Monday, September 9, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU (Bagian 3)



AWAN MENDUNG KOTA BANDUNG
Malam Minggu itu adalah syukuran ulang tahun Ibuku pada usia beliau yang ke 80. Alhamdulillah pada usia tersebut Ibu tetap sehat, ceria dan selalu bahagia di tengah-tengah anak-anak dan cucu cucunya. Walaupun malam itu hujan turun hampir disemua sudut kota Bandung dan udara dingin menyengat tubuh namun rupanya tidak akan cukup mampu mengurangi kehangatan acara syukuran ulang tahun Ibuku. Ruang keluarga itu penuh dengan doa doa, kegembiraan, senyuman, canda tawa dan riang nyanyian kebahagiaan yang sempurna bagi Ibuku. Hal yang istimewa bagiku malam itu adalah kehadiran Kinanti Puspitasari di tengah-tengah keluarga besarku.  Sebetulnya dulu waktu SMA, Kinanti sering juga datang ke rumah, namun saat ini adalah pertama kali lagi Kinanti bertemu dengan Ibu. Tentu saja Ibu sangat pangling berjumpa Kinanti sekarang dengan saat Kinanti masih SMA dulu.
”Ibu kalau ketemu pasti tidak akan mengenal Neng Kinan yang sekarang ini. Bertambah cantik dan anggun dengan hijab ini!”, kata Ibu. Mendengar ini Kinanti hanya tersenyum dan bilang terimakasih. Aku melihat wajah Kinanti sangat cantik dengan senyum penuh dengan rasa senang menerima pujian Ibuku.
”Ibu bersyukur, semua anak-anak Ibu sudah mandiri, sudah berhasil. Hanya ada satu hal yang menjadi hati Ibu prihatin. Ini Alan yang masih belum dapat jodoh!”, kata Ibuku kepada Kinanti seolah curhat. Kinanti melirik kepadaku dan aku hanya bisa angkat bahu.
”Ibu jangan kuatir sebentar lagi nanti aku kenalkan calonku!”, kataku sambil tertawa.
”Ah Alan. Kamu itu cuma omdo!”, kata Ibuku menggunakan bahasa anak muda sekarang. Aku kembali tertawa sementara Kinanti hanya tersenyum.
”Alan!. Ibu selalu berdoa agar kamu segera mendapatkan jodohmu. Ibu masih ingin menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah memanggilku!”, kata Ibu.
”Iya Ibu terima kasih. Insya Allah doa Ibu dikabulkan Allah!” kataku dengan haru. Mendengar curahan hati Ibu, aku benar-benar terharu. Beberapa saat aku terdiam disamping Kinanti yang juga terdiam. Diam-diam aku melirik Kinanti dan aku lihat dia tertunduk entah apa yang dipikirkannya.
Malam itu aku melihat Kinanti begitu akrab di tengah-tengah keluarga besarku. Entah kenapa aku begitu senang melihat suasana keakraban itu. Saat itu aku hanya membayangkan andai saja Kinanti menjadi bagian dari keluarga besar ini. Ya andai saja. Apakah dengan demikian aku sudah mendapatkan kebahagiaan itu?. Sesaat pada malam itu aku seakan sudah bisa melupakan Listya. Ya malam itu adalah malamnya Kinanti Puspitasari. Canda tawanya Kinanti menyatu dengan adik-adikku dan keponakanku terutama yang gadis-gadis menambah rasa bahagiaku. Mungkin sangat wajar saat Kinanti akrab dengan keponakanku karena dia punya anak gadis seusia mereka. Mereka begitu ceria bercengkerama diselingi tawa-tawa gembira. Aku juga melihat betapa Ibuku sangat merasakan kebahagiaan di tengah-tengah kasih sayang keluarga besarnya. Namun yang selalu aku ingat adalah ketika beliau mengatakan : ”Alan!. Ibu selalu berdoa agar kamu segera mendapatkan jodohmu. Ibu masih ingin menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah memanggilku!”, kata Ibu. Sebuah ungkapan kegundahan hati Ibu. Kata-kata ini sangat mengganggu pikiranku. Tidak ada yang bisa aku harapkan sekarang. Kinanti?. Dia sudah mengemukakan sikapnya untuk hanya sebagai seorang sahabat. Listya?. Sudah jelas merupakan masa laluku. Hanya doa ibu yang bisa menjadi harapan.
Dalam perjalanan mengantar pulang Kinanti ke Arcamanik, aku lebih banyak diam. Maka dalam perjalanan itu hanya terdengar alunan musik ringan dari Tape di mobil. Ruas jalan Kota Bandung yang baru saja diguyur hujan tetap saja ramai dan macet apalagi ini malam Minggu walaupun malam sudah hampir larut. Aku menempuh perjalanan hampir 2 jam dari Kopo sampai di Arcamanik. Bayangkan kemacetan ada dimana-mana.
”Kinan!, aku tidak mampir ya karena sudah malam. Sampaikan salam untuk Bapa dan Ibu juga Intan!”, kataku berpamitan kepada Kinanti.
”Terima kasih Alan, hati hati ya!”, kata Kinanti. Setelah mengucapkan salam, akupun menyalakan mobil dan kembali menuju keramaian lalu lintas kota. Sesampainya di rumah kelelahan yang mendera telah membuatku langsung terlelap di atas sofa ruang tengah. Aku baru terjaga ketika Ibu membangunkanku untuk sholat Subuh. Begitu cepat hari berganti ya Allah. Hari ini hari Minggu dan sore nanti aku harus kembali ke Surabaya untuk mengisi kembali rutinitas yang membosankan.
Minggu pagi itu aku masih sempat bertemu Kinanti di rumahnya. Aku melihat Kinanti tidak seceria seperti biasanya.
”Kinan sepertinya kamu kurang sehat!”, tanyaku.
”Mungkin juga Al. Semalam aku tidak bisa tidur lelap!”, kata Kinanti.
”Banyak pikiran? Mungkin aku bisa bantu. Ceritakan padaku agar bebanmu menjadi ringan!”, kataku. Kinanti hanya tersenyum dan aku juga hanya angkat bahu.
”Tidak juga banyak pikiran. Aku hanya teringat kata-kata Listya waktu kami bertemu di Malang tempo hari!”, kata Kinanti. Ini dia yang kutunggu tunggu cerita tentang Listya. Awalnya aku tidak mau menanyakan hal tersebut ketika aku lihat Kinanti terlihat agak murung. Namun ternyata dia sendiri yang membuka ruang untuk berdialog tentang Listya.
”Apa saja yang dia katakan!?”, tanyaku.
”Listya sangat mencintaimu Al. Dia tidak mau membayangkan kamu menikah dengan orang lain kecuali denganku. Dia menitipkanmu kepadaku!”, kata Kinanti. Mendengar penjelasan Kinanti ini aku hanya terdiam tidak mau berkomentar lebih jauh. 
”Padahal aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak sanggup untuk menggantikan cintanya yang luhur dan tulus!”, kata Kinanti lagi.
”Sudahlah Kinan tidak perlu lagi dipikirkan lagi hal itu. Bagaimanapun juga yang terbaik bagiku, Kinanti adalah sahabat sejatiku!”, kataku mencoba menenangkan hati Kinanti. Namun ternyata aku melihat ada titik air mata di mata Kinanti. Ya Tuhan dia menangis.
”Alan maafkan aku!”, kata Kinanti lirih.
”Kinan!, tidak perlu minta maaf seperti itu. Aku selalu menerima dan mengikuti takdirku apa adanya. Jika Allah menghendaki maka itulah kuasa yang tidak bisa kita tolak!”, kataku. Kinanti masih tertunduk dan terisak. Kembali aku menenangkannya agar dia melupakan saja apa yang dikatakan Listya.
”Aku juga teringat malam itu apa yang dikatakan Ibumu dengan doanya yang tulus agar kau mendapatkan jodohmu!”, kata Kinanti.
”Hal yang sama Ibuku juga demikian prihatin dengan kesendirianku!”, kembali suara Kinanti.
”Ketika Eko mau melamarku, Ibuku terlihat gembira. Namun aku tidak bersedia menerima lamarannya!”, kata Kinanti lagi. Aku sengaja diam untuk mendengarkan segala kegundahan hati Kinanti agar terucap untuk melegakan hatinya. Membiarkannya mengeluarkan curahan hatinya.
”Kau tahu Alan mengapa aku menolak Eko?. Karena sebenarnya Eko sedang dekat dengan Irma, rekan dosen di Fakultas lain. Irma rekan dosennya walaupun usianya sudah berumur namun dia masih gadis!”, kembali suara Kinanti.
Wanita memang mahluk yang penuh dengan kebimbangan termasuk Kinanti yang aku kenal sebagai wanita tegar. Nanti dulu berbicara soal bimbang sebenarnya bukan hanya wanita tapi lelakipun demikian. Contohnya?. Profesor Alan Erlangga adalah lelaki penuh kebimbangan untuk menunjukkan cintanya kepada Daisy Listya. Jika tidak bimbang apa yang terjadi?. Ah sudahlah aku harus menerima takdirku dengan ikhlas.
”Alan sekali lagi aku minta maafmu!”, suara Kinanti mengagetkanku.
”Okey Kinanti aku sudah memaafkanmu atas kesalahan yang sendiri aku tidak tahu!”, kataku.
”Alan kesalahanku adalah karena aku tidak mampu menggantikan cinta Daisy Listya!”, kata Kinanti. Aku terkejut dengan pernyataan Kinanti ini.
”Kinan sudahlah lupakan saja apa yang dikatakan Listya. Aku sendiri juga sudah ikhlas menerima yang sekarang terjadi. Hentikan tangismu Kinan!”, kataku perlahan.
”Minggu pagi ini aku inginkan senyummu!, ayo tersenyum Kinanti!”, kataku dengan nada ABG yang sedang merayu. Kinanti memandangku lalu tersenyum namun air mata dipipinya masih berurai.
”Nah begitu dong, tapi kalau begini ini namanya tersenyum dalam tangisan!”, kataku menggoda.
”Alan!. Memang kamu itu orang yang selalu membuatku gembira!”, kata Kinanti kali ini dia mulai tertawa kecil.
”Apakah hamba boleh membantu mengusap air matamu Tuan Putri?”, aku mulai bercanda.
”Alan Alan sudah sudah, mulai gila kamu!”, kata Kinanti kali ini sambil tertawa renyah. He he he akhirnya aku berhasil membuat Kinanti kembali ceria.
Sore itu satu jam sebelum take off aku sudah berada di Bandara Husein Sastranegara. Walaupun sore itu cuaca mendung namun penerbangan Bandung Surabaya lancar dan hampir waktu Isya aku sudah tiba di Rumah Menanggal Surabaya. Setelah mandi, sholat Isya dan makan malam yang sudah disediakan Si Mbok maka mulailah aku menyusun agenda kerja esok hari. Senin pagi ada sesi mengisi kuliah siangnya mengisi Pasca Sarjana dan sorenya cek pekerjaan analisa data mahasiswa di Laboratorium. Ya rutinitas yang membosankan. Namun demikian aku tetap dapat menjalani rutinitas tersebut dengan baik. Diantara kebosanan rutinitas itu hanya satu hal yang dapat meberikan rasa gembira itu yaitu jika ada telepon dari Kinanti. Kami bisa berbincang tentang apa saja. Aku bisa merasakan persahabatan yang tulus. Sungguh sungguh Kinanti adalah sahabat sejatiku. Mungkin juga baginya aku adalah sahabat sejatinya. Dalam sebulan terakhir ini aku hanya bisa berhubungan dengan Kinanti melalui hand phone karena belum ada agenda acara yang memungkinkan aku ada di Bandung. Demikian pula Kinanti masih sibuk dengan perkuliahan di Fakultasnya. Namun dalam Minggu ini aku dikejutkan berita dari Kinanti bahwa dia akan bertunangan dengan Eko Priotomo, rekan dosennya itu. Oh akhirnya Kinanti menerima Eko sebagai tunangannya.
”Alan nanti aku jelaskan kenapa aku menerima lamaran Eko!”, kata Kinanti ketika dia menelponku.
”Aku sangat senang akhirnya sahabatku mendapatkan jodohnya. Kinan jangan lupa hari pernikahanmu khabari aku!”, kataku.
”Okey Alan aku pasti mengundangmu!”, kata Kinanti dengan rasa senang.
Penjelasan Kinanti kepadaku mengapa sekarang dia menerima lamaran Eko?. Karena Eko bisa meyakinkannya bahwa Eko sudah tidak berhubungan dengan Irma, rekan dosennya juga dari fakultas lain. Irma adalah dosen di Fakultas MIPA. Sebenarnya Irma adalah adik kelasnya Eko sewaktu mereka kuliah di Yogyakarta. Aku merasa lega akhirnya Kinanti jadi menikah lagi. Namun hati kecilku berkata bahwa aku seperti kehilangan bagian lain dari hatiku. Ya bagian itu adalah Kinanti Puspitasari. Setelah aku kehilangan Diana Faria datanglah Daisy Listya, namun Daisy Listya juga harus pergi dan kini Kinanti Puspitasari. Ada rasa hampa hinggap di hatiku. Tiba-tiba saja aku merasa sendiri. Aku harus kehilangan orang-orang yang aku cintai. Ataukah aku tidak diperkenankanNya untuk memiliki salah satu diantara mereka. Ya aku memang tidak pernah memiliki siapapun bahkan termasuk diriku sendiri. Maka aku tidak boleh merasa kehilangan. Kinanti adalah wanita yang tegar, tabah, cerdas, teguh dengan prinsip, berbudi luhur dan memiliki aura kecantikan lahir batin. Aku bersyukur bisa mengenal Kinanti. Aku juga bersyukur sempat mengenal dan mencintai Daisy Listya. Aku juga bersyukur diberi  kesempatan berbahagia dengan Diana Faria. Mereka adalah wanita wanita istimewa dalam hidupku. Wanita wanita yang selalu ada dalam relung sudut hatiku. Ya Allah berilah aku kekuatan karena tidak satupun diantara mereka yang menjadi teman hidupku. Ya Allah apakah ini takdir yang harus aku jalani andaikata iya semoga Kau selalu memberiku kesempatan berupaya untuk mendapatkan takdir terbaikku menurut takdirMU.

(Bersambung)


Monday, August 5, 2013

NOVEL HENSA : Episode Akhir Cintaku (Bagian 2)


Bagian 2
KINANTI DI HATIKU

Pada usia  yang ke 45 ini Kinanti masih tetap cantik walaupun kini sudah memiliki putri yang berusia remaja. Kinanti lebih muda  setahun usianya denganku. Memiliki wajah khas Sunda dengan kulit kuning langsat. Matanya yang indah dan senyumnya yang ramah menambah karakter kecantikannya semakin sempurna. Wanita diciptakan Allah untuk cantik dan kecantikan yang sejati adalah kecantikan yang bisa dirasakan dengan hati. Wanita tidak boleh menyalahi kodratnya untuk cantik. Aku teringat saat Kinanti remaja SMA dulu. Gadis ceria yang cerdas, cantik, ramah penuh dengan pesona.  Saat itu tahun masih 80-an ketika kami masih duduk di kelas dua SMA. Masih terbayang Kinanti dengan seragam putih abu abunya adalah seorang gadis remaja ibarat bunga yang sedang mekar. Harum bunga dan keindahannya menyebar kemana mana. Tentu banyak kumbang disekitarnya yang ingin hinggap untuk meraih sari madunya. Salah satunya adalah aku. Memang sewaktu SMA dulu aku sangat mengagumi kecantikan Kinanti dan kepribadiannya yang lembut. Aku teringat waktu itu mencoba untuk mendekati Kinanti bukan untuk main-main seperti terhadap gadis-gadis lainnya. Kinanti adalah gadis yang istimewa bagiku. Sebenarnya aku mengutarakan cintaku pada Kinanti waktu itu benar-benar keluar dari lubuk hatiku namun aku juga memaklumi saat Kinanti menolak dengan halus karena memang reputasiku yang membuat Kinanti tidak percaya padaku.

Aku jadi teringat ketika pertama kali lagi bertemu dengan Kinanti di sebuah Simposium Farmakologi di  Bandung, ada dialog yang menarik.
“Ngomong-ngomong kamu jadinya sama siapa?. Arinta, Riana, Jesica, Eva, Dian, Dinda, Anita...ha ha ha cewek-cewekmu masih ada dalam daftarku. Buntutmu sudah berapa?. Dulu pernah bilang mau bikin anak yang banyak!”, kata Kinanti mengajukan pertanyaan bertubi tubi dengan nada canda. Waktu itu aku hanya tertawa ketika Kinanti menyebut nama-nama gadis yang pernah menjadi pacarku. Memang masa-masa SMA selalu penuh dengan kenangan. Entah sudah berapa puluh tahun aku tidak bertemu dengan Arinta, Riana, Jesica, Eva, Dian, Dinda dan Anita. Terakhir aku bertemu Arinta dalam Reuni. Saat itu Kinanti tidak hadir dalam reuni SMA tersebut. Aku lupa reuni itu tahun berapa yang jelas aku sudah menjadi Dosen di Surabaya dan Diana Faria masih mendampingiku.  Saat itu Arinta didampingi suaminya. Mereka kelihatan bahagia. Riana dan Jesica juga saat reuni itu hadir. Eva, Dian, Dinda dan Anita sampai sekarang aku belum pernah bertemu, mudah-mudahan mereka berbahagia dengan keluarganya masing-masing. Bagiku lembaran masa SMA itu indah ataukah malah lembaran hitam karena sering menyakiti hati wanita?. Aku sudah memohon ampunanNya dan berusaha melupakannya. Jika saat itu Kinanti Puspitasari menolak cintaku tentu sangat wajar karena itu bagi Kinanti berarti cinta Alan Erlangga yang ke berapa. Sebenarnya bagi wanita hanya mengharapkan cinta terakhir seorang lelaki tidak pernah peduli cinta yang keberapa. Namun apa betul begitu?. Aku tidak tahu.
“Alan lebih baik kita bersahabat seperti selama ini!”, kata Kinanti saat itu. Penolakkan yang sangat halus dan Kinanti adalah satu satu nya gadis saat itu yang tidak bisa aku tundukkan. Cap playboy Alan Erlangga saat itu yang telah merusak pendekatanku kepada Kinanti. Aku benar-benar ditolak oleh  Kinanti. Sebenarnya inilah cinta pertamaku yang kandas. Kinanti adalah cinta pertamaku. Ya benar. Aku baru menemukan lagi cintaku ketika Diana Faria memberikannya kepadaku dengan ketulusan sepenuh hatinya. Ketika hidupku penuh dengan cinta ini ternyata Allah menghendaki cinta yang lain. Allah pun mengambil apa yang dimilikiNya. Aku  harus rela kehilangan cintaku lalu ketika aku menemukan sebuah cinta dalam diri Daisy Listya ternyata Allah pun memiliki rencana yang lain.

Apakah aku harus kembali menyentuh cinta pertamaku dari seorang Kinanti Puspitasari?. Pertanyaan sesungguhnya sudah terjawab karena Kinanti sudah bersikap tegas. Coba simak apa yang dikatakannya kepadaku.
  ”Alan maafkan karena aku tidak bisa menggantikan cinta Listya. Cintanya sangat luhur kepadamu. Bagiku yang terbaik buatmu adalah sahabatmu!”.kata kata Kinanti itu selalu terngiang dalam telingaku.
Aku pikir benar apa kata Kinanti lebih baik bersahabat. Hubungan yang tulus tanpa pamrih adalah persahabatan. Paling tidak hubungan yang tidak pernah berujung pada kebencian adalah persahabatan. Cinta dan benci perbedaannya hanya tipis sekali dalam hubungan kekasih seperti sebuah kata bijak : "Cintailah apa yg kau cintai sewajarnya,mungkin suatu hari ia akan menjadi sesuatu yang kau benci. Bencilah apa yang kau benci sewajarnya,mungkin suatu hari ia akan menjadi sesuatu yang kau cintai".
Entah kenapa aku tiba tiba saja teringat teman Kinanti sesama rekan dosen di Kampus namanya Eko Priotomo. Kinanti mengenalnya sudah cukup lama karena dulu sama sama mengambil program S3. Eko Priotomo juga sudah dikenal baik oleh keluarga Kinanti. Sekarang Eko berstatus seorang duda hampir tiga tahun yang lalu istrinya sudah tiada karena penyakit kanker payudara. Eko memiliki dua orang anak putra dan putri seusia Intan. Eko ini sudah mencoba ingin melamar Kinanti untuk menjadikannya sebagai teman hidup Eko. Namun Kinanti tidak bersedia atau mungkin belum bersedia.
“Tidak semudah itu Alan. Sudah lama aku mencoba meyakinkan diriku namun selalu saja aku tidak mampu menemukan jawabannya !”, demikian kata Kinanti waktu itu ketika aku menanyakan kesiapannya untuk menerima lamaran Eko. Sebenarnya apa yang kurang dari Eko Priotomo. Seorang Doktor Farmasi lulusan luar negeri, dosen di sebuah Perguruan Tinggi Top di Bandung. Kesan pertama ketika aku pertama kali mengenalnya, Eko adalah seorang yang ramah. Saat itu aku diperkenalkan oleh Kinanti ketika aku berkunjung ke rumah Kinanti dan kebetulan Eko ada di sana.
“Oh ini pak Alan yang sering diceritakan mbak Kinan itu?”, kata Eko.
“Wah pak Eko, apa betul Kinan suka menceritakan saya?”, kataku sambil melirik Kinanti. Nampaknya Kinanti bereaksi cepat dengan raut wajah tersipu.
“Alan maksud Mas Eko, aku pernah bercerita tentang kamu, teman sekolahku dulu yang sekarang masih tetap jomblo padahal dulu ceweknya banyak!”, kata Kinanti melirik kepadaku sambil tersenyum. Mendengar ini aku tertawa demikian pula Eko. Begitulah salah satu keakraban Eko. Aku sendiri heran mengapa Kinanti menghindari lamaran Eko. Apakah mungkin masih mencintai mendiang suaminya?. Ya mungkin juga seorang wanita tidak mudah melupakan semua kenangan indah dalam hidupnya apalagi kenangan kebahagiaan bersama suami tercinta. Tiga tahun sudah Kinanti menyendiri. Tiga tahun tidak ada artinya apa apa dibandingkan tahun tahun sebelumnya ketika mendiang suaminya masih mendampinginya. Memang tidak mudah melupakan kenangan indah itu. Mungkin saat ini bagi Kinanti belum ada seorang lelaki yang layak mengisi ruang kosong dihatinya yang dulu diisi cinta mendiang suaminya. Kinanti Puspitasari wanita tegar mandiri dengan karirnya yang sukses. Reputasinya sebagai dosen sangat berkelas  karena kecerdasannya. Wanita cantik seperti Kinanti harus mendapatkan Pendamping yang layak dan setara dengannya. Aku pikir Eko Priotomo memenuhi kriteria setara tersebut namun Kinanti telah menampiknya. Lalu sebenarnya siapa yang sedang kau tunggu Kinanti?.

Beberapa hari terakhir ini aku merasakan Kampus ini begitu sepi. Padahal setiap aku mengisi kuliah yang hadir sekitar 50 orang lebih mahasiswa. Seharusnya aku tidak merasa kesepian. Mungkin karena aku sudah tidak lagi menemukan Daisy Listya diantara mahasiswa tersebut. Ya mungkin itu. Daisy Listya yang sudah menjadi masa lalu. Tiba-tiba Handphoneku berdering. Oh Kinanti.
“Assalaamu alaikum Kinan!”, sapaku.
“Wa alaikum salaam..Alan sedang sibuk ya!”.
“Tidak juga aku baru saja mengisi kuliah sekarang sudah di Ruang kerjaku!. Aku sedang melamun”, kataku.
“Melamun tentang Listya?”, suara Kinanti menebak.
“Kok kamu tahu?. Tidak juga karena selain Listya juga melamun tentang Kinanti Puspitasari!”, kataku mulai menggoda. Terdengar suara tawa kecilnya Kinanti diseberang telpon sana. Aku juga ikut tertawa.
“Alan jangan coba coba merayuku ya aku sudah hafal rayuan playboy mu!”, kembali suara Kinanti sambil tertawa.
“Okey Kinan aku sudah kehilangan akal bagaimana caranya merayumu!”, kataku. Suara tawa kecil Kinanti masih terdengar menimpali kata kataku ini.
“Alan kamu pasti kaget sekarang aku sedang di Malang!”.
“Kinan jangan bercanda ah!”.
“Benar kan kamu pasti kaget!. Pasti lebih kaget lagi sekarang aku bersama Listya!”, kata Kinanti mantap. Sungguh benar-benar aku tercengang benarkah?.
“Hah Kinan sudahlah jangan bercanda begitu!”, kataku tenang namun sebenarnya sangat penasaran apa benar Kinanti sedang bersama Listya di Kota Malang.
“Kalau kamu tidak percaya ini handphone ini aku berikan kepada Listya biar kamu bisa ngomong sendiri!”, kembali suara Kinanti membuatku penasaran.
“Assalaamu alaikum pak Alan. Masih hafal suara saya?”, suara lembut yang sangat kurindukan setiap saat dan saat ini ada dalam telingaku. Ya suara Daisy Listya.
“Listya wa alaikum salam!”, aku rasanya agak gugup juga mungkin karena rasa rindu yang sudah sekian lama kepadanya.
“Bagaimana kabar pak?”.
“Alhamdulillah baik baik Lis. Bagaimana juga kabarmu dan Mas Rizal?”.
“Alhamdulillah kami juga baik baik. Rasanya lama sekali kita tidak jumpa ya Pak sejak terakhir acara pelepasan Program Profesi Apoteker itu!”.
“Iya Listya sudah lama sekali namun yang penting kita masih saling mendoakan dari jauh!”, kataku. Rasanya dialog ini begitu kaku. Aku kembali teringat kenangan indah bersama Daisy Listya. Jika teringat semuanya maka aku merasakan hanya ada kepedihan dalam hati ini.
Rupanya Kinanti sedang ada acara seminar di salah satu Hotel di Malang. Kinanti menyempatkan menelpon Listya dan mereka bertemu di Hotel itu. Setelah acara seminar itu Kinanti langsung kembali ke Bandung melalui Bandara Juanda. Sebenarnya Kinanti ingin bermalam di Surabaya sekalian bertemu denganku namun besoknya Kinanti ada acara Raker di Bandung. Bagaimanapun pembicaraan singkat dengan Listya melalui HP Kinanti itu bagiku hanya menambah rasa pedih karena ketidak berdayaanku memiliki cinta Listya. Aku masih berharap ada cerita lanjutan dari Kinanti tentang Daisy Listya sewaktu mereka bertemu di Malang.
Minggu depan aku harus ke Bandung kebetulan di akhir pekan itu Ibuku ulang tahun. Saat itu adalah waktu yang baik untuk mengajak Kinanti bertemu Ibu dan sekalian juga bisa ketemu adik-adikku yang lain. Biarlah rencana ini tidak aku ceritakan kepada Kinanti. Saat nanti di Bandung aku akan memberi kejutan kepadanya. Saat itu pula mudah-mudahan aku bisa mendengar cerita lengkap dari Kinanti tentang Listya. Ternyata tidak mudah untuk melupakanmu Daisy Listya.

(Bersambung)