Thursday, March 17, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (1)





Tantangan 100 Hari Menulis FC

EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)

Sinopsis
Alan Erlangga adalah sosok yang selama 20 tahun merasa kehilangan Diana Faria, kekasihnya yang harus dipanggil oleh Yang Maha Punya hanya seminggu sebelum hari perkawinan mereka. Merasa kehilangan selama 20 tahun adalah waktu yang lama. Ternyata ALLAH telah mengirim seorang gadis bernama Daisy Listya untuk menggugah hati Alan Erlangga. Daisy Listya adalah seorang gadis cantik, cerdas, berkepribadian luhur, memiliki prinsip hidup, berhasil membuka dan mencairkan kebekuan hati seorang Alan Erlangga. Listya ini yang telah menyadarkannya dari mimpi buruk panjang. Mungkin saja Daisy Listya memang nantinya bukan menjadi teman hidupnya karena seusai Wisuda Sarjana, Listya akhirnya bertunangan dengan pria yang mencintainya bahkan sampai menuju jenjang pernikahan. Menghadapi kenyataan ini Alan Erlangga tidak mampu berbuat apa-apa. Alan hanya pasrah. Cukup baginya bahwa Daisy Listya adalah gadis yang telah mampu membuka hatinya menjadi merasa hidup kembali. Ada pepatah bahwa mencintai itu tidak harus memiliki. Benarkah cinta itu menjadi sangat tinggi nilainya ketika harus mencintai tapi tidak harus memiliki?. Ditengah-tengah kegalauannya tiba-tiba hadir sahabat lamanya bernama Kinanti Puspitasari. Seakan hadir untuk menentramkan hatinya. Saat ini Kinanti memiliki seorang putri yang sedang beranjak remaja. Wanita ini membesarkan putri semata wayangnya sendirian karena suaminya sudah lama meninggal dunia. Kinanti adalah teman Alan sewaktu mereka SMA dan diusia yang sudah tidak muda lagi mereka kembali bertemu. Bagi Alan masa-masa SMA bersama Kinanti begitu indah untuk dikenang karena Alan waktu itu pernah juga jatuh cinta kepada Kinanti walaupun ternyata Kinanti hanya menganggapnya seorang sahabat.
Kepada siapa akhirnya Alan Erlangga melabuhkan hatinya?. Apakah kepada Daisy Listya seperti harapan cintanya selama ini?. Apakah kepada Kinanti?. Simak saja cerita episode demi episode dari Episode Cinta Daisy Listya.

Episode 1
DAISY LISTYA

Di Ruang itu aku sedang memberikan mata kuliah tentang Instrumen Analisa untuk Laboratorium Farmasi. Ada sekitar 50 orang mahasiswa yang hadir dalam sesi kuliah pagi itu.
“Boleh bertanya Pak! “ suara seorang mahasiswi sambil mengangkat tangannya. Aku sejenak memandangnya. Sepersekian detik aku sempat terperanjat. Benarkah ada Diana Faria di sini, tanyaku dalam hati. Gadis ini sungguh-sungguh memiliki wajah selembut Diana Faria.
“Ya silakan !” kataku masih tetap tak berkedip memandang gadis berwajah lembut itu. Sungguh benar-benar aku terpana menatap wajah cantik dengan bola mata yang indah ini. Tatapannya tajam seolah menembus hatiku. Seperti tatapan mata Diana Faria. 
“Apakah untuk senyawa karbohidrat diperlukan kolom fase diam yang berbeda jika fase geraknya berbeda?” tanya gadis itu.
Kembali aku memandangnya dan aku melihat wajah itu adalah Diana Faria bahkan kelembutan suaranya benar-benar mirip. Aku benar-benar tak berkedip saking terpesonanya.
“Ya benar. Fase diam dan fase gerak dalam teknik analisa Kromatografi merupakan dua komponen yang harus serasi. Hal ini karena akan menentukan hasil pemisahan komponen dengan waktu retensi yang saling berjauhan!” kataku.
Analisa Kromatografi adalah teknik pemisahan komponen zat farmasi melalui metode Instrumen Analisa Laboratorium menggunakan alat canggih yang disebut High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Aku sangat terkesan dengan gadis itu bukan karena pertanyaannya tapi justru karena sosok gadis itu. Siapakah dia. Anehnya ada rasa rindu yang terungkap ketika aku memandang wajah lembut gadis itu. Rindu kepada Diana Faria.
Sejak kuliah pertama itu aku selalu ingin cepat-cepat bertemu lagi dengan gadis yang mirip Diana Faria itu. Belakangan akhirnya aku tahu siapa gadis itu.  Dia bernama Daisy Listya. Teman-temannya memanggil cukup dengan Lis. Namun ada juga yang memanggilnya dengan Sisi dari Daisy atau Tya dari Listya. Aku sendiri lebih suka memanggilnya dengan Listya atau Lis. Kata teman-temannya, Daisy Listya adalah nama yang indah. Mudah diingat, bukan saja karena nama yang hanya dua kata tapi konon kata mereka gadis ini memiliki aura kecantikan yang berkepribadian. Faktanya memang benar. Itulah kisah pertama kali aku mengenal Daisy Listya. Mahasiswi yang cerdas yang selalu berprestasi dalam setiap semester yang diikutinya. Saat ini dia menjadi mahasiswi skripsi bimbinganku.
Aku harus jujur dia memang memiliki karakter yang kuat dalam berprinsip.  Penampilan fisik yang alami dengan postur yang sangat proporsional yang menjadi impian gadis-gadis seusianya. Bahkan kata teman-teman prianya, dia masih nampak sexy walaupun seluruh tubuhnya sudah dibalut dengan jilbab dan baju muslimah yang lengkap. Memang dasar lelaki itu pikiran pikirannya selalu ngeres.
Gadis ini termasuk periang. Usianya baru 21 tahun. Saat ini masih kuliah Semester 8, Fakultas Farmasi  sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya.  Dari pengakuannya, Daisy Listya adalah gadis kelahiran kota apel Malang berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya seorang Pegawai Negeri Sipil sementara ibunya adalah ibu rumah tangga biasa. Walaupun begitu ternyata gadis ini memiliki prestasi akademik yang sangat mengesankan. Indeks Prestasi Kumulatif terakhirnya adalah 3,81 dari skala 4. Luar biasa. Ya Daisy Listya adalah Mahasiswi bimbinganku saat ini yang sedang menyelesaikan skripsi S1 nya. Tepatnya sejak mulai semester 5 selalu aktif mengikuti kuliah-kuliahku.
Memang benar seperti apa yang dikatakan mereka, Daisy Listya adalah gadis yang istimewa. Jika berbicara, tutur katanya sangat ramah dan santun. Walaupun periang tapi bukan berarti bicaranya banyak dan berlebihan, bahkan dia hanya berbicara hal-hal yang perlu saja. Setiap perbincangan dengannya selalu saja ada pembicaraan yang mengandung hikmah kebaikan. Sungguh luar biasa. Berbincang-bincang dengannya sangat menyenangkan. Betah berlama-lama dan anehnya membuat hati menjadi tentram.  Suatu hal yang wajar jika Daisy Listya adalah mahasiswiku yang spesial dibandingkan dengan mahasiswi-mahsiswiku yang lain. Selama 20 tahun aku menjadi Dosen di Fakultas ini baru kali ini aku menemukan mahasiswi yang sangat istimewa seperti  Daisy  Listya. 
Saat ini pada usiaku yang sudah 45 tahun rasanya untuk pertama kalinya hati ini mulai terbuka lagi.  Setelah 20 tahun yang lalu aku kehilangan Diana Faria, gadis  yang sangat kucintai karena kecelakaan lalu lintas. Diana dan Daisy memang berbeda namun ada satu kesamaan diantara mereka yaitu kelembutan hatinya tercermin dari sikap sehari-harinya. Dari latar belakang keluarganya pun bagai langit dan bumi. Diana berasal dari keluarga berada dan berpendidikan. Ayahnya adalah Direktur sebuah perusahaan kosmetik di Bogor. Ibunya wanita asal Lebanon dari kalangan berada. Namun hal itu tidak menjadikan Diana menjadi gadis yang glamour. Diana adalah gadis sederhana sama seperti Daisy.
Saat itu setelah dirawat secara intensif karena kecelakaan tersebut, akhirnya Diana tidak bisa ditolong. Dia menghembuskan nafas terakhirnya persis seminggu sebelum hari pernikahan kami. Sungguh saat itu duka nestapa yang sangat mendalam harus aku jalani setiap hari. Sejak itu aku menjadi orang yang tertutup terhadap wanita. Entahlah, Diana adalah cinta pertamaku yang seolah-olah cinta itu dibawanya pula ke alam baka. Namun alhamdulillah pelarianku saat itu pelarian yang positif yaitu fokus terhadap karirku sebagai dosen.
Aku sempat mengambil pendidikan S2 dan S3 di Australia selama 8 tahun. Pada usia 34 tahun gelar S3 bisa kuraih dan di Fakultasku saat itu aku punya predikat Doktor Farmasi paling muda usia. Hanya dalam waktu tidak sampai 5 tahun predikat Profesorpun bisa kuraih pada usia 40 tahun. Alhamdulillah prestasi ini adalah hasil kerja keras yang sebenarnya akibat pelarian dari duka nestapa yang berkepanjangan karena ditinggal orang yang sangat kucintai.
Rasanya suatu keajaiban jika saat ini Daisy Listya telah mampu mencairkan hatiku yang sudah 20 tahun membeku. Sungguh suatu keajaiban. Setiap bertemu Listya ada rasa semangat dan gairah lagi seperti dulu semasa kebersamaanku dengan Diana Faria. Entahlah ini gejala apa namanya namun aku tetap harus bersyukur dan jangan terlalu berharap banyak apakah Daisy Listya  akan menyambut cintaku. Tentu dong harus aku sadari pula saat ini usianya yang baru 21 tahun bahkan mungkin seusia anakku jika saat itu jadi menikah dengan Diana. Usianya kurang dari separuh usiaku. Aku memang tidak terlalu berharap, lagi pula gadis secantik Listya mana mungkin belum punya pacar.
Biarlah untuk sementara ini aku hanya bisa menikmati kegairahan hidupku muncul kembali. Biarlah untuk sementara ini aku merasakan kebahagiaan yang dulu pernah kumiliki. Biarlah setiap aku bertemu Listya hatiku terasa damai tentram karena mendengar tutur kata lembut gadis yang begitu mempesona.
Suara ketukan dipintu ruang kerjaku membangunkan lamunanku. Entah sudah berapa lama aku melamun tentang Daisy Listya dan Diana Faria sementara jari-jariku masih terpaku tak bergerak di atas keyboard Laptop merk Jepang itu. Ya sebenarnya aku sedang membuat makalah untuk Simposium di ITB.
“Assalaamu alaikum!” suara lembut seorang gadis yang sangat akrab ditelingaku. Di depan pintu berdiri Listya sambil tersenyum manis. Oh Tuhan gadis ini cantik sekali, bukan kecantikan yang biasa. Ya Tuhan. Apakah seperti ini wujud Bidadari yang ada di Surga?.  Aku benar-benar terpana. Baru tersadar ketika Gadis itu mengulang salamnya.
“Assalaamu alaikum. Pak Prof kok terbengong!” kata gadis itu.
“Wa alaikumussalaam warohmatullahi wabarokaatuh. Wah jangan panggil Prof gitu, panggil saja Pak Alan Erlangga !” aku menjawab salam Listya dengan gugup. He he he gara-gara terpesona jadi saja tergagap gagap.
“Bagaimana kabarnya  Lis?” tanyaku.
“Alhamdulillah baik Pak Alan. Mohon maaf saya tidak telepon lebih dulu, langsung menuju kesini. Soalnya perbaikan skripsi hasil revisi ini sudah terlambat diserahkan seharusnya kemarin Pak!” kata Listya.
“Oh tak apa apa hanya terlambat satu hari saja. Bagaimana ada kesulitan mengolah data hasil analisis HPLC nya?” tanyaku.
“Alhamdulillah semua sudah saya selesaikan perhitungannya, hanya saya tidak tahu apakah sudah betul. Juga tentang pengolahan data statistiknya” kata Listya.
“Baik Lis nanti saya periksa semua data itu, kira-kira dua hari lagi bisa diambil hasil koreksian dari saya okey!”kataku menegaskan.
“Iya Pak terima kasih. Kalau begitu saya mohon pamit dulu takut mengganggu. Bapak sepertinya sedang bekerja serius” kata Listya sambil memberi salam lalu bergegas meninggalkan ruanganku.
“Lho kok buru buru Lis. Tidak, Listya tidak mengganggu kok. Okey!” kataku meyakinkan Listya agar tetap tinggal untuk mengobrol. Namun gadis itu tetap bergegas sambil mengucapkan salam lalu hilang dibalik pintu ruanganku. Begitu cepat bidadari itu berlalu meninggalkanku kesepian. Maha Besar Engkau Ya Allah aku telah dipertemukan dengannya. Ya hanya dipertemukan saja aku sudah begitu senang. Entahlah selanjutnya aku tidak tahu karena selama ini hanya berhubungan sebatas antara Dosen Pembimbing dengan mahasiswi yang sedang menyusun skripsinya. Ya aku harus cepat menyadari bahwa Daisy Listya bukan Diana Faria. Tentu saja. Hanya saja aku tak mampu menghadapi kenyataan pada setiap bersama dengannya pesonanya benar-benar membuatku tak berdaya. Perasaan perasaan indah bersama Diana Faria seolah tumbuh kembali padahal Daisy bukan Diana. Termenung di depan Laptop yang masih terbuka telah membuatku tersenyum sendiri. Aku seperti menjadi anak remaja tujuh belasan lagi atau paling tidak seperti mahasiswa dua puluh tahunan.  Akhirnya Laptop itupun aku tutup dan pekerjaan membuat makalah kembali terbengkalai. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pk 05.00 sore dan aku harus bergegas bersiap untuk pulang.
Kijang Kapsul berwarna biru tua itu meluncur ditengah-tengah deru sepeda motor yang membanjiri  jalan di kota Surabaya. Apalagi setelah memasuki Jalan Ahmad Yani, sepeda motor semakin padat memenuhi jalan utama keluar kota yang membuat jalan ini rasanya semakin sempit saja. Aku berputar di Bundaran Waru menuju arah Menanggal ya memang rumahku di sana, disekitar Masjid Al-Akbar. Dua ratus meter ke arah Timur Masjid megah kebanggaan masyarakat  Surabaya itu.
Malam itu juga skripsi Daisy Listya segera aku koreksi sampai detail. Memang sengaja aku harus lebih cepat mengoreksi skripsi itu agar bisa lebih cepat pula bertemu dengan Daisy Listya. Selesai merevisi skripsi itu waktu masih menunjukkan pk 21, belum terlalu malam mungkin lebih baik aku menelpon Daisy Listya. Di seberang sana suara Listya menyambut salamku.
“Wa alaikum salaam Pak!” suaranya merdu dan lembut sekali, gadis ini memiliki hati yang lembut.
“Lis maaf belum tidur kan?” tanyaku basa-basi.
“Lho Bapak ini bagaimana.  Ya belum tidur, kan ini lagi ngomong sama Bapak!” kata Listya bercanda. Suara tawanya riang dan aku hanya tersenyum mendengar canda seperti ini.
“Iya ya, begini Lis skripsi sudah saya koreksi termasuk data HPLC nampaknya ada beberapa sampel yang hasilnya masih kurang akurat. Listya harus meluangkan waktu untuk mengulang analisa HPLC. Paling tidak minggu ini agar bulan depan sudah bisa masuk agenda ujian akhir skripsi. Bagaimana Lis?”  kataku menjelaskan.
“Ya Pak kalau begitu besok saja saya booking HPLC dulu. Mudah-mudahan sedang kosong sehingga minggu ini sudah bisa saya kerjakan analisanya,” kata Listya. Terus terang selama dia ngomong di handphone itu tidak lagi kuperhatikan apa yang dia omongkan tapi begitu kunikmati suara lembutnya seakan-akan suara hatinya bisa langsung terdengar. Listya memiliki kelembutan seperti Diana Faria.
“Hallo Pak. Kenapa diam saja?” suara Daisy Listya mengagetkanku. Rupanya saat itu aku malah melamun.
“Oh ya ya sorry Lis aku tadi melamun sebentar he he he,” kataku sambil terkekeh-kekeh.
“Wah inget sama pacar ya Pak!” kata Listya.
“Bukan Lis, kamu itu ada ada saja. Okey kalau begitu mulai besok Listya mulai bikin program dan jadwal sesuai saran saya ya !” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Ya Pak secepatnya nanti saya segera mengambil hasil revisi Bapak. Apakah besok boleh. Bapak punya waktu?” tanyanya. Untukmu waktu selalu ada Listya, kataku dalam hati.
“Okey saya tunggu di Kantor. Pagi-pagi saja Lis sampai ketemu besok. Assalaamu alaikum !” kataku.
“Terima kasih Pak. Wa alaikum salaam !” suara Daisy Listya menutup pembicaraan.
Oh Tuhan besok aku ketemu dia lagi rasanya sudah tidak sabar namun waktu baru menunjukkan pk 21 lewat seperempat. He he he itu berarti aku harus mengarungi malam yang panjang karena harus menunggu esok untuk bertemu Daisy Listya.
Pagi itu mungkin Si Mbok yang sudah ikut bersamaku bertahun-tahun ini pasti merasa heran karena tidak biasanya sarapan favoritku, nasi goreng tidak kusentuh. Ya betul sebelum pk 6 aku sudah bergegas menuju Kampus Dharmawangsa Dalam.  Kijang Kapsul biru tua  itupun  meluncur di jalan Tol dalam kota. Tidak sampai setengah jam sudah sampai di Jalan Kertajaya dan tinggal satu perempatan lagi belok kiri lurus kemudian memutar sampailah di Jalan Dharmawangsa Dalam dimana Fakultas Farmasi berada. Kuparkir mobil di halaman Fakultas. Tepat pk 7 kurang lima menit aku sudah duduk di meja kerjaku. Seperti biasa aku lihat terlebih dulu agenda hari ini. Ada waktu 1 jam sebelum nanti pk 8 mengisi kuliah mahasiswa semester 6. Setelah itu rapat Panitia Simposium Farmakologi. Agenda yang cukup padat.
Terdengar suara pintu diketuk. Daisy Listya. Ya benar dia berdiri di depan pintu dengan senyum yang sangat manis. Ya ALLAH kenapa Kau pertemukan aku dengannya jika nantinya Kau harus pisahkan aku darinya.
“Lis silahkan duduk!” kataku mempersilahkan Listya duduk.
“Hari ini  Bapak nampak segar sekali!” kata Listya. Mendengar ini aku tertawa.
“Biasa kalau masih pagi begini pasti segar nanti sudah siang pasti kusut karena kerjaan makin numpuk he he he!” kataku bercanda. Listya hanya tersenyum manis lalu dia mengambil tempat duduk.
“Oh ya Lis ini skripsimu sudah saya koreksi coba dibaca ulang jika ada yang belum jelas bisa bertanya sekarang!” kataku sambil menyerahkan draft skripsi yang cukup tebal.
Listya membaca dengan seksama lembar demi lembar sementara aku dengan penuh hidmat juga mengagumi wajah cantik didepanku. Matanya sangat teduh sangat menyejukkan bila memandang, bibirnya terukir tipis dimana tutur kata santun dan senyum manis berasal darinya sementara hidung mancung dan wajah oval berkulit putih dalam balutan jilbab menambah keanggunan gadis ini. Ketika dia diam ada wibawa yang dalam ketika dia bicara ada pesona pada tutur katanya. Oh Tuhan dia seperti Diana Faria. Tapi tidak tidak tidak dia adalah Daisy Listya.
Entah berapa lama aku dapat dengan leluasa memandang kecantikan bidadari di depan mataku ini ketika suara merdu itu memecah kesunyian yang ada.
“Terima kasih Pak. Semuanya sudah mengerti segera akan saya perbaiki koreksian Bapak. Hari ini juga saya akan booking HPLC agar besok sudah bisa mulai kerja!” kata Listya.
“Okey Lis...semoga semua berjalan lancar dan sukses biar cepat wisuda!” kataku. Mendengar kata wisuda artinya dia selesai sudah jadi mahasiswiku. Akankah aku masih bisa bertemu dengannya? Jawabannya sungguh aku tidak tahu.
“Ya Pak. Doa dan bimbingan Bapak yang membuat saya bersemangat menyelesaikan skripsi ini segera. Kalau begitu saya pamit dulu Pak Alan!” kata Listya dan aku mengangguk tersenyum sambil bersalaman.
Hari ini berjalan begitu lambat rasanya walaupun agenda kegiatanku sudah rampung  semua. Apakah karena aku bertemu Listya hanya sebentar saja. Suatu hari aku ingin mengajaknya berbincang lebih lama. Ya suatu hari aku harus bercerita tentang Diana Faria.  Suatu hari aku harus mengatakan bagaimana perasaanku  kepadanya. Ya suatu hari. Maka sore itu saat pulang kerja, kembali terjebak dalam rutinitas kemacetan lalu lintas di Jalan Ahmad Yani menuju rumah di Menanggal. Sekitar satu jam kemacetan yang terjadi di sana sehingga aku baru sampai rumah sudah menjelang Isya. Besok tidak boleh terjadi lagi seperti ini lebih baik lewat Tol dalam kota saja.
Sebentar di halaman rumahku ada Honda Jazz parkir sepertinya aku mengenali mobil itu. Wow itu ternyata Audray Lin mahasiswi bimbinganku asal Malaysia yang sudah lulus dua tahun yang lalu. Ada kejutan apa nih Audray.
“Hallo Pak Profesor apa kabar?” suara Audray menyambutku di ruang tamu dengan tawanya yang renyah.
“Hallo juga  Di lama tidak bertemu pasti bawa kabar baik ya sudah lama menunggu?” tanyaku.
“Tidak juga Pak. Baru kira kira lima menit lebih sedikit!” jawab Audray.
“Sejak kapan tiba di Surabaya?” tanyaku.
“Minggu sore Pak!” kata Audray. “Malam Minggu besok sepupuku mau menikah mangkanya aku ke Surabaya. And so pasti mampir ketempat Profesorku” kata Audray sambil tertawa renyah. Audray mempunyai Tante yang menikah dengan Pria Tionghoa kelahiran Surabaya. Selama kuliah di Fakultas Farmasi, Audray tinggal dengan Tantenya.
“Wah Pak boleh nih aku tanya kok tidak ada tanda-tanda Nyonya rumah apakah Bapak masih betah jomblo terus?” tanya Audray.
Memang gadis ini sangat ceplas-ceplos dan agresif. Logat Malaysianya memang sudah hilang karena tinggal di Surabaya paling tidak sudah 4 tahun. Sebenarnya aku paling risi menghadapi Audray ini sejak dia masih mahasiswa dulu maupun sekarang. Dalam 2 bulan terakhir ini sudah tiga kali gadis ini berkunjung ke rumah.
“Siapa bilang. Aku sekarang sudah punya calon nyonya Profesor hanya belum saatnya diperkenalkan!” kataku menjawab pertanyaan Audray.
“Wow siapa gadis yang berbahagia itu? Atau Bapak cuma bercanda?” suara Audray mulai kelihatan panik. Aku tersenyum melihat tingkah Audray.
“Tidak bercanda Di. Okey nanti jika saatnya tiba aku perkenalkan. Waduh sampai lupa, kau mau minum apa Audray?” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Terima kasih Pak aku akan segera pamit tapi besok aku ingin mampir ke Kampus tentu kalau Bapak punya waktu kita bisa berbincang di sana okey” kata Audray. Akhirnya gadis itu menuju halaman rumah, menghidupkan Honda Jazz silver itu dan meluncur meninggalkanku.
Audray, Audray dari dulu kamu itu bikin aku merinding dan takut. Untung aku lelaki baik jika tidak entahlah ketemu gadis seperti Audray yang agresif dan ceplas ceplos tentu saja seperti kucing garong dapat ikan gurih. Audray Lin dan Daisy Listya ooooh bagai langit dan bumi. 
Hari ini hari Jumat berarti Listya sudah tiga hari mengerjakan sampel-sampel penelitiannya dengan HPLC. Sehabis memberikan kuliah untuk mahasiswa semester 6, aku menyempatkan diri berkunjung ke Laboratorium HPLC di Gedung sebelah Timur. Laboratorium ini ada di lantai 2 khusus untuk kegiatan praktikum mahasiswa dengan menggunakan instrumen laboratorium yang mutakhir seperti HPLC, GC, TLC-Densitometer,IR-Spectrophotometer, GC-Mass Spectrophotometer. Sore itu hampir semua kegiatan praktikum sudah selesai sekitar pk 15 tadi dan aku baru memiliki waktu untuk mengunjungi Listya walaupun sudah sesore ini mudah-mudahan Listya masih berada disana. Aku menaiki tangga satu demi satu untuk menuju ke lantai 2 dan dari koridor setelah pintu masuk aku dapat melihat melalui jendela berkaca lebar Bidadari itu sedang asyik  dengan HPLC nya. Balutan jilbab di wajahnya justru menambah aura kecantikannya. Beberapa saat aku berdiri disitu menikmati wajah Bidadari itu. Ya ALLAH aku belum habis mengerti apa dibalik maksudMu mengirimkan dia padaku?. Apakah Kau juga mau mengizinkanku untuk memilikinya?. Ataukah ini hanya ujian bagiku agar aku segera tergugah untuk mengikuti sunah NabiMu. Menikah walaupun ternyata bukan dengan Daisy Listya. Lalu denga siapa?. Audray? Oh no. Aku hanya berpasrah diri kepadaMu.
Entah sudah berapa lama aku berdiri disitu dan memang Laboratorium di lantai 2 itu sudah tutup kecuali Laboratorium HPLC.  Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara yang memanggilku. “Hayoo Pak Alan lagi ngintip ya,” suara seorang gadis mengagetkanku. Ternyata Amelia, teman akrab Daisy Listya sudah berdiri di situ.
“Amel bikin kaget saja kamu ini, mau jemput Listya ya!” tanyaku.
“Bukan. Saya mau pamit pulang duluan oh ya pak Alan mau ketemu Listya? Kebetulan Pak tolong ditemani Listya ya soalnya saya ada janjian jadi nanti mau pulang duluan ”  lalu Si Amel tiba-tiba saja menemui Listya di Ruangan Laboratorium. Mereka kelihatan berbincang-bincang. Akupun akhirnya  masuk menemui mereka.
“Terima kasih Pak mau menemani saya !” kata Listya tersenyum sambil memandang ke arahku.
“Lis tadi Pak Alan ngintip kamu lho...he he he!” kata Amelia. Busyet kurang ajar Si Amel ini. Selama ini dia memang sering menyindir-nyindir seperti ini dan nampaknya Amelia tahu gelagat bahwa aku menyukai Daisy Listya. Bidadari itu hanya tersenyum manis mendengar selorohan Amelia.
“Tak usah didengar Lis omongannya Amel. Masa saya ngintip kamu melalui kaca jendela sebesar ini padahal kalau mengintip kan harus melalui lobang yang kecil misalnya lobang kunci” kataku sambil ketawa agak gugup sedikit. Mendengar penjelasanku, Amel dan Listya tertawa. Tidak begitu lama  Ameliapun pergi pamit meninggalkan kami berdua.
Masih ada lima sampel lagi yang belum di inject kan. Sambil menunggu running kami mulai mengobrol. Tadinya aku bingung dari mana aku mulai bercerita namun hanya beberapa saat saja kebingungan itu terjadi. Akhirnya kalimat demi kalimat terucap dengan lancar dari relung hatiku seakan aku berada pada peristiwa yang terjadi hampir 20 tahun yang lalu. Maka cerita tentang Diana Fariapun usai juga. Ada rasa lega dalam dadaku ketika cerita itu bisa juga diucapkan didepan Daisy Listya. Aku melihat raut wajah Listya melukiskan kesedihan setelah  mendengar ceritaku.
“Saya turut berduka Pak walaupun sekarang sudah terlambat 20 tahun yang lalu. Bapak sangat mencintai mbak Diana Faria?” tanya Listya.
“Ya begitulah tapi ternyata Allahlah yang memilikinya. Saya sendiri kadang-kadang heran mengapa kita harus saling memiliki kalau pada akhirnya harus kehilangan?” kataku.  Daisy Listya masih terdiam kutunggu tutur kata apa yang nanti keluar dari bibir yang indah itu.
“Kita sebenarnya tidak pernah memiliki apapun maka oleh sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki!” kata Listya. 
Oh Allah gadis macam apa yang sedang berhadapan denganku ini. Apakah dia BidadariMu. Kata-katanya sangat bijak dan dalam. Aku benar-benar terdiam dan terpaku dalam ketermenunganku. Ya betul aku tidak pernah memiliki apapun maka akupun tidak pernah kehilangan apapun. Aku telah membuang waktu 20 tahun hanya karena merasa kehilangan Diana Faria. Padahal hanya Allah yang memiliki dia. Allah Maha Memiliki. Aku benar-benar  tertunduk syahdu mendengar ucapan Daisy Listya. Entah berapa lama aku terdiam ketika suara lembut Listya kembali menyapaku.
“Pak sudahlah lupakanlah yang telah lalu. Lebih baik melihat hari esok!” kata Listya.
Justru ini Listya, aku ingin melangkah menuju hari esok bersamamu tapi aku belum boleh mengatakan hal tersebut pada saat ini.
“Okey Lis terima kasih kata-katamu tadi benar-benar sangat menyentuh kalbu terdalamku. Rasanya aku seperti baru tersadar dari mimpi berkepanjangan. Mimpi adalah mimpi yang tetap menjadi sia-sia karena bukan alam nyata. Betul apa katamu aku harus membuka lembaran baru. Sebenarnya beberapa bulan ini ada seseorang yang telah mampu mencairkan kebekuan hatiku selama 20 tahun ya seseorang gadis yang sangat aku kagumi. Dia memang bukan Diana Faria tapi dia adalah orang yang telah kembali membuat hidupku menjadi hidup. Dia yang telah mampu menyentuh hatiku seperti Diana Faria dulu....wah wah wah sorry Lis kok jadinya aku jadi sentimentil begini....sorry sorry Lis aku terlalu banyak bicara, ” kataku mengakhiri kata-kataku yang terlalu emosional.
“Tidak apa apa Pak Alan. Sebaiknya Bapak harus mengeluarkan seluruh perasaan.  Jangan didiamkan saja. Saya bersedia mendengarkan dan saya bersyukur jika Bapak sekarang sudah menemukan orang yang telah membuat Bapak merasa hidup kembali!” kata Daisy Listya.
“Ya Lis terima kasih.  Okey tidak terasa hari sudah sore begini dan sampel sampel HPLC kelihatannya sudah habis! ” kataku.
“Betul Pak kita harus segera pulang! ” kata Daisy Listya.
“Sebaiknya Listya pulang bareng saya. Kostnya dimana?” tanyaku.
“Karang Menjangan Pak tapi masuk gang. Saya nanti diturunkan di depan gang saja. Terima kasih! ” kata Listya.
Sore itu kami meninggalkan laboratorium HPLC dan seperti permintaan Listya mobilku berhenti di depan gang lalu Listya pun pamit kepadaku, tersenyum sambil melambaikan tangan. Mobil Kijang Kapsulku kembali meluncur di jalan kota Surabaya yang padat kendaraan sore hari itu. Dari  arah Kertajaya aku meluncur lurus menuju jalan Dr Sutomo tidak berbelok ke arah Darmo. Sengaja aku menggunakan Tol Dalam Kota sehingga langsung bisa masuk akses Mesjid Al-Akbar bisa lebih cepat dan menghemat waktu untuk menuju Menanggal. Hari itupun terasa begitu panjang namun ada rasa lega ketika aku ingat bahwa Daisy Listya sudah tahu semuanya tentang  Diana Faria.
Sejak pertemuan di Laboratorium HPLC itu aku hampir dua pekan tidak bertemu dengan Daisy Listya. Oh tidak dua hari yang lalu Daisy Listya menyerahkan draft Skripsi yang terakhir untuk kutanda tangani dan saat itu juga aku menyetujui skripsinya untuk diajukan dalam Ujian Akhir pada awal November ini. Rasa rindu melanda jiwaku tidak bertemu dengan Daisy Listya. Aku ingin menghubungi handphone nya tapi tidak kulakukan. Aku hanya takut Daisy Listya sedang sibuk mempersiapkan Ujian Akhir. Namun demikian paling tidak pada awal Nopember itu aku jelas akan bertemu Daisy Listya di Ruang Sidang Ujian Skripsi.
Ada tiga Profesor termasuk aku dan dua orang Doktor yang menguji Daisy Listya. Gadis cantik ini begitu tenang menjawab semua pertanyaan para Penguji. Ruang ujian skripsipun tidak membuat gadis itu menjadi gugup dan tegang. Semua para Penguji sangat terkesan dengan semua jawaban Daisy Listya. Aku sendiri merasa lega ketika hasil ujian skripsi Listya mendapat nilai A. Ada rasa bangga sebagai pembimbingnya lalu aku menyalaminya sambil mengucapkan selamat.
“Lis..selamat perjuanganmu sudah membawa hasil, saya turut gembira dan bahagia! ” kataku dan Listya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis.
Sejak bertemu di Ruang Ujian skripsi itu aku sama sekali tidak pernah lagi bertemu dengan Daisy Listya. Entah kemana gadis itu seolah menghilang. Hari ini adalah hari yang ke 13 aku tidak bertemu dengannya. Aku memang tidak berusaha untuk menghubungi hand phone nya karena pernah suatu hari aku menghubunginya melalui hp ternyata tidak pernah aktif atau kalau aktif tidak pernah diangkat. Aku tidak tahu mengapa begitu.
Hari berganti hari minggu berganti minggu dan tanpa terasa hari wisudapun sudah didepan mata. Aku berharap bisa bertemu Daisy Listya di hari wisuda itu. Acara wisuda itupun berjalan lancar sejak dimulai pk 8 tadi pagi sampai siang ini. Para mahasiswa begitu gembira merayakan kelulusan mereka bersama orang-orang tercinta. Di halaman Aula itu aku berusaha mencari sosok yang selama ini kurindukan yaitu Daisy Listya. Tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku. Aku menoleh kearah suara panggilan itu. Oh Tuhan ya dia Daisy Listya bersama kedua orang tuanya dan ada seorang lelaki disampingnya. Siapa dia?
“Listya selamat sudah lulus ya !” kataku sambil menjabat tangannya.
“Terima kasih Pak Alan atas bimbingan Bapak akhirnya saya bisa lulus !” kata Listya.
“Oh tidak Lis, semua itu hasil jerih payahmu dan perjuangan yang tidak kenal lelah dan Listya pantas lulus karena hanya orang yang cerdas yang bisa berprestasi!” kataku.
“Terima kasih Pak. Oh ya perkenalkan ini Ayah dan Ibu lalu ini calon suami saya !” kata Listya sambil memperkenalkan orang-orang yang ada disampingnya. Aku menyambut jabatan tangan mereka. Ketika mendengar kata calon suami, maka tiba-tiba saja rasa hatiku seperti hancur berkeping-keping. Oh tidak jangan sampai seperti itu. Aku harus tegar.  Ketika mereka berpamitan, Listya masih sempat berkata padaku, “Pak Alan kalau nanti menikah dengan gadis yang telah menggugah hati Bapak jangan lupa saya diundang ya Pak!” kata Listya sambil tersenyum manis. Oh Tuhan kata-katanya ini justru menambah kepedihanku. Daisy Listya pun pamit meninggalkan senyumnya dihatiku.
Sejak pertemuan  terakhir itu aku benar-benar mengisi hari-hariku dengan kehampaan. Padahal aku harus tegar. Teringat apa yang pernah dikatakan Listya bahwa “Kita sebenarnya tidak pernah memiliki apapun maka oleh sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki!” Sungguh benar apa yang dikatakan gadis itu. Ya ALLAH berilah aku kekuatan. Aku harus bangun dari mimpi ini.
Sore itu aku duduk termenung di beranda depan sambil memperhatikan tetes tetes hujan bulan Desember ini jatuh kebumi. Di tanganku sebuah buku harian usang masih aku pegang lalu aku buka lembar demi lembar. Aku sudah tidak pernah mengisi buku harianku lagi dan ini adalah lembaran pertama buku harianku setelah hampir 20 tahun tidak pernah kusentuh.  Aku menulis tentang Daisy Listya untuk mengabadikan perasaanku padanya :
Sejak pertama kali aku memandang wajahnya rasanya wajah itu seperti sudah kukenal jauh lebih lama. Saat itu aku sempat tertegun tak percaya. Wajah ini sangat akrab dengan hatiku. Entah berapa puluh tahun yang lalu rasanya aku pernah mengenal wajah cantik ini. Wajah teduh yang dapat membuat hati menjadi tentram. Berkali-kali aku berbincang dengannya. Banyak yang tidak dapat aku ungkapkan betapa lembutnya dia dalam bicara. Setiap katanya mengandung kelembutan hatinya. Setiap aku berbincang dengannya setiap itu pula aku seperti pernah merasakan perasaan seperti ini entah berapa puluh tahun yang lalu. Candanya, senyumnya dan tawanya rasanya seperti pernah akrab dalam hidupku. Sapaannya pada saat aku menelpon melalui Hand Phone sangat menyenangkan dan ramah.
 Aku pernah mengatakan kepadanya, bahwa aku sangat mengagumi  kepribadiannya. Mendengar ini, dia hanya tersenyum manis. Dia tetap rendah hati. Bahkan dia mengatakan bahwa aku terlalu berlebihan dan sambil bercanda dia berkata bahwa aku hanya menebar fitnah. He he he menfitnah bahwa dia cantik. Sungguh aku sangat terkesan dengan sikap gadis ini menghadapi pujian. Memang hanya ALLAH yang berhak menerima pujian.
Aku adalah orang yang tidak dapat berpura-pura. Aku adalah orang yang selalu mengatakan sesuatu sesuai dengan isi hatiku. Wajar setiap orang memiliki masa lalu. Namun jika masa lalu itu ada didepan mata mengapa aku harus diam saja. Aku adalah orang yang ingin selalu mengatakan sesuatu sesuai dengan isi hatiku.
Dimataku dia adalah gadis yang berbeda dibandingkan gadis remaja seusianya. Dia sangat sederhana dan bersahaja. Senangnya hatiku setiap hari bertemu dikoridor laboratorium itu karena pasti dia akan tersenyum padaku dan aku bisa merasakan kebahagiaan. Namun sayang sekali kebahagiaan itu ternyata hanya datang beberapa saat saja.
Aku tentu saja harus membiarkan dia dapat meraih masa depannya sendiri. Dia mungkin sudah mendapatkan kekasih hatinya yang terbaik yang sebanding dengan kebaikan hatinya, kesetiaan cintanya. Aku juga yakin dia sangat berbahagia dengan teman hidup yang setia. Gadis ini memiliki aura kecantikan yang sempurna maka sudah pasti teman hidupnya juga harus memiliki ahlakul karimah yang sempurna, taat kepada Allah. 
Kini diakhir Desember ini dia sudah pergi hanya dengan meninggalkan senyum ramahnya. Kini di sini tak ada lagi canda ria, tawa renyah dan senyum ramah. Dia kini sudah pergi. Entah kapan aku bisa bertemu lagi dengannya. Entah kapan, aku tidak tahu. Dia pergi seakan membawa separuh jiwaku. Cinta masalaluku ada disana. Aku akan setia untuk mengenangnya.
Saat ini aku hanya bisa memohon kepadaMU kabulkanlah doaku : “Ya ALLAH Lindungilah dia dari kejahatan penghianatan dan karuniakanlah dia cinta, kasih sayang dan kesetiaan. Maha Besar ALLAH Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kutitipkan dia padaMU.”



BERSAMBUNG Episode 2

Friday, October 31, 2014

Cerpen Hensa : REUNI BERSAMA INTAN PERMATASARI

1414066433289749202
Foto : Hensa


   Ketika mendengar kabar ada Reuni Akbar SMA, aku seperti ingin berteriak gembira. Bukan apa-apa, jika benar Reuni itu terlaksana aku sangat berharap bertemu dengan Intan Permatasari. Tiga Puluh Sembilan tahun yang lalu aku lulus dari SMA sebuah Kota kecil di lereng Gunung Ciremai. Tidak terasa hampir empat dasa warsa sudah aku meninggalkan kota kelahiranku. Selama itu hanya pada saat Hari Lebaran saja aku menyempatkan berkunjung ke sana untuk bersilaturahmi dengan para kerabat dari Ibuku. Pada saat Lebaran itu kadang-kadang aku sempat bertemu dengan teman dan sahabat lama baik saat SMP maupun SMA. Namun selama itu pula aku belum pernah berjumpa lagi dengan Intan Permatasari. Sempat suatu hari saat mudik Lebaran tiga tahun yang lalu aku mendengar kabar tentang Intan saat aku bertemu dengan Diana teman sebangkunya saat SMA dulu.
“Hensa bagaimana kabarmu?”, suara Diana.
“Alhamdulillah baik. Kamu juga kelihatan tetap cantik!”, kataku. Diana hanya tertawa mendengar pujianku.
“Hensa tahun lalu aku bertemu dengan Intan lho!”, kata Diana.
“Oh iya. Bagaimana dia kabarnya, dimana sekarang tinggalnya, anaknya sudah berapa?” tanyaku bertubi-tubi. Diana kembali tertawa mendengar pertanyaan beruntunku yang heboh itu.
“Sabar pertanyaannya satu-satu nanti aku jawab okey Bos!”, kata Diana kalem.
“Oke Bos!”, kataku.
“Saat itu Intan juga tanya kamu. Aku bilang Hensa sekarang tinggal di Jawa Timur sana. Sudah punya dua putra. Intan juga bilang ingin ketemu kamu!”, kata Diana. Mendengar ini aku merasakan rasa haru berarti Intan masih ingat padaku.
“Kukira dia sudah lupa padaku”, kataku bergumam.
“Hensa mana mungkin dia melupakanmu. Kamu kan cowok pertama yang berani mengutarakan cinta padanya!”, kata Diana.
“Ya tapi sampai sekarang Intan belum pernah mengucapkan balasan apapun terhadap perasaanku sampai akhirnya kami berpisah kota untuk melanjutkan studi masing-masing!”, kataku. Diana sebagai teman dekat Intan pasti tahu betul rahasia perasaan Intan dan semua yang menyangkut aku dan Intan.
“Hensa tahu tidak sampai saat ini Intan belum menikah” suara Dina memecahkan suasana. Aku sangat terkejut mendengar berita ini.
“Diana kenapa begitu ya?”.
“Aku juga tidak tahu. Sebagai wanita yang karirnya sukses mungkin Intan sudah agak sulit menemukan pergaulan yang setara dengannya.” kata Diana. Intan Permatasari bekerja di sebuah Perusahaan Ekspor-Impor di Jakarta. Dia memegang jabatan yang sangat penting dalam perusahaannya, demikian Diana menceritakan karir Intan saat ini.
“Hensa saat ini Intan masih cantik seperti dulu. Kabar baik lainnya dia kirim salam untukmu dan keluarga”, kata Diana.
“Terima kasih Diana”, kataku.
Itulah kabar terakhir tentang Intan Permatasari. Ah aku jadi ingat saat aku mengutarakan cintaku padanya. Intan bagiku adalah sahabat di Sekolah maupun di luar Sekolah. Dia teman grup belajarku. Setiap ada PR Matematika, Goniometri, Ilmu Ukur Ruang,Ilmu Pesawat Mekanika, Kimia, Fisika, Biolgi Intan adalah jagoanya. Gadis ini juara di Kelasku. Aku bersyukur bisa bersahabat dengannya. Akupun bersyukur diantara teman prianya, Intan lebih percaya padaku. Mungkin karena aku ini orangnya polos dan agak sedikit religius entahlah. Jika pada saat ada acara Sekolah yang diselenggarakan malam hari maka aku selalu diminta untuk menemaninya. Begitupula Ibunya nampak sekali suka padaku walaupun kepada siapapun tetap ramah. Sejak kelas tiga SMP kami memang sudah bersahabat. Banyak teman pria yang lain berusaha untuk mendekati Intan namun selalu dengan halus Intan menghindarinya. Setiap ada teman pria yang mendekatinya maka Intan selalu bercerita kepadaku. Hingga pada suatu kesimpulan inilah saatnya aku maju. Saat kelas tiga SMA itulah aku memutuskan untuk mengutarakan cintaku kepada Intan.
Saat itu baru saja kami menerima pengumuman kelulusan Ujian Akhir SMA dan Alhamdulillah aku dan Intan lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Kami keluar dari Ruangan Aula setelah Pengumuman itu. Berjalan menuju sebuah tempat yang bernama Samoja Opat yang ada di seberang jalan depan Sekolahku. Tempat ini penuh dengan rindang pepohonan. Aku dan Intan sering datang ke tempat ini hanya untuk sekedar ngobrol santai. Siang itu kamipun menuju ke sana hanya sekedar ingin mengukir nama-nama kami pada sebuah pohon di situ. Intan + Hensa, demikian dua nama itu terukir di batang sebuah pohon besar. Lalu kami duduk di atas sebuah batu menghadap ke arah Sekolahku.
“Intan tahun depan kita sudah meninggalkan SMA tercinta kita ini. Kamu mau kuliah dimana?” tanyaku.
“Hen rencanya aku ingin kuliah di Yogya. Di sana ada Om Budi, adik Ibu. Kalau Hensa rencana kuliah dimana?”, tanya Intan.
“Aku mungkin kuliah di Bogor. Aku suka pelajaran kimia. Di sana ada Perguruan Tinggi Kimia mungkin aku kuliah di sana”, kataku.
“Hensa, nanti kita berjauhan ya. Aku di Yogya dan kamu di Bogor”, suara Intan pelan. Aku melihat wajah gadis ini kelihatan murung sama seperti halnya perasaanku. Aku merasakan suasana kesedihan tergambar dalam wajah Intan.
“Aku kalau kangen gimana?”, suara Intan. Aku tertegun tidak bisa bicara.
“Kita bisa berkirim surat atau telepon ya Hen!”, kembali suara Intan.
“Intan saat saat seperti ini aku merasakan kesedihan. Yang aku takutkan selama ini ternyata akan terjadi. Kita nanti akan berpisah”.
“Iya Hensa. Walaupun nanti kita jauh tapi hati kita tetap dekat”, kata Intan.
“Intan!. Maukan kau mendengarkan apa yang selama ini aku rasakan?”, akhirnya aku mulai membuka kata untuk curahan hati ini. Mendengar ini Intan Hanya menatapku tajam. Aku juga memandang gadis cantik ini. Mata indahnya dan wajah cantiknya dengan rambut hitam panjang sebatas bahu benar-benar memukauku. Maha Besar Allah Sang Pencipta gadis cantik ini. Kami saling berpandangan.
“Intan selama ini ternyata aku sangat mencintaimu!”, kataku tegas. Aku lihat Intan hanya tertunduk. Beberapa saat kami terdiam. Tidak ada jawaban dari bibir mungil gadis ini. Aku melihat Intan mulai terisak. Titik air matanya mulai membasahi pipinya. Siang itu begitu hening. Hanya angin semilir menerpa dedaunan rindang di Samoja Opat itu. Peristiwa itu begitu berkesan bagiku walaupun hingga saat ini aku tidak pernah mendengar sepatah katapun jawaban dari Intan.
Sejak lulus kuliah dari Bogor, sudah 30 tahun ini aku menghabiskan kehidupanku di sebuah Kota Pesisir Jawa Timur. Kota ini sudah seperti kota kelahiran keduaku, kota tempat aku menggapai semua masa depanku. Intan Permatasari walaupun tidak bisa begitu saja dilupakan namun di kota ini aku merasa lebih realistis menjalani kehidupanku. Kabar tentang Reuni Akbar Lintas Angkatan mulai tahun 1961 sampai tahun terakhir benar-benar acara yang sangat aku nantikan hanya dengan satu harapan yaitu bertemu dengan Intan Permatasari. Reuni Akbar ini seakan membuka kembali lembaran-lembaran lama. Aku sungguh sungguh ingin menghadiri acara reuni ini maka segera saja mengatur jadwal kerjaku agar pada hari H Reuni tersebut benar-benar tidak berbenturan  dengan tugas-tugas kantor. 
Hari yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Kegiatan Reuni dimulai dengan acara jalan sehat Sabtu pagi dilanjutkan dengan Bazar serta pertandingan Final Basket antar SMA/SMK. Aku sendiri tidak bisa mengikuti acara-acara tersebut. Aku baru bisa hadir pada malam Minggunya yaitu acara Malam Temu Kangen. Malam itu aku melangkah dengan penuh harapan ingin ketemu dengan Intan Permatasari. Memasuki Gerbang Sekolah sudah banyak para alumni. Mereka mungkin angkatan yang muda-muda karena tidak ada yang mengenaliku. Ketika tiba-tiba seseorang memanggilku. Ternyata disana sudah berdiri Diana sambil melambaikan tangannya. Aku segera menghampiri Diana. Kami saling bersalaman.
“Hensa baru datang ya. Tadi pagi tidak ikut jalan sehat?”, tanya Diana.
“Iya. Oh ya teman-teman yang lain mana?”. Tiba-tiba muncul berbarengan Dony, Kadir, Agus, Neni, Eli, Bunga namun tidak ada Intan Permatasari. Kemanakah kamu Intan. Setelah ngobrol-ngobrol kangen akhirnya mereka, teman-temanku itu pamit padaku karena kebetulan mereka adalah Panitia pada acara ini. Aku berjalan menuju Panggung yang megah di tengah-tengah antara Aula dan lapangan terbuka. Udara malam itu sangat sejuk dan langit cerah penuh Bintang. Berjalan sendiri melintasi koridor melewati kelas-kelas yang dulu pernah menjadi tempatku belajar. Lalu aku kembali lagi menuju arah panggung dimana acara puncak Temu Kangen dilangsungkan. Belum sampai sisi Panggung aku melihat seorang wanita duduk sendirian kebetulan disebelahnya juga ada kursi kosong. Aku seperti mengenal betul siapa wanita itu. Menggunakan gaun berwarna hitam rambut panjang sebatas bahu dengan perawakan semampai. Ya Allah tidak salah lagi, dia Intan Permatasari. Aku menghampirinya setengah berlari.
“Intan!”, kataku menyapa. Wanita itu menoleh dan menatapku sambil tersenyum.
“Hensa!”, katanya membalas sapaanku. Aku duduk disampingnya. Intan masih cantik seperti dulu. Masih terbayang saat dia mengenakan seragam putih abu-abu. Ya wanita di depanku ini Intan Permatasari.
“Aku sengaja datang ke reuni ini semata-mata hanya karena ingin bertemu denganmu!”, kata Intan. Mendengar ini aku tersenyum.
“Kamu sudah punya putra berapa?”, tanya Intan lagi.
“Putraku dua sekarang mereka sudah bekerja mungkin sebentar lagi aku mau menikahkan putra pertamaku.”
“Berbahagialah Hensa. Sementara aku hingga saat ini masih sendiri!”, suara Intan seperti tersendat dikerongkongan. Aku melihat wajahnya penuh kesedihan. Wajah Intan masih cantik seperti dulu pada saat itu aku mengutarakan cintaku kepadanya. Saat ini seakan aku sedang mengalami adegan ulang 39 tahun yang lalu. Aku lihat tiba-tiba Intan menangis tersedu lalu dia berkata dalam tangisnya.
“Hensa sebenarnya aku juga mencintaimu. Maaf sangat terlambat menjawab kata cintamu!”, kata Intan sambil masih menangis. Sementara itu di Panggung Temu Kangen baru saja disampaikan oleh MC bahwa lagu jadul berikutnya adalah Andaikan Kau Datang. Sementara lagu itu mengalun, Intan masih terisak. Suasana yang mengharukan diringi alunan lagu Koes Puls itu. Kemudian dia menatapku tajam seakan-akan tatapan ini adalah yang terkhir kalinya.
“Maafkan Hensa, aku tidak bisa memberikan kebahagiaan untukmu”, katanya pelan.
“Aku sekarang lega karena sudah bertemu denganmu dan aku berharap kamu sudah tahu isi hatiku juga mau mmemaafkanku”,kembali kata Intan sambil berdiri menatapku.
“Hensa aku pamit dulu ya”, kata Intan sambil berlalu meninggalkanku dengan isak tangisnya. Saat itu aku benar-benar terpaku tidak bisa berbuat apa-apa setelah beberapa lama baru aku tersadar kalau Intan sudah pergi dariku. Aku berlari mengejarnya sampai Pintu Gerbang Sekolah. Tidak ada. Mungkin masih di Tempat Parkir. Tidak ada satupun kendaraan yang keluar dari tempat parkir. Intan telah pergi. Aku telah membiarkan dia pergi, Kenapa aku tidak menahannya. Malam itu sampai acara usaipun aku benar-benar tidak bisa menikmati kemeriahan Temu Kangen ini.
“Hai Hensa kenapa kamu kelihatan murung?”, suara Diana menyadarkanku dari kegundahan hati karena ditinggal Intan.
“Aku tadi bersama Intan Permatasari tapi dia pergi meninggalkanku!”,kataku menjelaskan.
“Intan Permatasari katamu Hensa?”.
“Iya aku tadi berbincang, bernostalgia. Lalu Intan menyatakan cintanya kepadaku sambil minta maaf kalau cintaku baru terbalas sekarang!”. Aku lihat Diana terbengong seperti orang yang benar-benar tidak percaya pada ceritaku ini.
“Intan menangis tersedu dan berpamitan padaku. Aku tidak bisa mencegahnya pergi”, kataku pelan penuh kegundahan. Kembali aku melihat Diana menarik nafas dalam-dalam.
“Hensa. Aku lupa memberitahumu!”, kata Diana.
“Memberi tahu tentang apa Diana?”, tanyaku penasaran.
“Memberitahu tentang Intan”, kata Diana datar.
“Ada apa dengan Intan ?”.
“Intan sudah tiada setahun yang lalu karena menderita kanker kista ovarium”, kata Diana kali ini kulihat matanya berkaca-kaca. Mendengar ini aku hanya tertegun dan tidak percaya jika tadi aku memang benar-benar bertemu dengan Intan Permatasari. Aku merasakan ada tepukan lembut dipunggungku. Ya tepukan dari Diana agar aku bisa tabah. Aku masih tertunduk sambil membayangkan saat tadi Intan mengatakan cintanya padaku. Intan Permatasari almarhumah hadir dalam Reuni ini untuk menyatakan cintanya padaku. Ya ALLAH semoga Intan selalu mendapat perlindungan dan kedamaian di sisiMU.



Bandung 23 Oktober 2014