Sunday, January 27, 2013

Rasulullah: Potret Idealisasi Fitrah Manusia

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ina

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung,” (Qs. Al-Qalam: 4)
 

Potret manusia sempurna sepanjang sejarah terlukis pada seorang insan kamil, nabi akhir zaman, Muhammad Rasulullah Saw baik dari segi fisik maupun kepribadiannya. Kesempurnaan yang didesign khusus oleh Zat Sebaik-baiknya Pencipta, tersusun sejak beliau masih di dalam kandungan ibunya, Siti Aminah. 

Di usia yang masih sangat kecil, ketabahan beliau sudah sedemikian diuji oleh Allah. Pengasuhan yang berpindah-pindah, dari asuhan tulus penuh kasih sayang dari Ibu susunya, Halimatus Sa’diyah, lalu kakeknya, kemudian pamannya, membuat pribadi Rasulullah kian kuat: mandiri, sahaja, berkharisma dan sederhana, sebab beliau menyadari betul bahwa dirinya sebatangkara— tanpa orangtua. 

Kepribadian yang sungguh berbeda dari anak-anak sebayanya; tidak pernah menyembah berhala, apalagi menenggak arak dan berdendang ria, membuat kita meyakini bahwa Allah telah mempersiapkan risalah suci jatuh kepada beliau, karena proses panjang yang dialami Rasulullah pra-kenabian sungguh mengagumkan. 

Genap di usia 40 tahun, akhirnya beliau menerima sebuah risalah yang sungguh membuatnya gelisah; kalamullah yang ribuan untaian kalimah-nya begitu memukau, terlantun indah.

Secara kauniyah (faktual) isi dan kandungan Al-Quran telah dirasakan dan dialami terlebih dahulu oleh jiwa Rasulullah untuk kemudian ayat secara berangsur-angsur turun sesuai dengan permasalahan yang dialami para sahabat atau pertanyaan (tantangan) dari kaum kuffar Quraisy. Itulah yang disebut asbabun nuzul (sebab turunnya wahyu) yang sifatnya membenarkan dan meluruskan pengalaman yang terjadi.

Sebab tujuan Al-Quran secara bertahap itulah, dalam suatu hadits diriwayatkan bahwa akhlaq Muhammad ialah Al-Quran itu sendiri, yang dimaknai bahwa segala perbuatan, ketetapan, perkataan beliau refleksi dari kandungan Al-Quran sebagai anugerah dan rahmat dari Allah sesuai fitrah manusia.

Selain sebagai peneguh hati beliau, alasan lain Quran diturunkan secara bertahap ialah sebagai ‘proses pengajaran’ langsung dari Allah. Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur agar koheren antara masa (waktu), masalah, dan jawaban penting sesuai dengan pertanyaan dan rasa ingintahu para sahabat dan kaum kafir. 

Sesuai dengan Qs Al-Furqan 32-33, “Orang-orang kafir bertanya, ‘Kenapa Al-Quran tidak diturunkan pada Muhammad sekaligus?’ Demikianlah, kami turunkan secara berangsur agar memperteguh hatimu dan Kami bacakan secara tartil. Tiap mereka datang padamu membawa pertanyaan Kami selalu datangkan padamu kebenaran dan penafsiran yang sebaik-baiknya.”

Pendapat rajih juga berpendapat bahwa Rasulullah mendapatkan wahyu 13 tahun di Makkah (fase Makiyyah) dan usai hijrah ke Madinah selama 10 tahun (fase madaniyah) dan total turunnya wahyu kurang lebih 23 tahun.

Sebab proses turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur itulah Al-Quran turun apabila terjadi sebuah peristiwa, permasalahan, pengalaman, yang dirasakan dalam jiwa manusia baik yang berupa sebuah keburukan ataupun kebaikan. Al-Quran bertindak sebagai furqanan (yang memberikan keterangan perbedaan antara fitrah kesucian dan keburukan) itulah sebabnya pula Rasulullah bersabda bahwa Islam adalah agama fitrah atau sebagai rahmat seluruh alam karena Quran adalah sebuah pengalaman yang muncul dalam jiwa manusia. Yang keluar dari jiwa itulah jiwa yang baik maupun yang buruk. 

Selain itu, Rasulullah diutus untuk membangkitkan kecenderungan yang inheren pada diri manusia terhadap tauhid dan akhlak yang merupakan bawaan sejak lahir.

Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad..

Wallahu a’lam..


http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/01/26/mh7v1x-rasulullah-potret-idealisasi-fitrah-manusia

Tuesday, January 22, 2013

Jalan Hidup Salikin (1): Dunia Mimpi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar Hilm, Ru’yyah, dan Manam Mimpi yang diungkapkan dengan kata ru'yah umumnya mempunyai makna yang berdampak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam perspektif ilmu tasawuf, dunia mimpi dikenal dengan beberapa istilah. Istilah itu disesuaikan dengan sifat dan tingkat kualitas mimpi itu. Istilah-istilah tersebut, antara lain, hilm, ru’yyah, manam, busyra, waqi'ah, dan mukasyafah. Dalam Alquran dan hadis pun sering digunakan istilah-istilah tersebut secara bergantian. Kalangan ulama tasawuf membedakannya dalam tiga kategori. Pertama hilm, ru'yah, dan manam. Kedua, waqi'ah. Ketiga, mukasyafah. Hilm, ru'yah, dan manam, ketiganya berarti mimpi dan sering digunakan secara bergantian dalam Alquran. Hilm lebih sering digunakan dalam konteks mimpi yang dihubungkan dengan persoalan biologis. Kata hilm secara literal berarti mengisi, bermimpi, mencapai usia dewasa. Kata hilm ini lebih populer di kitab-kitab fikih. Ini karena di sana hilm diartikan sebagai anak laki-laki yang sudah mencapai usia akil balig yang ditandai dengan pengalaman “mimpi basah”, yakni bermimpi dengan sesuatu yang menyebabkan keluarnya sperma. Mimpi seperti ini menjadi kriteria seorang anak laki-laki disebut mukalaf, orang yang sudah memenuhi syarat dan dipandang cakap dan cerdas menjalankan perbuatan hukum. Baik hukum ibadah mahdlah maupun hukum-hukum keperdataan (muamalat), seperti bertransaksi dan menjadi saksi. Bagi anak perempuan, indikasinya ialah menstruasi (haid). Contoh penggunaan kata hilm dalam arti ini, "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum sampai usia balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari, dan sesudah shalat Isya.” “ (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan, Allah Mahamengetahui lagi Mahanijaksana.” (QS an-Nuur [4]: 58). Redaktur: Chairul Akhmad http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/gaya-sufi/13/01/07/mg88vn-jalan-hidup-salikin-1-dunia-mimpi