Foto : Buku Novel Hensa/Koleksi Pribadi
Bagian 9
BERAKHIR PEKAN DI BOROMEUS
Beberapa malam ini aku sengaja tidak menelpon Kinanti. Sudah tiga malam dan
ini malam yang ke empat. Padahal sebelumnya hampir setiap malam aku ngobrol
dengan Kinanti melalui hand phone. Aku hanya ingin tahu apakah Kinanti rindu
denganku ataukah tidak. Apakah Kinanti merasa kehilangan aku ataukah tidak. He
he he metode lamaku kembali aku jalankan. Aku nanti akan tahu apakah Kinanti
akan bersikap bagaimana dan dari sana aku bisa menebak isi hatinya?. Sebenarnya
saat ini aku tahu Kinanti memang sedang butuh kehadiranku hanya aku tidak mau
sekedar dijadikan tempat untuk pelarian kekecewaanya terhadap Eko yang
menghianatinya. Ah benar saja hand phone
ku berbunyi. Kulihat siapa yang menelpon. Eh ternyata Audray ada apa gadis ini
menelponku malam-malam begini?.
”Maaf pak Profesor malam-malam begini menelpon tapi masih jam sembilan
belum terlalu larut!”, suara Audray diseberang sana. Aku melihat jam dinding
ternyata baru jam sembilan seperempat. Pantas saja belum jamnya Kinanti
menelpon. Kinanti biasanya menelpon diatas jam sepuluh.
”Iya Di tidak apa-apa. Apa yang bisa saya bantu Bu?”, kataku bercanda.
”He he he Pak Alan bisa saja. Hanya ingin mengkonfirmasi apakah Undangan
saya sudah bapak terima?”, kata Audray.
”Belum, Undangan apa nih Di?”,
tanyaku pura-pura tidak tahu.
”Undangan Pernikahan Prof!”, kata Audray.
”Alhamdulillah selamat ya Audray. Saya turut merasakan bahagia!”, kataku.
”Terima kasih Pak. Sambil menunggu Undangan yang belum bapak terima, saya
ingin mengundang lisan malam ini. Hadir ya Pak hari Minggu pekan depan ini!”,
suara Audray penuh rasa bahagia.
”Baik Di!. Insya Allah saya hadir di hari pernikahanmu!”, kataku. Audray
kembali mengucapkan terima kasih suaranya terdengar penuh kebahagiaan. Aku juga
bersyukur gadis Tionghoa yang cantik ini akhirnya mendapatkan jodohnya. Audray Lin
sosok gadis cerdas yang pernah menjadi mahasiswiku mungkin akan memiliki
catatan sendiri dalam lembaran lembaran buku hidupku. Andaikan aku harus
mencatat biarlah aku akan mencatat yang baik baik saja darinya. Faktanya di
lembar akhir buku hidupku Audray adalah gadis yang juga memiliki kepribadian
yang kuat. Hari Minggu pekan depan adalah sejarah untuk Audray untuk memulai
mengarungi bahtera rumah tangga. Lalu kapan aku sendiri memulai mengarungi
bahtera rumah tangga?. Aku tertawa
sendiri di kamar itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Wahai
Kinanti kemanakah dirimu?. Waktu terus merayap dan tanpa terasa aku tertidur
baru terbangun lagi saat terdengar suara adzan Subuh dari Mesjid Al-Akbar.
Astagfirullah aku benar-benar kesiangan untuk kali ini aku terlambat tidak bisa
mengikuti sholat Subuh berjamaah. Malam yang melelahkan dan ternyata telepon
yang aku tunggu tidak pernah berbunyi.
Jumat pagi ini seperti biasa, lalu lintas Kota Surabaya padat penuh dengan
semangat. Motor motor seakan berkejaran dengan waktu sedangkan mobil harus
banyak mengalah untuk memberi jalan. Kemacetan seakan sudah menjadi ritual
sehari-hari namun Alhamdulillah pagi itu aku sudah tiba di ruang kerjaku. Aku
menyusun agenda hari ini. Mengisi kuliah di Pasca Sarjana sampai pukul sebelas
siang. Sorenya ada pengamatan data penelitian mahasiswa di Laboratorium HPLC.
Ketika aku sedang mempersiapkan bahan untuk mengisi kuliah tiba-tiba hand phone
ku berdering. Aku angkat HP ku ternyata Intan yang menelpon.
”Assalaamu alaikum Om Alan!”, suara Intan terdengar khawatir.
”Wa alaikum salam ya Intan!”.
”Om Alan ada khabar buruk, Ibu sedang di rawat di Rumah Sakit!”.
”Lho sakit apa Ibumu!”, kataku terkejut.
”Tekanan darahnya turun drastis namun sekarang sudah ditangani dokter. Ibu
sedang beristirahat kondisinya sudah lumayan!”, kata Intan.
”Baik Intan sore ini Om Alan ke Bandung!”.
”Iya Om kelihatannya Ibu sangat membutuhkan Om Alan!”, suara Intan penuh
harap. Ya Allah kalimat itu keluar dari anak gadisnya Kinanti. Aku sangat
terharu mendengarnya.
Bandara Juanda sore itu tidak begitu sibuk sehingga aku masih dapat tiket
untuk penerbangan ke Bandung. Menjelang Isya aku sudah mendarat di Bandara
Husein Santranegara. Aku menggunakan Taksi menuju Rumah Sakit Boromeus di jalan
Juanda tempat dimana Kinanti dirawat. Melalui jalan layang Pasupati tidak
sampai satu jam akhirnya taksi itu mengantarku ke halaman parkir Rumah Sakit
Boromeus. Segera aku menuju kamar rawat di lantai dua. Aku ketuk pintu kamar
dan ketika pintu terbuka Intan sudah berdiri di sana.
”Om Alan Bu!”, suara Intan dengan gembira memberitahu ibunya.
”Assalaamu alaikum!”, aku memberi salam.
Aku melihat Kinanti tersenyum padaku sambil membalas salamku. Kinanti
terlihat pucat. Memang butuh istirahat untuk mengembalikan kondisi
kesehatannya. Tekanan darahnya rendah dan ternyata hasil uji Laboratorium
menunjukkan kadar haemoglobinnya juga rendah. Kinanti mungkin terlalu capek.
Terutama karena kelelahan tidak hanya secara fisik namun juga psikis.
”Terima kasih Alan sudah mau menjengukku!”, kata Kinanti dengan suara lemah
namun wajahnya menampakkan kegembiraan.
”Alhamdulillah Kinan. Tentu saja aku pasti menjengukmu apalagi sedang sakit
begini sedang tidak sakitpun aku tetap menjengukmu..!”, kataku.
”Iya Bu. Om Alan menjenguk Ibu sedang sakit karena khawatir. Kalau Om Alan
menjenguk Ibu waktu Ibu tidak sakit, itu karena rindu!”, suara Intan menggoda
sambil tertawa. Rupanya Intan sudah mulai berseloroh. Mendengar ini aku tertawa dan Kinanti hanya tersenyum.
”Intan sekarangpun Om Alan menjenguk Ibumu juga karena rindu lho!”, kataku
tidak kalah dengan Intan untuk menggoda Kinanti. Ruangan rawat inap itu penuh
dengan canda dan tawa. Suasana yang sangat menggembirakan.
”Kinan bagaimana kondisimu sekarang?” tanyaku.
”Alhamdulillah, tensi sudah mulai membaik dan haemoglobin mudah-mudahan
juga sudah meningkat dengan transfusi ini!”, kata Kinanti.
”Syukurlah beristirahatlah sampai pulih lagi jangan terlalu banyak
pikiran!”, kataku.
”Om Alan sih enggak mau ngerti. Ibu tuh banyak pikiran karena orang
Surabayanya nggak mau ngerti!”, kata Intan lag-lagi menggoda Ibunya.
”Intan, jangan macam-macam kamu itu!”, suara Kinanti sambil cemberut. Aku
kembali tertawa. Kinanti benar-benar
tidak berkutik ”dikerjain” Intan, anak gadisnya sendiri. Memang suasana ruangan
tempat Kinanti dirawat demikian hangat dengan canda dan tawa. Aku melihat
Kinanti seperti terlahir kembali. Wajahnya
sudah nampak bersinar. Wanita cantik yang terbaring di ruang perawatan ini
seakan sudah pulih. Aku kembali melihat mata yang berbinar jika Kinanti
berbicara dan menatapku. Aku juga merasakan ada rindu di hatinya. Iya Kinanti
memang merindukanku seperti aku merindukannya.
Besok Sabtunya ketika aku kembali menjenguk, Kinanti sudah kelihatan segar
dan bugar. Wajah cantiknya sudah kembali memancar secerah Sabtu pagi ini. Kota
Bandung ditemani Matahari yang bersinar dengan langit cerah berwarna biru. Hari
ini aku mempunyai kesempatan seharian menemani Kinanti. Intan sendiri hari
Sabtu ada kegiatan di Kampusnya sehingga aku benar-benar hanya bersama Kinanti.
”Tadi malam Listya telpon aku menanyakan kondisi kesehatanku!. Dia tahu
darimu aku dirawat di Rumah Sakit!”, kata Kinanti.
”Iya tadi malam aku sms Listya memberi khabar tentangmu!”, kataku.
”Oh ya Listya bercerita katanya Audray minggu depan mau melangsungkan
pernikahannya!”, kata Kinanti.
”Benar Kinan. Aku berharap minggu depan kau sudah benar-benar pulih
sehingga bisa bersamaku ke resepsi pernikahannya Audray!”, kataku.
”Menurut dokter yang memeriksaku pagi tadi, Insya Allah hari Senin besok
aku sudah diperbolehkan pulang!”, kata Kinanti.
”Alhamdulillah. Kinan sungguh aku senang mendengarnya. Memang aku melihat
wajahnya Kinanti sekarang sudah kembali berbinar seperti biasanya!”, kataku.
”Alan Erlangga mulai kumat!”, kata Kinanti mendelik tapi sambil tersenyum
dan aku tertawa lepas.
”Lalu apa pesan dokter tadi pagi untuk menjaga kesehatanmu?”, tanyaku.
”Dokter bilang padaku jangan terlalu banyak pikiran, istirahat cukup dan
perhatikan makan!”, kata Kinanti.
”Nah itu terlalu banyak yang dipikirkan sebaiknya Kinanti memikirkan satu
hal saja!”, kataku.
”Memikirkan satu hal?. Apa itu?”, tanya Kinanti.
”Cukup memikirkan satu hal yaitu Alan Erlangga yang lain lupakan!”, kataku
sambil tertawa. Untuk kali ini sebuah cubitan mendarat di perutku dan aku hanya
meng”aduh”.
”Memang dasar Alan Erlangga sifat jeleknya tidak hilang-hilang!”, kata
Kinanti pura-pura ketus.
”Astagfirullah sifat jelek yang mana?”, kataku protes.
”Itu yang pintar bikin rayuan gombal!”,kata Kinanti. Aku kembali tertawa
sementara Kinanti hanya tersenyum. Aku benar-benar lega karena aku melihat
Kinanti sudah pulih, sehat dan gembira.
Menjelang sore aku segera berpamitan sesaat setelah Intan dan Bapak Ibunya datang menjenguk Kinanti. Kedua orang
tua Kinanti mengucapkan terima kasih atas kunjunganku. Bagiku beliau-beliau
sudah bukan orang lain tapi sudah seperti orang tuaku sendiri. Terutama Ibunya
seakan penuh harap kepadaku agar aku selalu tetap bisa menjaga Kinanti. Aku
bisa merasakan dari dialog dialog kecilnya bersamaku. Sebelum aku berpamitan
Intan masih sempat bercanda menggoda Ibunya.
”Om ternyata obatnya Ibu itu ada di Surabaya. Buktinya setelah obat itu
datang menjenguk sekarang Ibu sudah sehat lagi!”, kata Intan dan kami di ruang
itu tertawa sementara Kinanti hanya bisa melotot kepada Intan anak gadisnya.
Malam Minggunya aku habiskan bersama Ibu dengan mengajak makan malam di
sebuah Kafe yang dekat dengan rumah. Ibu sekali lagi menanyakan tentang jodohku
bahkan ketika tahu Kinanti sedang menyendiri saat ini, Ibu mengharapkan aku
menikah dengan Kinanti saja. Memang Ibu dulu juga pernah berkata seperti itu
dan kali ini permintaan Ibu dikatakannya lagi. Aku mencoba merenung ada makna
apa dan bagaimana aku harus bersikap. Malam itu aku hanya berkata kepada Ibuku
agar aku selalu di doakan mendapatkan jodoh yang terbaik.
Minggu pagi itu aku masih sempat menjenguk Kinanti di Rumah Sakit Boromeus
karena aku mendapatkan tiket penerbangan yang siang.
”Kinan siang ini aku kembali ke Surabaya. Semoga kau tetap sehat dan
kembali ceria jangan murung. Jangan terlalu banyak pikiran cukup pikirkan satu
hal saja!”,kataku.
Untuk kali ini Kinanti tersenyum penuh arti dan aku tahu arti dari senyum
itu. Senyum yang manis dengan mata indah bercahaya maka lengkaplah kecantikan
wanita di depanku ini.
”Alan sungguh aku sangat bahagia memiliki sahabat sepertimu. Sungguh aku
merasa nyaman, tenang, tentram berada di sisi sahabat sejatiku ini!”, kata
Kinanti.
”Alhamdulillah. Aku juga demikian Kinanti adalah sahabat sejatiku yang
selalu membuat aku penasaran. Sahabat yang selalu membuatku bertanya-tanya!”,
kataku.
”Mengapa aku membuatmu selalu bertanya-tanya?. Profesor Alan apa sebenarnya
yang ingin kau tanyakan?”, kata Kinanti sambil senyum senyum.
”Entahlah saking banyaknya pertanyaan sehingga tidak satupun yang mampu aku
ingat!”, kataku juga sambil senyum-senyum.
”Baiklah Profesor jika nanti sudah ingat pertanyaan itu segeralah
katakan kepadaku!”, kata Kinanti.
Dialog-dialog itu akhirnya membuat kami tertawa. Aku merasakan kebahagiaan
yang lain terutama ketika Kinanti mengatakan merasa nyaman, tenang, tentram
berada di sisiku. Benarkah?. Mudah-mudahan bukan sekedar angin Surga. Ternyata
perjuangan masih panjang maka akupun siang itu berpamitan kembali ke Surabaya.
”Hati-hati Alan jaga dirimu baik-baik. Kabari aku jika sudah tiba di
Surabaya!”, pesan Kinanti.
”Juga untuk Kinan jaga kesehatan, cukup fikirkan satu hal saja ya!”,
kataku. Kinanti mengangguk sambil tersenyum manis.
(BERSAMBUNG)