ” kata Kinanti.
Mendengar ini aku teringat Listya. Kata-kata Listya yang tidak pernah aku lupakan karena kata-kata itu yang telah membuat aku tersadar. Andai kata-kata tersebut bukan Listya yang mengucapkan, apakah hatiku akan tergugah?. Ya hanya Allah yang dapat membuka hati seseorang hanya kebetulan hal itu terjadi melalui Listya.
“Hai Al...kok malah melamun. Oh ya aku sekarang tinggal sama Bapak dan Ibu di Arca Manik.  Aku sengaja menemani mereka karena aku kan anak satu-satunya. Kamu masih ingatkan rumahku?”  kata Kinanti.
“Ya tentu dong mana mungkin lupa rumahmu dulu kan markas grup kita!” kataku. Waktu SMA dulu rumah Kinanti biasa digunakan untuk kumpul dengan sahabat-sahabat. Indra, Erika, Aini dan aku kerap juga belajar bersama di rumah Kinanti.
“Oh Alan bagaimana khabar Indra Susanto? Apakah dia jadi menikah dengan Erika?” tanya Kinanti.
“Kinan ternyata waktu begitu cepat berubah. Inilah kehidupan. Erika dijodohkan orang tuanya dengan orang lain. Indra bukan jodohnya Erika. Ternyata jodohnya Indra adalah Aini....!” kataku. Kinanti terperangah tidak percaya.
“Mereka bertiga bersahabat hanya karena Allah. Erika dan Aini dua sahabat seperti saudara kandung. Ketika Indra dan Aini menikah Erikapun hadir merestui pernikahan itu. Betapa indah hidup ini jika cinta hanya berdasarkan cinta ALLAH, ” kataku menjelaskan. Sekarang kulihat Kinanti termenung.
“Ya betul Alan. Aku kenal Aini dan Erika dua gadis cantik terhormat, pandai dan cerdas serta berhati mulia.  Sekarang aku juga semakin yakin bahwa Allah itu sebaik-baik perencana oleh karena itu mari kita sikapi setiap ujian Allah dengan hati yang lapang, ” kata Kinanti.
Kulihat diwajahnya ada rasa muram dan kesedihan yang dalam. Mungkin Kinanti teringat mendiang suaminya. Sementara aku juga hanyut dengan kata-kata Kinanti yang terakhir ini karena tiba-tiba saja aku teringat Listya yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahannya. Allah itu sebaik-baik perencana oleh karena itu mari kita sikapi setiap ujian Allah dengan hati yang lapang.  Sebuah rangkaian kalimat yang perlu direnungkan dalam dalam.
Kota Bandung kota kelahiranku kembali menorehkan kenangan ketika aku harus bertemu lagi dengan Kinanti. Teringat masa SMA dulu betapa aku suka gonta ganti pacar dan waktu itu Kinanti adalah salah satu gadis yang tidak mampu aku tundukkan. Kinanti adalah gadis yang selalu mengingatkanku untuk tidak bermain-main dengan cinta. Cinta itu sangat luhur dan terhormat jangan dikotori dengan nafsu. Aku masih ingat kata-katanya. Kinanti adalah gadis terhormat berwibawa seperti Erika dan Aini yang mampu menjaga harga dirinya dengan amanah. Mereka adalah gadis-gadis cantik lahir batin waktu itu dan kalau sekarang, mereka adalah wanita-wanita cantik lahir batin. Teringat masa lalu ketika aku sering mempermainkan cinta dan ketika akhirnya cinta itu berlabuh di hati seorang Diana Faria. Betapa kami saling mencintai dengan tulus.  Betapa kami punya rencana hidup bersama untuk mengabdi kepadaNya. Namun apa boleh dikata ternyata cinta sejati itu harus diambil oleh yang Maha Memiliki.
Memang Dia adalah Pemilik cinta itu. Barangkali inilah mungkin balasan yang setimpal yang harus diterima oleh seorang Alan Erlangga, Si Playboy kurang ajar yang telah banyak menyakiti hati wanita. Bertemu dengan Kinanti seakan masa-masa SMA dulu kembali terbayang. Aku harus banyak istighfar memohon ampun padaMU ya Allah. Mungkin juga ketika aku mengharapkan cintaku berlabuh di hati seorang Daisy Listya ternyata Allah menentukan lain.  Listya akan menikah dengan laki-laki lain. Ampunilah diri hamba ya Allah karena kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain kepadaMu yang Maha Pengampun. Berikan pula padaku keikhlasan untuk selalu menerima setiap ujianMu dengan lapang dada. Aku mencintai Listya karena itu aku akan bahagia melihat Listya bahagia. Aku mencintainya hanya karena aku mencintaiMu. Mencintai tidak harus memiliki. Aku memang tidak pernah punya apapun yang harus kumiliki.
Sejak pertemuan pada simposium itu, aku dan Kinanti sering berhubungan walau hanya melalui hand phone. Hampir setiap hari selalu saja ada sms dari Kinanti bahkan malamnya kadang-kadang Kinanti menelpon hanya untuk sekedar ngobrol dan tertawa-tawa mengenang masa SMA dulu. Seperti pada malam itu Kinanti menelpon menceritakan kebahagiaan bersama suaminya dan sering kali dia merasa rindu bertemu mendiang suaminya. Jika sudah demikian maka Kinanti bercerita sambil terisak.
“Kinan sabar dan ikhlas adalah jalan terbaik untukmu, ” kataku menghibur.
“Ya terima kasih Alan. Aku bertemu denganmu saat ini merasa seperti bertemu dengan malaikat. Selama ini aku tidak bisa bercerita seperti ini. Al mudah-mudahan kamu tidak bosan mendengar cerita-ceritaku ini!” kata Kinanti.
“Ya Kinan dengan senang hati aku setia mendengarkan cerita-ceritamu, ” kataku membesarkan hatinya.
Kinanti pada usia yang sama denganku ternyata masih memiliki kecantikan yang alami. Wanita berdarah sunda tulen berkulit kuning langsat ini pesonanya masih menebar. Kinanti. Kinanti. Kinanti Puspitasari.  Aku juga merasa heran mengapa Kinanti belum menikah lagi. Rasanya tidak percaya jika tidak ada laki-laki yang berusaha mendekatinya.
Malam itu setelah menerima telpon dari Kinanti aku tidak bisa tidur entah apa yang kupikirkan. Di meja kecil sebelah tempat tidurku aku melihat Undangan Pernikahan Listya. Memang aku sengaja menaruhnya di sana. Listya sedang apa kau disana?. Sabtu pekan depan Listya akan melangsungkan pernikahannya. Apakah ini yang membuatku tidak bisa tidur ?. Aku selalu teringat Listya, gadis kembarannya Diana Faria. Kadang-kadang ada rasa putus asa ketika aku harus menyadari bahwa sebentar lagi Listya sudah menjadi istri orang lain namun hal itu tidak boleh terjadi. Aku harus tetap berfikir baik kepada Allah. Aku harus kenali diri ini yang ternyata hanya seonggok daging dan sebatang tulang plus segaris rambut yang semakin rapuh dan beruban. Jika ada darah mengalir dan air mata yang tumpah itu hanya sebagian kecil saja dari ketidak berdayaan diri ini. Betapa rapuh dan ringkih diri ini sudah seharusnya aku tahu diri. Allah aku bersimpuh bersimbah peluh, berlutut bertekuk takut, aku hanya membawa sepatah dua patah doa. Akhirnya malam itu aku bersujud beralas sajadah tahajudku dan membiarkan diriku tertidur dalam haribaanNya. Aku selalu ingat FirmanNya : “Karena itu ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadaMu dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu!”. Maka pada malam itu aku benar-benar menikmati ketidak berdayaanku sampai malampun menyentuh waktu subuh.
Di ruang kerjaku pagi itu aku sudah menghadapi dua mahasiswa untuk konsultasi bimbingan skripsi. Satu seorang mahasiswi dan satunya seorang mahasiswa. Mereka baru saja selesai menyusun proposal penelitian revisi yang mau diajukan untuk seminar proposal Minggu depan. Aku sebenarnya tinggal tanda tangan tapi kepalaku masih terasa penat karena tadi malam tidak bisa tidur maka aku mengusir kedua mahasiswa tersebut dengan halus.
“Okey proposal kalian akan saya baca dulu nanti siang kembali kesini, ” kataku dan mahasiswa tersebut berpamitan. Melihat mereka bimbingan skripsi aku jadi teringat ketika pertama kali bertemu Listya. Waktu itu Listya bersama Amelia sahabatnya, mengajukan proposal penelitian. Aku benar-benar terperangah ketika berbincang atau mendengarkan tutur katanya. Ketika dia tersenyum atau tertawa kecil. Gadis ini sangat lembut hatinya. Aku merasakan aura kecantikan hatinya. Hatiku terasa damai tentram karena mendengar tutur kata lembut gadis ini begitu mempesona. Kesan pertamaku tentang Listya selalu terpatri dalam hatiku.
“Pak Alan bagaimana kalau metode spektrofotometri saja yang digunakan?” tanya Listya suatu hari ketika kami berdiskusi tentang metode analisis instrumen yang akan dipakai dalam skripsinya.
“Ya Listya bisa dengan Spektrofotometri tapi jauh lebih selektif jika menggunakan HPLC !” kataku menjelaskan.
“Baik pak memang HPLC lebih akurat pemisahannya untuk komponen-komponen penting ini. Tapi pak saya belum begitu familiar dengan alat HPLC karena dulu praktikumnya berkelompok!” kata Listya ragu.
“Jangan kuatir Lis nanti bisa kursus kilat sama Profesor Alan Erlangga..!” kataku bercanda sambil tertawa. Listyapun tertawa. Oh begitu manisnya dia tertawa. Sebaris gigi-giginya jauh lebih rapi dari model iklan pasta gigi apapun di Televisi. Dialog-dialog ringan ditengah-tengah diskusi tentang skripsi yang serius membuat kami begitu akrab. Gadis ini kecerdasannya tidak diragukan lagi. Kursus kilat HPLC benar-benar kursus kilat betulan, karena cukup hanya satu hari Listya sudah mampu menguasai alat canggih itu.
“Lis sekarang saya sudah lega melepasmu untuk bercengkrama dengan HPLC ini jangan kuatir berteman dengan alat ini sangat menyenangkan pokoknya bisa lupa waktu. Bagiku HPLC sudah seperti istri keduaku, ” kataku kembali berseloroh ketika saat itu aku memberikan kursus kilat HPLC.
“Lho Pak lalu istri pertamanya kok  belum pernah dikenalkan kepada saya!?”, kata Listya juga bercanda karena Listya memang tahu aku belum beristri.
“Lis jangan begitu ah. Istri pertamanya masih entah dimana mungkin cewek-cewek tidak ada yang berminat menjadi istriku maka kalau begitu berarti HPLC adalah istri pertamaku, ” kataku sambil tertawa. Kami bersenda gurau ditengah-tengah keseriusan menganalisis sampel-sampel penelitiannya Listya.
Aku juga teringat ketika kami berbincang mengenai hoby. “Membaca buku adalah hoby saya. Buku-buku ilmu pengetahuan atau novel, ” jawab Listya ketika aku bertanya tentang hobinya.
“Buku apa yang paling berkesan yang pernah kau baca Lis?” tanyaku.
“Buku buku karya Al-Ghazali sangat bagus untuk menjadi renungan. Kalau buku ilmu pengetahuan yang ada hubungannya dengan kimia farmasi!” kata Listya.
“Kalau Novel?” tanyaku.
“Novel yang bersifat religi lebih aku sukai. Oh ya Pak, saya juga ingin mencoba bikin novel. Nanti kalau sudah jadi Bapak mau baca ya !” kata Listya.
“Wah bagus Lis nanti aku tunggu novelmu tapi sekarang selesaikan dulu saja skripsimu, ” kataku mengingatkan.
“Okey beres Pak Profesor!” jawab Listya sambil tertawa.
Ternyata Listya memang sedang menulis novel. Aku mengetahui hal ini ketika draft terakhir skripsinya diserahkan padaku. “Pak rasanya lega sekarang skripsi akhirnya ditandatangani Bapak dan saya siap untuk  ujian sidang skripsi. Setelah itu saya mau melanjutkan menulis novel saya, ” kata Listya tersenyum. Aku menyukai senyumnya karena begitu mirip senyum Diana Faria.
“Lis novelnya sudah berapa halaman dan judulnya apa?” tanyaku.
“Episode pertama baru saja saya selesaikan tadi malam. Oh ya judulnya adalah Masih adakah ruang di hatimu, bagus ya pak?” tanya Listya meminta pendapatku.
“Masih adakah ruang dihatimu. Judul yang membuat penasaran pembacanya. Lis kok kamu pintar memilih judul, ”  aku mengomentari judul novel itu. Listya hanya tertawa kecil.
“Rupanya calon sarjana Farmasi juga berbakat menjadi seorang novelis. Berikan dong bocoran sinopsis ceritanya !” kataku penasaran.
“Jangan dulu dong, nanti Bapak tidak penasaran lagi...!” kata gadis itu. 
Masa-masa gembira bersama Listya yang mungkin tak akan pernah terulang lagi. Mengingat ingat saat itu ada rasa bahagia namun kembali aku harus realistis karena Minggu depan Listya sudah  menjadi istri Rizal Anugerah. Ya Allah aku berdoa semoga mereka bahagia menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah warohmaah. Entah seperti apa perasaanku saat ini. Namun aku tidak boleh mengotori ketulusan hati ini dengan hal-hal yang akan merusak jalan untuk datangnya Ridho ALLAH padaku. Saat ini aku seolah merasakan getaran hati Listya ketika aku ingat bagaimana tatapan matanya memandangku sambil berkata : “Sungguh saya sangat  terharu kalau ingat cerita Mbak Diana Faria. Bapak harus mulai mendapatkan teman hidup yang menjadi cahaya mata hati bapak sehingga bapak merasa tentram kepadanya. Saya akan bahagia jika bapak segera menemukan gadis tersebut…!”
Suara Listya masih terngiang ditelingaku. Gadis itu berdoa untukku dengan tulus. Aku seperti mampu membaca sesuatu dalam tatapan matanya. Tatapan mata yang pernah aku kenal dalam suatu masa. Tatapan mata ketulusan penuh dengan kasih sayang yang pernah aku dapati dari Diana Faria. Benarkah Daisy Listya?. Jawabannya hanya dia yang tahu.
Di ruang kerja itu aku tidak banyak berbuat apa-apa dan diatas meja itu ada dua proposal skripsi untuk penelitian yang segera saja kutanda tangani tanpa sempat lagi aku baca. Sungguh hari ini penuh dengan gundah penuh dengan resah penuh dengan gelisah penuh dengan sesuatu yang tidak jelas sehingga aku sempat bertanya tanya dimana gerangan keikhlasan yang selama ini ada seakan sirna beberapa saat.  Segera tersadar dari kegundahan dan keresahan, kubuka buku harianku untuk aku catatkan sesuatu yang terjadi hari ini. Kututup hari itu dengan kalimat pendek disudut kanan buku harianku.
Pagi itu aku terburu buru menuju stasiun Gubeng Surabaya Kota karena aku berjanji mau menjemput Kinanti. Sekarang hari Kamis 25 Februari Kinanti selama dua hari ini berada di Kampusku untuk mengikuti Workshop tentang tanaman obat. Memang begitu cepat hari berlalu dan dua hari lagi dari hari ini Listya akan melangsungkan pernikahannya. Pagi itu kesibukan Stasiun Kereta Api Gubeng semakin ramai karena keberangkatan beberapa Kereta Api diantaranya Argo Wilis menuju ke Bandung, Sancaka pagi menuju Yogyakarta dan Penataran ke Blitar. Selain itu keramaian dan kesibukan di sana juga karena banyak para penjemput masih menunggu kedatangan KA Turangga dari Bandung dan Bima dari Jakarta. Terdengar pengumuman bahwa pada jalur 6 KA Bima dari Jakarta akan segera masuk. Aku masih duduk di teras jalur 6 sementara beberapa penjemput mulai berdiri menunggu kedatangan KA Bima. Menurut jadwal setelah Bima ini adalah Turangga dari Bandung. Tiba-tiba suara hp ku berdering. Ternyata Kinanti.
“Alan apakah sekarang sudah di stasiun?” tanya Kinanti.
“Ya Kinan aku menunggumu sebentar lagi keretamu tiba di Gubeng!” kataku.
“Okey Al terima kasih!” kata Kinanti.
Beberapa saat kemudian akhirnya Turangga berhenti di jalur 6 untuk menurunkan para penumpangnya. Dari jauh aku melihat Kinanti sosok yang aku kenal. Aku melambaikan tanganku. Kinanti langsung melihat lambaian tanganku.
“Assalaamu alaikum Profesor Alan!” sapa Kinanti.
“Wa alaikum salaam....ha ha ha mulai bercanda!” kataku. Kami tertawa kemudian bergegas menuju tempat dimana mobilku di parkir. Kinanti minta diantar ke rumah pamannya yaitu adik kandung ibunya di kawasan jalan Sulawesi. Kamipun menuju ke sana. Selama di Surabaya Kinan akan menginap disana. Setelah Kinanti mandi, ganti baju dan sarapan akhirnya kami kembali menuju Kampus dimana Workshop diselenggarakan. Aku sendiri tidak mengikuti acara itu namun berjanji sorenya aku akan menjemput Kinanti. Hari itu agenda kerjaku sangat padat sekali. Sorenya setelah mengisi kuliah aku segera bergegas menuju tempat Workshop dan disana kulihat Kinanti sudah menungguku.
“Bagaimana Kinan acara workshopnya?” tanyaku.
“Cukup menarik tapi aku ngantuk sekali soalnya semalaman di Turangga tidak bisa tidur. Oh ya Alan untuk kembali ke Bandung aku sudah dapat tiket Lion Air aku mohon kau mau antar aku ke Bandara Juanda!” kata Kinanti.
“Dengan senang hati Bu Kinan, hamba siap mengantar kemana saja selama di Surabaya ini he he he. Lho Kinan kapan kembali ke Bandung?” tanyaku.
“Minggu pagi pukul 9.00 sudah harus check in di Juanda. Terpaksa dapat tiket ke Jakarta karena yang ke Bandung sudah habis !” jawab Kinanti. Sore itu kami segera meninggalkan Kampus. Kuantar terlebih dulu Kinanti menuju jalan Sulawesi dimana ia menginap selama di Surabaya.
“Malam ini sebenarnya aku ingin mengajakmu makan malam tapi kamu pasti masih lelah butuh balas dendam untuk tidur ya Kinan !” kataku sambil tertawa.
“Besok malam saja Al !” kata Kinanti.
“Okey...aku cabut  dulu ya...Assalaamu alaikum!” kataku berpamitan.
Esok malamnya kami berada di sebuah Rumah Makan di Kompleks Manyar Megah Indah dengan menu ikan mas bakar kesukaannya Kinanti. Aku sengaja memang mengajak Kinanti untuk bersantap ikan bakar. Makan malam yang benar-benar santai sambil berbincang masa-masa SMA yang tidak pernah bosan-bosannya. Perbincanganpun akhirnya sampai juga pada topik Diana Faria dan Daisy Listya. Kisah yang sekarang sedang aku alami di Surabaya ini.
“Kisah yang mengharukan Alan. Aku memang tidak kenal Diana Faria maupun Daisy Listya tapi aku bisa merasakan dua wanita ini sangat istimewa dihatimu. Wanita-wanita yang penuh dengan pesona !” kata Kinanti.
“Ya Kinan dan besok Sabtu 27 Februari Listya akan melangsungkan pernikahannya. Aku hanya bisa berdoa untuk kebahagiaan Listya. Aku benar-benar harus mencoba tetap tegar..!” kataku dengan perasaan tak menentu.
“Alan, Allah itu sebaik-baik perencana dan Dia juga Maha Mengetahui apa-apa dan siapa yang terbaik bagimu, ” suara Kinanti mengingatkanku.
“Ya Kinan terima kasih. Aku sangat yakin itu karena rasanya tidak mungkin Allah mendatangkan Listya padaku jika Dia tidak memiliki rencana yang baik untukku. Aku selalu yakin dengan Allah hanya saja begitu sulitnya untuk memahami rahasiaNya. Hanya melalui petunjukNya kita mampu memahami segala keputusanNya !” kataku.
“Betul Al dan manusia tidak pernah berhak untuk memutuskan. Kita hanya pelaku kehidupan yang dikendalikan oleh yang Maha Punya kehidupan!” kata Kinanti.
“Subhanullah. Bersyukurlah kita yang tetap selalu ingat kepadaNya..!” kataku.
Sungguh hanya hamba-hambaNya yang mendapat hidayah yang selalu ingat kepadaNya disaat suka maupun duka. Ya ALLAH hanya Engkaulah yang bisa memberikan ketabahan kepadaku. Aku benar-benar tidak berdaya menghadapi ujian ini tanpa pertolonganMu. Aku hanya pasrah kepadaMU. Aku menyerahkan semua daya dan upayaku hanya padaMU.
“Alan aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan Daisy Listya. Gadis ini adalah pilihanmu dan aku yakin Listya adalah seorang gadis yang istimewa !” suara Kinanti mengagetkanku dari lamunanku.  Kinanti ingin sekali kenal dengan Listya?. Ya memang Listya bukan gadis sembarangan. Listya mempunyai kedudukan yang sangat istimewa dalam hatiku.
“Kalau begitu besok kau mau menemaniku datang ke Resepsi pernikahan Daisy Listya. Kinan kembali ke Bandung baru hari Minggu kan?” kataku memberi usul untuk menemaniku pergi ke Resepsi Pernikahan Listya.  Kinanti setuju atas usul yang kuberikan.  Rupanya Kinanti penasaran dengan ceritaku tentang Daisy Listya.
Sabtu pagi 27 Februari kami menuju kota Malang untuk menghadiri pernikahan Daisy Listya. Alhamdulillah perjalanan cukup lancar sampai di kota Malang walaupun kemacetan kawasan Porong dan Singosari masih juga seperti hari-hari sebelumnya. Kami menuju Gedung Al-Hikam di jalan Kalpataru ke arah Cengger ayam, tempat dimana resepsi pernikahan Listya berlangsung. Gedung yang tidak terlalu besar ini sudah dipenuhi para undangan untuk mengucapkan selamat kepada mempelai berdua. Dari jauh kulihat Listya dengan ramah menyambut para undangan yang menyampaikan ucapan selamat mereka. Listya sangat cantik sekali dengan pakaian pengantinnya. Tidak bosan-bosannya aku memandang gadis idamanku ini yang sekarang sudah menjadi istri orang lain.
Setelah ikut antrian yang panjang, kini tibalah saatnya giliranku menyampaikan ucapan selamat kepada Listya. Ya kini didepanku adalah Listya istrinya Rizal, suami yang berdiri disampingnya.
“Pak Alan ! ” Listya menyapaku lebih dulu sambil menatapku tajam. Oh Tuhan ini adalah tatapan Diana Faria. Ya di depan gadis ini aku seperti melihat Diana Faria. Aku dapat merasakan cinta pada tatapan mata Listya seperti cintanya Diana Faria. Sejenak aku terdiam sambil menatap Listya.  Berilah aku kekuatan ya Allah.
“Listya selamat !” kataku perlahan hampir tak terdengar. Hampir saja aku lupa memperkenalkan Kinanti karena aku tidak dapat meredam perasaanku.
“Oh ya Listya, ini Bu Kinanti!” kataku sambil memperkenalkan Kinanti padanya. Listya malah kembali menatapku penuh arti.
“Bu terima kasih !” suara Listya sambil tersenyum ramah menyambut uluran tangan Kinanti.
Aku melihat bagaimana tatapan Listya ketika Kinanti kuperkenalkan kepadanya. Tatapan yang seolah mengatakan : “Pak Alan inikah  wanita itu?”. Listya seolah ingin mengatakan itu.
Ya Allah hanya Engkau yang Maha Pemberi Petunjuk. Aku akan tetap berdoa untuk kebahagiaan Listya. Berikanlah aku kekuatan ya Allah untuk mencintainya hanya karena aku  mencintaiMu semata.  Selamat Berbahagia Bidadariku.
 
BERSAMBUNG EPISODE 4.













No comments: