Foto : Hensa/Koleksi Pribadi
EPISODE 6
SALAHKAH LANGKAHKU
Sejak pertemuan malam itu,
aku semakin akrab dengan Mutiara dan beberapa kali aku bersilaturahmi di
Paviliun tempat Kostnya. Seperti pada
malam itu kami mengobrol, bercanda kadang-kadang berdiskusi serius di Ruang
tamu itu.
“Mas Herman sudah sebulan
ini aku benar-benar meninggalkan pekerjaan kotor itu!”, kata Mutiara.
“Syukurlah Tiara !”,
kataku lega.
“Hanya kemarin Ricki
marah-marah kepadaku karena aku menolak order tamu anggota Parlemen dari Jakarta. Sempat
kami bertengkar tapi akhirnya Ricki menyerah!”, kata Mutiara.
“Apakah Ricki pernah
berlaku kasar kepadamu Tiara?”, tanyaku.
“Tidak pernah Mas!”, kata
Mutiara.
Aku tidak bisa
membayangkan selama ini tamu tamu Mutiara pasti dari kalangan atas seperti
Anggota Parlemen bahkan aku pernah mendengar dari Ima, teman Mutiara yang di
Lokalisasi itu bahwa pernah Mutiara di booking
seorang Pejabat Tinggi berasal dari sebuah Daerah di luar Jawa yang kebetulan
sedang kunjungan dinas di Jawa Timur. Oknum-oknum anggota Parlemen maupun
Pejabat- pejabat itu hanya menambah daftar panjang noda hitam yang selama ini
di persepsikan Masyarakat terhadap anggota Parlemen dan Pejabat. Memang hanya oknum namun mereka adalah oknum-oknum
yang merusak citra Institusi mereka dan sama sekali tidak pernah memiliki rasa
hormat kepada wanita. Mutiara hanya korban dan saat ini dia sudah menemukan
lagi dirinya walaupun tidak seutuh dulu. Selama beberapa minggu ini memang
Mutiara selalu menolak pekerjaan yang diberikan oleh Ricki dengan alas an
sedang mempersiapkan ujian skripsi. Alasan yang cerdas untuk menghindari
kemungkaran.
“Lalu perkembangan
skripsimu bagaimana Tiara?.
“Minggu depan ini aku ujian
skripsi. Tadi pagi aku sudah melihat jadwal ujianku. Doakan ya Mas!”, kata
Mutiara.
“Wah selamat Tiara.
Skripsinya sudah siap untuk diuji nih?”.
“Mudah-mudahan Mas. Aku
sendiri seakan tidak percaya akhirnya skripsiku selesai juga!”, suara Mutiara
penuh haru. Aku tersenyum memandang Mutiara. Wanita cantik ini membalas
senyumku. Pandangan matanya yang teduh dan senyum manisnya yang memberi khas
pada kecantikannya Mutiara.
“Mas Herman, aku sungguh
beruntung bisa berteman denganmu. Aku seakan sudah menemukan kembali jalan
pulangku!”, kata Mutiara.
“Tiara. Kamu tidak perlu
mencari jalan pulang karena kamu tidak pernah kemana mana. Kamu hanya
terbelenggu oleh masa lalumu, masa kelammu, masa gelapmu!”.
“Ya Mas. Aku hanya
terbelenggu sehingga aku memang butuh seseorang yang mampu melepas belenggu
itu!”.
“Tidak perlu seseorang
Tiara karena hanya dirimu sendiri yang mampu membebaskan dari belenggu masa
lalu kelam itu!”.
“Mas Herman terima kasih.
Aku tidak akan mampu keluar dari belenggu itu tanpa bantuanmu!”, kata Mutiara
lagi.
“Tiara. Ketahuilah aku
hanya seorang perantara saja karena yang membawamu keluar dari dunia hitam itu
adalah Tuhan!”, kataku. Aku melihat Mutiara terdiam membisu sambil tertunduk
lalu pelan-pelan dia berkata.
“Aku semakin yakin Tuhan
akan memaafkanku karena Dialah yang juga membawaku kembali kepadaNya!”, suara
Mutiara pelan hampir seperti berbisik.
“Tentu saja Tuhan Maha
Pengampun. Jika tidak lalu kepada siapa lagi kita memohon ampunan?”.
Manusia adalah tempatnya
dosa dan kesalahan sedangkan Tuhan adalah Maha Suci Sumber segala Kebenaran.
Hal itu sudah menjadi ketentuan yang tertulis dalam kitabNya. Mutiarapun pasti
akan diberi kesempatan untuk bertobat dan kembali kepadaNya.
Ujian skripsi bagi Mutiara adalah sejarah yang
patut di catat dalam lembaran hidupnya. Perjuangan yang tak kenal lelah hingga
harus mengorbankan dirinya sendiri, hari-hari yang pahit dalam hidupnya harus
dilaluinya penuh dengan ketabahan. Maka
ujian skripsi ini merupakan titik balik dalam hidupnya. Pada hari itu aku
memang sudah berniat menemui Mutiara sebelum dia masuk ke Ruang Sidang skripsi.
Mutiara tampak terkejut ketika dia melihatku menemuinya.
“Mas Herman!”, suara
Mutiara memanggil namaku penuh rasa gembira.
“Bagaimana Tiara sudah
siap maju?”, tanyaku.
“Iya Mas setelah ini
giliranku !”, kata Mutiara. Hampir semua mahasiswa yang keluar dari ruangan
ujian itu memperlihatkan wajah dengan rasa lega sedangkan yang mau masuk
terlihat tegang penuh rasa khawatir.
“Mutiara!”. Namanya
terdengar dipanggil untuk bersiap menuju Ruang Ujian.
“Mas Herman, doakan aku
ya!”, kata Mutiara sambil berdiri lalu bergegas menuju pintu masuk. Aku berdoa
untuk Mutiara semoga semua pertanyaan Dosen Penguji dapat dijawabnya dengan
benar. Teringat saat aku ujian skripsi dulu suasananya memang seperti ini. Dapat dirasakan bagaimana rasa tegang penuh was
was, rasa takut tidak bisa menjawab pertanyaan Dosen Penguji, pokoknya
bercampur aduk menjadi satu. Aku juga tadi melihat Mutiara merasakan hal yang
sama namun lihat saja nanti saat keluar dari Ruang Ujian akan merasakan kelegaan
yang luar biasa apalagi sudah dinyatakan lulus.
Satu jam sudah berlalu.
Aku berkali kali menoleh ke arah pintu Ruang Ujian itu. Lama sekali Mutiara di
dalam sana padahal mahasiswa yang lain satu jam rata-rata mereka sudah selesai.
Aku mulai merasakan ketegangan, jangan-jangan Mutiara mendapat kesulitan, dibantai oleh Para Penguji itu. Ya
sekarang sudah memasuki satu jam setengah. Tiba-tiba saja aku melihat pintu itu
terbuka dan Mutiara berdiri di sana dengan wajah ceria sambil berteriak
memanggilku dia berlari ke arahku lalu memelukku.
“Mas Herman. Aku lulus!”,
katanya. Aku masih terkejut dalam pelukannya. Belum pernah selama hidupku
dipeluk wanita. Aku sebagai anak produk pesantren
tentu merasa kikuk mendapat pelukan Mutiara. Pelan-pelan aku lepaskan
pelukannya.
“Oh maaf Mas Herman. Aku lupa,
kita bukan muhrim ya!”, kata Mutiara tersipu sambil melepaskan pelukannya.
“Iya Tiara tidak
apa-apa!”, kataku tersenyum. Lalu akupun menyampaikan selamat atas kelulusan
Mutiara.
Aku melihat wanita ini
tersenyum bahagia. Lepas sudah belenggu itu dan Mutiara kini sudah mulai
menatap ke depan. Akupun selalu mencoba meyakinkan diri ini bahwa Mutiara
memang bukan wanita PSK. Andaikata memang Mutiara pernah menjadi wanita seperti
itu yang pernah beredar di kalangan high
class maka hal itu bukan karena kemauannya. Bagaimana dengan wanita lain
semacam Mutiara yang mungkin juga bisa dijumpai pada sebuah Kampus?. Juga
mereka tidak menginginkan profesi itu. Mereka hanya korban keadaan yang membuat
dirinya frustrasi. Berapa banyak lagi
wanita-wanita malang itu yang ada di Lokalisasi bahkan mungkin berkeliaran di
keremangan jalan kota dan rel kereta api. Mereka adalah wanita yang perlu
sentuhan kasih sayang dan perhatian agar kembali menempuh kehidupan sesuai
dengan kodratnya sebagai seorang wanita. Mereka adalah wanita-wanita yang kehormatannya
terampas oleh arogansi para lelaki hidung
belang. Sangat menyedihkan nasib mereka yang haknya terengut menjadi komoditi
para lelaki tidak beradab. Aku sangat setuju jika ada seorang Walikota atau
Bupati atau Gubernur yang mau menutup lokalisasi namun bukan hanya itu
solusinya. Mereka harus dibina agar bisa mandiri menatap masa depan yang lebih
baik dalam naungan Ridho Allah. Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan
agama yang kuat, aku sangat hormat kepada wanita karena Ibuku juga seorang wanita.
Siang itu di Kantin Kampus
aku diajak Mutiara makan siang.
“Tiara saat ujian itu aku
kira kau sedang dibantai sama Dosen-dosen Penguji itu kok ujiannya lama
sekali!”, kataku.
“Ya Mas mungkin
beliau-beliau itu kagum dengan skripsiku sehingga diskusinya mengasyikkan!”,
kata Mutiara.
“Tapi mungkin juga kagum
sama kecantikan yang punya skripsi sehingga beliau-beliau betah menguji!”,
kataku sambil tertawa.
“Ah Mas Herman ngawur!”,
kata Mutiara tersenyum. Aku melihat pipinya merona merah. Sungguh aku belum
pernah melihat Mutiara tersipu dan salah tingkah seperti ini. Wajahnya malah kelihatan
bertambah cantik. SubhanAllah. Aku kembali tidak percaya mahluk secantik ini
harus terjerumus menjadi seorang wanita PSK. Ya Allah, syukurlah dia sekarang
sudah keluar dari dunia hitam itu.
Malam itu aku harus menyelesaikan laporan
tugasku, namun fikiranku masih terganggu oleh peristiwa pelukannya Mutiara tadi
siang. Seumur-umur belum pernah aku dipeluk wanita kecuali dipeluk Ibuku. Aku
ini pemuda pesantren yang tidak kenal pacaran
layaknya anak muda pada umumnya. Kolot?. Tidak apalah orang mengatakan begitu
yang penting aku sudah menjalankan ajaran agama yang aku yakini. Namun pelukan
Mutiara saat itu aku rasakan sebagai pelukan rasa sayang, bukan pelukan birahi.
Ya aku merasakannya seperti itu. Benarkah Mutiara mulai menyayangiku?. Bagiku
sendiri, hari hari yang kujalani selalu penuh dengan Mutiara. Apakah aku juga
mulai menyayanginya?. Lalu Bunga?. Apakah Bunga hanya cinta saat masa puberku
waktu SMP dulu?. Bunga dan Mutiara selalu hadir dalam anganku silih berganti. Oh
Tuhan. Kemanakah aku harus melangkah?.
BERSAMBUNG