Thursday, June 5, 2008

CerPen Corner

Episode III

CERITA PENDEK

Memang kuakui Indra Wibowo adalah profil lelaki idealku. Aku membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melenyapkan kekecewaanku. Dan terus terang ketika Indra Susanto tiba-tiba hadir dalam hidupku bayangan Indra Wibowo tidak pernah hilang. Seorang Indra Susanto yang terlalu sederhana tidak mampu menggeser seorang Indra Wibowo dari dasar hatiku. Indra Susanto bukan lelaki idealku, anehnya dia adalah suamiku. Anehnya aku mencintainya namun selama aku menjadi istri Indra Susanto tidak satupun alasan kudapatkan, mengapa aku mencintainya. Hingga saat inipun alasan itu belum juga kudapatkan. Aku yakin alasan itu mestinya ada. Mana mungkin aku mencintainya tanpa alasan. Alangkah kecewanya Indra Susanto andainya ia tahu aku mencintai tanpa alasan apapun. Dulu sering kali Indra menanyakan tentang sebab apa yang membuat aku mencintainya.
“Aku hanya ingin tahu jawaban dari rasa heran ini. Sebab aku menyadari alangkah banyaknya kekurangan-kekurangan diriku yang harus kau terima. Aku tidak mau kau terlalu banyak menanggung beban akibat terlalu banyaknya kekuranganku”, kata Indra. Mendengar pengakuannya aku tidak pernah menanggapi cukup kujawab dengan jawaban pendek.
“Hal itu jangan terlalu dipikirkan. Semua manusia sama”, jawaban ini sebenarnya bukan jawaban yang jujur. Aku yakin Indra Susanto akan kecewa seumur hidupnya andaikan kukatakan alasan yang sebenarnya mengapa aku mencintai dan bersedia menjadi istrinya. Karena itu aku tidak pernah mau mengatakan hal tersebut. Cukup hanya aku seorang diri yang mengetahui apa sebenarnya alasan tersebut. Nampaknya aku tidak adil jika harus membandingkan apa-apa yang ada pada Indra Susanto dengan apa-apa yang ada pada Indra Wibowo. Bekas tunanganku dulu memang lelaki ideal tapi Indra Susanto tak boleh dibandingkan dengannya. Indra Susanto adalah Indra Susanto. Indra yang sederhana, apa adanya. Indra yang biasa-biasa saja. Indra yang lugu. Indra yang rendah hati. Indra yang sabar. Indra yang kucinta. Indra Susanto, suamiku.
Aku baru merasa menerima kehadiran Indra Susanto dalam hatiku ketika anak kami yan pertama lahir. Bayi perempuan yang cantik seperti ibunya ini kuberi nama Melati Puspitasari. Sudah kuduga sejak semula bahwa Melati pada masa remajanya adalah sekuntum bunga harum dambaan rama-rama. Tidak berlebihan jika aku sangat mengagumi kecantikan yang terpancar dari wajah Melati, anak gadisku. Raut wajahnya berbentuk oval dengan sepasang mata yang indah, hidung mancung dan seulas bibir tipis manis yang jika tersenyum akan menundukkan hati lelaki manapun.
Mengamati masa remaja Melati kembali aku teringat peristiwa indah masa lalu. Malam Minggu itu untuk pertama kali aku menerima tamu seorang pria.
“Selamat malam dik Sari!”, sapa Indra Wibowo. Kutatap pria dengan perawakan tegap dan ganteng ini. Dan kusambut sapanya dengan senyumku. Maka kami menikmati malam Minggu itu dengan gelak tawa, canda dan senyum mesra. Hari-hari berikutnya adalah milik kami. Bertamasya ke pantai, naik gunung, mengunjungi tempat rekreasi lainnya adalah acara akhir Minggu kami. Puncak kebahagiaan ini adalah ketika saat pertunangan kami. Cincin itu menelusup jari manisku dan sebuah kecupan di keningku disambut tepuk tangan hadirin. Oh, bangganya hatiku, bahagianya diriku. Namun kini semuanya tinggal kenangan indah. Betul kata orang bahwa cinta pertama tak bisa dilupakan.
Ternyata di depan keyboard komputer ini aku cuma bisa tersenyum. Jari-jariku belum juga mampu menyentuh sebuah hurufpun pada keyboard komputer itu.

(Bersambung)

Wednesday, May 21, 2008

CerpenCorner

Episode II

CERITA PENDEK

Kata-katanya yang terakhir ini kucerna baik-baik lalu kusimpan dalam sanubariku agar suatu saat aku dengan mudah dapat mengingatnya kembali. Perkawinan hanyalah sebuah awal perjalanan berikutnya, bukan megahnya sebuah resepsi dan bukan pula indahnya malam pertama tapi cobaan-cobaan, tantangan-tantangan yang harus dihadapi. Sungguh sebuah ungkapan yang sangat indah. Indra Susanto yang dua setengah tahun lebih muda dariku dapat dengan mudah mengungkapkan sebuah realita hidup. Akhirnya Indra yang mengemukakan alasan kepada Papa mengapa pernikahan itu ingin dilangsungkan hanya dengan perayaan sederhana.
Sebenarnya pada saat Papa menanyakan alasan mengapa aku tidak menyetujui pesta pernikahan yang diinginkan Papa, aku telah berbuat tidak jujur kepada diriku sendiri. Mengapa saat itu tidak kukatakan bahwa pesta pernikahan meriah seperti keinginan Papa itu sudah terlambat bagiku. Seharusnya aku jujur kepada diriku sendiri. Mungkin andainya dulu aku jadi menikah dengan tunanganku Indra Wibowo, ceritanya bisa lain. Aku bisa saja mau mengikuti keinginan Papa. Sebab pada saat itu hal tersebut akan memberikan kebanggaan dalam hati Papa, Mama dan keluargaku. Orang tua mana yang tidak bangga mempunyai menantu seorang perwira muda lulusan Akabri?. Sedangkan untukku sendiri akan merupakan kenangan yang paling indah dalam hidupku. Namun kenyataan hal tersebut tidak pernah terjadi. Aku harus kembali pada kenyataan bahwa suamiku adalah Indra Susanto. Seorang yang sederhana bukan seorang yang luar biasa dan tak satupun bagian dari dirinya yang bisa kubanggakan pada siapapun.
Kadang-kadang aku sering bertanya mengapa aku tak ingin pernikahanku dengan Indra Susanto tidak dirayakan semeriah dan semegah seperti yang kuharapkan jika aku jadi menikah dengan Indra Wibowo. Pada saat itu jawabanku sering dihubungkan dengan prinsip-prinsip kesederhanaan Indra Susanto. Padahal yang sebenarnya tidak demikian sehingga aku telah tidak jujur kepada diriku sendiri, kepada Indra Susanto, kepada Papa, kepada keluargaku dan kepada Tuhan.
Layar komputer itu masih tetap bersih tanpa kata dan kalimat karena aku sudah memutuskan bahwa pernikahanku sengan Indra Susanto tidak akan pernah kutulis menjadi sebuah cerita pendek. Aku tidak ingin ketidakjujuranku menjadi sebuah cerita pendek. Maka segera aku mencari bahan lain yang bisa kujadikan cerita pendek. Misalnya tentang kisah cintaku dengan Indra Wibowo. Kisah cinta pertamaku. Tapi sebaiknya tidak usah saja sebab aku takut jika kebetulan Indra Wibowo membaca cerita pendekku ia akan menganggap bahwa aku masih mencintainya.
“Sebuah cinta yang mengharukan!”, begitu komentar Indra Susanto ketika aku selesai bercerita tentang masa laluku. Kuceritakan semuanya sejak aku bertemu Indra Wibowo, bertunangan sampai putus hubungan pertunangan.
“Aku sangat senang jika suatu saat tunanganmu datang menjumpaimu dan kau menerima dia kembali!”, kata Indra.
“Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi!”, kataku.
“Andaikan itu terjadi?”.
“Aku tidak akan kembali padanya. Sudahlah sebaiknya hal itu tak perlu diungkit-ungkit lagi!”, kataku. Biasanya Indra hanya bisa tersenyum jika aku sudah berkata demikian. Mungkin Indra Susanto baru sadar apa gunanya mengungkit-ungkit masa lalu.

(Bersambung)