Foto : Hensa
Bagian 4
FRAGMEN SATU BABAK
Saat ini aku sedang di Bandung namun sengaja aku tidak mengabari Kinanti.
Hari Kamis sampai Jumat aku harus menghadiri acara di Badan Akreditasi Nasional
Jakarta dan seperti kebiasaanku Sabtu dan Minggu nya aku pasti mampir ke
Bandung untuk melepas rindu kepada Ibuku. Ya kali ini hanya melepas rindu
kepada Ibuku bukan lagi melepas rindu kepada Kinanti karena Kinanti sudah ada
yang punya. He he he kalimat itu kok
terasa memilukan. Sabtu pagi-pagi aku sudah beraktivitas dengan berolah raga
jalan sehat walau hanya keliling komplek Perumahan tapi lumayan sekujur tubuh
banjir dengan keringat.
Setelah mandi sarapan pagi akupun rasanya ingin menyusuri jalan-jalan Kota
Bandung. Untuk menghindari kemacetan aku memang sengaja menggunakan sepeda
motor untuk keliling Kota Bandung. Baru saja keluar dari komplek Perumahan
dihadapanku sudah terjadi kemacetan lalu lintas. Sepanjang jalan Cibaduyut itu
memang biangnya kemacetan terutama dipagi hari jamnya berangkat kerja dan
sekolah lalu di siang hari jamnya pulang sekolah dan sore hari pulang kerja.
Kemacetan lalu lintas yang rutin. Belum di ruas ruas jalan lain di Kota Bandung
seperti di Jalan BKR, Kopo, Pasir Kaliki, Soekarno-Hatta, Gatot Subroto dan
dimana saja jalan di Kota Bandung berpotensi macet. Mungkin kemacetan
lalulintas ini sudah merupakan hal yang lumrah di kota seperti Bandung, Surabaya
dan Jakarta bahkan mungkin kota kota seperti Malang, Bogor, Cianjur, Cirebon
sudah pula mengenal dengan kemacetan.
Aku menjalani rute jalan-jalan di kota Bandung dengan sepeda motor
benar-benar bebas dari kemacetan karena dengan sepeda motor masih bisa mengelak
diantara sela-sela mobil dan bermanuver jauh lebih lincah. Rute yang aku tempuh
menuju jalan Blitung hanya sekedar ingin memandang SMA ku tercinta yang penuh
dengan kenangan indah. Ya di SMA ini aku mengenal sahabat sahabat sejatiku.
Kinanti Puspitasari, Aini Mardiyah, Erika Amelia, Indra Susanto. Mereka adalah
empat sahabat sejatiku. Mengingat kenangan bersama mereka rasanya seperti baru
kemarin. Kami pulang sekolah bersama-sama. Belajar bersama sama. Hanya pada
saat kuliah kami harus mengambil Perguruan Tinggi yang berbeda. Setelah selesai
kuliah kami menempuh jalan hidup yang berbeda pula. Indra dan Aini berjodoh
menjadi suami istri. Erika menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya dan
Kinanti menikah dengan lelaki Malaysia dan beberapa tahun tinggal di sana
sampai akhirnya harus kembali ke Indonesia saat Ayahnya sudah tidak bertugas
lagi di sana.
Waktu begitu cepat berlalu sementara aku masih seperti ini. Aku baru
merasakan ada kesendirian yang hadir tiba-tiba. Aku seperti sebatang kara. Aku
seperti kehilangan semua yang aku punya. Tidak terasa ternyata aku berdiri di
pelataran parkir itu sudah hampir satu jam kemudian aku melanjutkan tur menuju
Mesjid Salman di jalan Ganesha. Mesjid ini penuh kenangan ketika aku dan
Kinanti sering mengikuti kegiatan ceramah dan diskusi untuk memperluas wawasan
keagamaan. Dari jalan Blitung menuju Utara menelusuri jalan Juanda sampai
akhirnya belok ke kiri ke arah jalan Ganesha. Mesjid Salman berdiri kokoh penuh
dengan wibawa. Di sini ditempa remaja remaja Islam dengan ilmu tauhid dan ahlaq
agar memiliki kepribadian muslim dengan aqidah yang berakar kuat dalam hatinya.
Di dalam Mesjid itu aku sempatkan sholat sunah Tahyatulmasjid kemudian
sholat Dhuha. Sedikit membacakan wirid wirid pendek dan berdoa kepada ALLAH
untuk ketentraman hatiku. Seusai sholat Dhuhur itu aku baru meninggalkan Mesjid
Salman kemudian kembali meluncur di jalan Juanda menuju jalan Merdeka dan
mendarat di BIP (Bandung Indah Plaza) yaitu sebuah Pusat Perbelanjaan yang
sudah menjadi icon belanja di Kota Bandung. Siang itu Aku duduk di salah satu Food Court menikmati
makan siangku hanya dengan semangkuk bakso dan segelas juice strawberry.
Rasanya nikmat sekali mungkin karena memang perut ini sudah lapar. Asyik juga
ya menelusuri jejak jejak kenangan lama. Dulu waktu masih SMA aku dan Kinanti
sering juga ke BIP ini hanya untuk keliling melihat barang-barang atau sekedar
belanja seperlunya. Rasanya memang cukup banyak juga kenangan dengan Kinanti.
Entah tempat mana saja di Bandung ini yang penuh dengan sejarah remajaku. Aku
benar-benar menikmati kesendirianku di Food Court itu. Ketika ada seseorang
menepuk bahuku sambil memanggil namaku aku menoleh. Sungguh aku terkejut karena
di sana berdiri Kinanti dengan senyumnya. Kinanti tidak sendirian ya dia
ditemani oleh Eko Priotomo.
”Alan rupanya sedang ada di Bandung kok aku tidak dikabari?”, kata Kinanti.
”Hai Kinan hallo Mas Eko!”, kataku menyapa mereka.
”Bagaimana khabar Mas Alan?”, tanya Eko. Aku sebenarnya usianya sama tua
nya dengan Eko tapi kami memanggil satu sama lain dengan panggilan Mas hanya
sebagai rasa hormat saja.
”Alhamdulillah baik baik. Ayo duduk bareng mau pesan makan siang?”, kataku
menawarkan.
”Terimakasih Alan baru saja tadi selesai makan siang!”, kata Kinanti.
”Oh ya Mas Eko dan Kinan selamat ya atas pertunangan kalian ngomong ngomong
kapan rencana pernikahannya?”, tanyaku.
”Insya Allah setelah lebaran Haji !”, jawab Eko.
”Kinan jangan lupa aku dikabari kalau sudah pasti tanggalnya!”, kataku.
”Iya Mas Alan jangan kuatir!”, kata Eko menjawab sementara Kinanti hanya
tersenyum sambil menatapku. Akhirnya tidak lama kami harus berpisah dan sebelum
berpamitan Kinanti berkata:
”Alan main ke rumah ya kamu sering ditanyain Si Intan tuh!” kata Kinanti
masih sempat menawarkan singgah ke rumahnya.
”Okey Kinan titip salam saja untuk Intan dari Om Alan yang ganteng!”,
kataku bercanda sambil tertawa. Aku hanya bisa memandangi punggung mereka
ketika mereka beranjak meninggalkanku sendiri. Aku masih duduk termangu disitu.
Aku lihat di meja persis di depanku sepasang remaja masih dengan seragam SMA
nya sedang menikmati hidangan makan siang. Aku lihat remaja SMA berseragam
abu-abu itu bercanda, tertawa dan saling pandang dengan senyum masing-masing.
Masa remaja mereka yang penuh dengan keindahan. Melihat mereka teringat masa
masa SMA bersama Kinanti. Ah rasanya seperti mimpi atau memang hidup ini
sebenarnya hanya sebuah mimpi. Entahlah yang jelas pertemuan di Food Court BIP
itu adalah sebuah fragmen satu babak yang ceritanya belum selesai. Entah pula
kapan cerita fragmen itu selesai. Entah bagaimana pula akhir dari cerita itu
apakah happy ending ataukah sad ending?. Entahlah. Entahlah. Entahlah. Aku
seperti sudah tidak memiliki apa apa lagi. Kinanti, Listya, Diana Faria semua
sudah menjadi catatan masa lalu.
Menghabiskan hari Sabtu di Kota Bandung tidak terasa karena begitu banyak
tempat-tempat nostalgia yang harus aku kunjungi. Malam itu rasa lelah yang amat
sangat membuatku tertidur lelap sehabis sholat Isya, bahkan ketika Ibuku
membangunkanku untuk makan malam akupun hanya mampu mengiyakan saja. Aku baru
beranjak dari tempat tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Aku memeriksa HP ku mungkin ada sms atau telpon. Lima panggilan tak terjawab
semuanya dari Kinanti. Ya ketika aku tertidur rupanya Kinanti menghubungiku
melalui Hand phone. Apakah aku harus telpon balik?. Sekarang ini sudah jam
sepuluh malam. Mungkin lebih baik besok saja. Ataukah sekarang saja karena
sampai lima kali miss call pasti ada yang penting yang ingin dibicarakan. Akhirnya
aku mencoba menghubungi HP nya Kinanti.
”Assalaamualaikum Alan!. Kemana saja tadi aku telpon berapa kali tidak
diangkat HP mu!”, suara Kinanti diseberang sana.
”Maaf Kinan ini aku baru saja bangun tidur. Tadi seusai Isya aku terlelap
mungkin kecapaian karena siangnya sudah keliling Bandung!”, kataku.
”Keliling Bandung kemana saja. Tadi sepulang dari BIP terus kemana?. Aku
sebenarnya menunggumu di rumah!. Lalu kapan kamu pulang ke Surabaya ”, kata
Kinanti.
”Aduh Kinan tanyanya satu satu. Aku jadi bingung jawabnya he he he!.
Seharian tadi aku keliling ke Sekolah kita, Mesjid Salman, BIP, Gasibu, Taman
Ganesha, Mesjid Istiqomah!. Rencana kembali ke Surabaya besok pagi dengan Argo
Wilis”, kataku.
”Alan kenapa kamu tidak mengabariku lebih dulu kalau mau ke Bandung?”,kembali
tanya Kinanti.
”Kinan ya bukan apa apa. Sekarang aku harus bisa membatasi diri apalagi
kamu sekarang sudah resmi dilamar Eko dan sebentar lagi akan menjadi
istrinya!”, kataku. Beberapa saat aku tidak mendengar respon Kinanti atas
penjelasanku.
”Hallo Kinanti!”, kataku. Kinanti nampaknya masih membisu. Berkali-kali aku
memanggilnya melalui HP itu namun Kinanti tetap terdiam sampai akhirnya Kinanti
menutup HP nya. Aku benar benar tertegun mengalami hal seperti ini. Belum
pernah Kinanti bersikap ngambek
seperti ini. Apakah ada kata-kataku yang menyinggung perasaannya. Aku mencoba mengirim sms mengutarakan maafku
atas kata kataku yang mungkin tidak berkenan di hati Kinanti namun sms itupun
terlantar tiada balasan. Aku benar benar tidak mengerti dengan sikap Kinanti.
Selama ini Kinanti tidak pernah sensitif seperti ini. Bagian kalimat manakah
yang membuat Kinanti ngambek?. Rasanya tidak ada kalimat yang menyinggung
perasaannya. Malam itu tadinya aku mau menuju meja makan karena memang belum makan
malam namun tiba-tiba saja jadi malas. Akhirnya aku tetap berada di tempat
tidur sampai akhirnya terlelap sampai waktu Subuh.
Stasiun Kereta Api Bandung sudah mulai sibuk di pagi hari itu. Di ruang
Tunggu itu aku masih termangu mengingat kejadian tadi malam. Aku mencoba untuk
menghubungi HP Kinanti namun tetap tidak diangkat panggilanku. Terdengar suara
pemberitahuan bahwa Argo Wilis tujuan Surabaya sudah berada di jalur enam bagi
para penumpang agar bersiap siap. Akupun beranjak dari Ruang Tunggu itu dengan
rasa gundah. Selama perjalanan menuju Surabaya itupun aku hanya terdiam dan
bahkan tertidur dan baru terbangun ketika Petugas Restorasi Kereta menawarkan
makan siang. Aku baru ingat kalau tadi malam tidak sempat makan dan tadi pagi
pun aku hanya sarapan sepotong roti yang dibuatkan Ibu maka tidak heran kalau
di Kereta itu aku melahap makan siang dengan penuh semangat. Badan kembali
terasa segar karena mungkin sudah cukup tidur dan makan. Aku memeriksa HP
apakah ada sms atau panggilan. Ternyata ada beberapa sms dan semuanya dari
Kinanti. Oh Tuhan. Aku mulai membaca sms sms Kinanti satu per satu :
”Alan aku mohon dimaafkan dengan
kejadian tadi malam. Aku benar-benar sedih. Malam itu aku menangis karena aku
seperti mau kehilanganmu. Aku merasa takut dengan perubahan sikapmu kepadaku
hanya karena aku akan menikah dengan Eko!”.
”Aku juga kecewa kenapa kamu tidak
menyempatkan waktu untuk mengunjungiku karena banyak yang ingin aku katakan!”.
”Alan sewaktu kau katakan di Bandung
ini baru saja keliling ke tempat tempat yang kau sebutkan itu. Bukankah itu
adalah tempat-tempat yang dulu sering kita kunjungi?. Aku mencoba merasakan
perasaanmu saat ini aku mencoba mengerti dan maafkan aku Alan telah mengambil
keputusan yang tidak kau inginkan!”.
”Kadang aku merasakan cintamu
seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih
cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada
cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”.
”Daisy Listya adalah cinta sejatimu
walaupun mungkin tidak bisa kau raih namun andaikan aku harus menggantikan
cinta Daisy Listya adalah hal yang tidak bisa disetarakan!”.
”Itulah sebabnya aku tidak bisa
memenuhi keinginan Listya agar aku menikah denganmu!”.
”Alan ada yang perlu kau ketahui
bahwa sebenarnya Intan, putriku, lebih merestuimu dari siapapun untuk menjadi
teman hidupku. Namun alasan-alasan di atas itu yang membuat aku harus memberi
keputusan yang lain!”.
”Selamat jalan Alan semoga selamat
dan sehat sampai di Surabaya!”.
Aku tertegun membaca semua sms Kinanti. Berulang-ulang aku membaca sms
Kinanti, berulang-ulang. Rangkaian kata-kata yang jujur dari seorang wanita
yang luar biasa. Berbahagialah Eko
Priotomo, lelaki yang akan menjadi suaminya sementara biarkanlah aku berdoa
untuk diri sendiri. Semoga Allah selalu memberikan ketabahan kepadaku.
”Kadang aku merasakan cintamu
seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih
cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada
cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”. Ini adalah salah satu sms Kinanti Puspitasari yang sangat
berarti dalam hidupku.
Kata hatiku berkata :
”Alan sudahlah ingat kembali realita yang terjadi. Semua sudah menjadi
lembaran masa lalumu. Diana Faria, Daisy Listya dan kini Kinanti Puspitasari
sudah ditakdirkanNya menjadi masa lalumu”.
(BERSAMBUNG)