Foto : Hensa/Koleksi Pribadi
EPISODE 10
SEKAT CINTA DUA HATI
Setiap selesai sholat
istiqoroh dan sholat tahajud, aku selalu tertidur biasanya aku terbangun saat
terdengar adzan Subuh. Malam itu ada yang istimewa, aku bermimpi Mutiara dan
Bunga menghampiriku lalu mereka memegang kedua lenganku. Mutiara memegang erat
tangan kiriku sedangkan Bunga tangan kananku. Mereka membimbingku berjalan
menuju sebuah Istana yang megah. Aku terbangun ketika terdengar suara adzan
Subuh itu. Ya memang hanya sebuah mimpi. Apapun itu artinya tetap saja hanya
sebuah mimpi. Namun aku juga harus pandai merasakan makna dari mimpi itu.
Apakah mimpi ini adalah makna tersirat dari hasil sholat istiqoroh itu. Sungguh
aku tidak bisa memasti-kan demikian. Kepastian itu selalu ada padaNya.
Sore itu aku asyik
berbincang santai bersama Bunga di teras samping Rumah Tantenya di Kertajaya
Indah. Siang tadi kami memang sudah bertemu di Kampus tempat Bunga kuliah lalu
berlanjut hingga mampir di sini. Segelas kopi panas dan makanan kecil sudah
tersedia untuk dinikmati. Kami ngobrol ngalor
ngidul diselingi tawa ria dan canda sampai akhirnya obrolan Bunga mulai
menyinggung tentang Mutiara.
“Herman. Boleh aku katakan
bahwa walaupun ada dalam lumpur terdalampun yang namanya Mutiara itu tetap
Mutiara!”, kata Bunga.
“Ya aku sangat lega
akhirnya kau tahu juga siapa Mutiara!”, kataku.
“Aku sangat kagum dan
simpati padanya Herman!. Dia wanita yang tangguh. Kau tahu tidak titik balik
kehidupan-nya saat berbalik arah?”, tanya Bunga.
“Tidak tahu. Kapan?”.
“Saat Mutiara bertemu
dengan dokter Hermansyah!”.
“Ah kamu mulai
mengada-ada!”, kataku.
“Dengar Herman
berkali-kali aku katakan, Mutiara sangat mengagumimu!”, kata Bunga. Aku hanya
meng-angkat bahu sambil tersenyum. Aku lihat Bunga sangat serius menuturkan
kalimat demi kalimat.
“Dia merasakan sentuhan
damai dalam hatinya pada setiap tutur katamu padanya!”, kata Bunga lagi
menambah-kan. Aku masih terdiam mendengarkan kalimat-kalimat yang diucapkan
Bunga. Aku melihat ada rasa haru di wajah Bunga.
“Mutiara bercerita semua
curahan hatinya dengan berlinang air mata. Aku bisa merasakan nestapanya. Aku
juga bisa merasakan cintanya padamu saat dia bercerita tentangmu!”, kata Bunga.
Aku masih terdiam sambil memandang Bunga dan ya Tuhan benarkah yang aku lihat
ini. Bunga meneteskan air mata saat mengatakan kalimat tadi.
“Maaf Herman. Aku hanya
terharu teringat nestapa Mutiara!”, kata Bunga sambil mengusap air matanya.
“Sudahlah Bunga. Kita
memang harus memberikan simpati kepada Mutiara!”, kataku.
“Ya Herman. Sambutlah dia,
sambutlah cintanya!”, kembali suara Bunga terharu. Aku kembali terdiam tidak
berani mengomentari kata-kata Bunga. Sekarang yang ada dalam benakku adalah
rasa haru Bunga saat dia tahu kalau Mutiara mencintaiku. Apakah Bunga
meneteskan air mata karena terharu atau karena merasa takut kehilangan diriku.
Sekarang aku bisa merasakan betapa Bunga memang mencintaiku sampai sampai dia mau
berkorban dan merelakan cintaku untuk
Mutiara. Setiap cinta yang tulus pasti hanya bisa dirasakan oleh hati yang
tulus pula.
Aku harus berani jujur
bahwa apa yang dikatakan Bunga mungkin belum tentu menjadi pilihanku yang
terbaik. Kini aku hanya merasa yakin kalau Bunga dan Mutiara memang sama-sama
mencintaiku. Jika aku memilih Bunga maka pilihan itu hal yang wajar. Lelaki
mana yang tidak tertarik kepada Bunga, gadis cantik, cerdas berasal dari
keluarga terhormat. Wajar semua lelaki menyukai Bunga. Jika aku memilih
Mutiara, maka inilah pilihan yang akan membuat orang-orang terdekatku
mengernyitkan dahi setelah mereka tahu latar belakang siapa Mutiara. Terlalu
banyak orang selalu berpandangan terhadap masa lalu padahal kita hidup pada
masa kini. Masa lalu sekelam atau seindah apapun tetap hanya menjadi masa lalu.
Sedangkan masa kini adalah kenyataan. Menjadi orang baik saat ini adalah
kenyataan yang jauh lebih baik dibandingkan kenistaan dimasa lalu. Sebaik-baiknya
kebaikan adalah kebaikan yang ada dimasa akhir. Benar apa kata Bunga. Mutiara
akan tetap menjadi Mutiara walaupun ditemukan di dalam lumpur kenistaan.
Sejak mengobrol dengan
Bunga di Teras samping rumah Tantenya itu aku jadi selalu teringat kata-kata
Bunga.
“Ya
Herman. Sambutlah dia, sambutlah cintanya!”.
Kata-kata ini seolah
membuat tekadku menjadi bulat untuk
memutuskan memilih Mutiara. Rasa kagumku kepada Bunga yang telah begitu
berbesar hati. Takkan pernah kulupakan ketulusan cintanya.
Malam itu laporan dan
tugas-tugas masih numpuk namun belum satupun selesai kukerjakan. Aku seperti
tersandera wajah Mutiara. Aku rasanya ingin segera bertemu Mutiara dan sesegera
itu pula mengemukakan rasa hati ini. Ingin rasanya malam ini aku menelpon
Mutiara hanya sekedar meredakan rasa kangen ini. Aku ambil hand phone lalu kucari nomor Mutiara lalu pijit call. Tidak lama terdengar suara merdu
yang sangat aku kenal menjawab panggilan HP ku.
“Ya Mas Herman!. Selamat
malam!”, suara Mutiara.
“Tiara belum tidur?”.
“Belum Mas masih sedang
melamun!”.
“Oh sama dong. Aku juga
sedang melamun!”.
“Wah pasti sedang
melamunkan mbak Bunga ya!”.
“Bukan dong kalau sedang
melamunkan Bunga tentu tidak menelpon Tiara!”.
“Jadi melamunkan siapa?”,
tanya Mutiara menyelidik.
“Melamunkan Mutiara!”,
kataku. Terdengar ada suara tertawa kecil.
“Mas Herman sekarang sudah
berani merayu nih!”, kata Mutiara.
“Iya dong, kan sudah biasa
orang yang lagi jatuh cinta biasanya pandai merayu!”, kataku. Aku yakin saat
ini wajah Mutiara pasti merona merah seperti tempo hari yang membuatnya bertambah cantik.
“Wow rupanya mas Herman
sedang jatuh cinta. Boleh tahu dong siapa gadis yang beruntung mendapat
cintanya dokter Hermansyah yang baik hati ini!”, kata Mutiara.
“Diberitahu nggak yah?”,
kataku bercanda.
“Harus diberitahu dong
siapa gadis itu?”, kata Mutiara merajuk.
“Jangan sekarang ah lebih
baik kapan-kapan saja biar Tiara semakin penasaran!”, kataku lagi. Aku
mendengar Mutiara tertawa. Suara merdu dan tawa rianya akhirnya telah mampu mengobati
kerinduanku kepada Mutiara. Maka malam itu akhirnya satu demi satu tugas dan
laporan bisa kuselesaikan dengan baik walaupun jam tidurku harus mundur hingga
larut malam.
Malam itu aku sengaja
mampir ke Paviliun tempat kost Mutiara. Sebelumnya aku telpon dulu apakah
Mutiara sudah punya acara ternyata Mutiara tidak ada acara keluar rumah.
Sesampai di sana, Mutiara menyambutku dengan penuh ramah dan rasa bahagia. Aku
bisa melihat matanya berbinar ceria melihat kedatanganku. Di ruang tamu itu aku
disambut Mutiara dengan berpakaian sangat sederhana, wajahnya seperti biasa
tanpa riasan berlebihan. Namun justru aura kecantikannya tetap terpancar utuh
tanpa kepalsuan sedikitpun. Mutiara semakin lama aku semakin merasakan betapa dekatnya dalam hatiku semua
yang ada pada dirinya.
“Hei Mas Herman kenapa
menatapku seperti itu?”, kata Mutiara saat aku sedang menatapnya tak berkedip.
“Iya aku seperti sedang
memandang seseorang yang tadi malam aku ceritakan kepadamu!”, kataku sambil
tersenyum.
“Oh maksudmu seseorang
yang telah membuatmu jatuh cinta ya Mas?”, kata Mutiara sambil tersenyum manis.
Aku mengangguk sambil terus menatap Mutiara. Menerima tatapanku, Mutiara
tersipu walaupun bibirnya masih tersenyum.
“Mas Herman jangan
memandangku seperti itu dong!. Aku jadi malu!”, kata Mutiara.
“Tiara!”, kataku sambil
aku pegang kedua tangannya. Mutiara memandangku dengan tatapan penuh harapan.
“Seseorang yang membuatku
jatuh cinta itu adalah wanita bernama Mutiara!”, kataku pelan.
“Ya Mas terima kasih!”,
kata Mutiara. Tiba-tiba Mutiara dengan halus melepaskan genggaman tanganku lalu
berdiri dan berjalan ke arah jendela yang menghadap taman di samping rumah itu.
Aku hanya menatapnya tanpa kata.
“Mas!, aku sangat
bersyukur dan bahagia mendengar kejujuran dan ketulusan hati Mas Herman!. Namun
aku tidak berhak untuk menerima cintamu”, kata Mutiara sambil tetap memandang
ke luar jendela. Aku berdiri berjalan menghampiri Mutiara.
“Tiara kenapa harus
begitu?”.
“Mas, aku ini hanya
seorang wanita yang tidak pantas mendampingimu. Seorang wanita kotor yang
sedang berusaha membersihkan diri!”, kata Mutiara dengan tatapan kosong dan
mata yang berkaca-kaca.
“Tiara dengarlah. Di dunia
ini tidak ada manusia yang bersih. Semua manusia kotor dengan dosa dan semua
manusia akan selalu berusaha membersihkan diri!”, kataku.
“Mas Herman bukan itu
saja. Ada yang lebih layak dan pantas untuk menerima cintamu yaitu Mbak
Bunga!”, kembali kata Mutiara.
“Tiara biarlah aku berkata
bahwa aku akan selalu menunggu jawabanmu kapanpun aku akan menunggu!”, kataku.
“Jangan Mas. Kita harus
berani menghadapi kenyataan. Bagaimanapun diantara kita terlalu banyak
perbedaan yang sulit disatukan!”, kata Mutiara.
“Mas. Aku harus tahu diri
agar bisa menghadapi kenyataan ini dengan tegar. Bagiku saat ini berteman dengan
Mas Herman sudah menjadi kebahagiaan dalam hidupku!”, kembali kata Mutiara
sambil berjalan kembali menuju tempat duduk di ruang tamu itu. Aku mengikutinya
menuju tempat dudukku.
“Tiara baiklah. Kamu
jangan menangis seperti itu. Bagiku yang penting aku sudah mengutarakan isi
hatiku dan aku akan terus menunggu jawabanmu!”.
“Mas Herman!”, kata Mutiara
sambil menatapku, matanya masih berkaca-kaca dan setetes air mata jatuh
dipipinya. Kemudian Mutiara melanjutkan perkataannya:
“Kadang-kadang aku
menghayal mendapatkan teman hidup seperti yang kuimpikan. Namun sampai saat ini
hal itu masih tetap hanya khayal dan impian semata karena aku tidak mampu untuk
membalas cintamu”.
Aku hanya terdiam
mendengar apa yang dikatakan Mutiara. Aku kembali memegang kedua tangannya.
“Tiara!. Khayalan dan impianmu kini sudah menjadi
kenyataan!”, kataku. Mutiara memandangku sambil berlinang air mata. Perlahan
aku hapus air mata yang menetes di kedua pipinya. Aku benar-benar harus
berjuang untuk menembus sekat cinta antara dua hati ini.BERSAMBUNG