Wednesday, February 5, 2014

Novel Hensa : Bunga Mutiara (Episode 3)



Foto : Hensa/Koleksi Pribadi

EPISODE 3
NAMANYA MUTIARA

Tugas rutinku hari ini adalah memberikan penyuluhan tentang AIDS di Puskesmas Lokalisasi itu. Mereka para wanita PSK itu harus diberikan penjelasan bagaimana perkembangan penularan virus ini. Data dari Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) mencatat, sebanyak 14 persen dari 4.598 penderita HIV tahun 2012 adalah Ibu Rumah Tangga. Jumlah tersebut melebihi jumlah dari penderita PSK penderita HIV yang hanya 7,4 persen. Namun demikian jika saja yang 7,4 persen ini bisa dicegah penularannya maka dampak ke Ibu rumah tangga mungkin akan turun. Sudah jelas yang menularkannya adalah suami suami mereka yang suka jajan di luar. Penyebaran penyakit HIV/AIDS di Jawa Timur terbesar berasal dari hubungan heteroseksual yang mencapai 70,1 persen dibandingkan dengan Pengguna Napsa Suntik (Penasun) yang penularanya mencapai 21,3 persen. Tidak semua wanita PSK itu hadir dalam acara penyuluhan itu hanya sekitar 20 orang saja. Selesai acara semua peserta meninggalkan ruangan itu kecuali ada dua orang yang mendekat menghampiriku. Ternyata wanita itu adalah Ima dan satunya lagi aku seperti mengenalnya. Seorang wanita berambut panjang tinggi semampai sepertinya aku pernah bertemu dengan dia. Belum selesai rasa terkejutku tiba-tiba wanita yang mengaku bernama Ima itu memperkenalkan temannya.
“Mas kenalkan ini teman saya!”, kata Ima sambil mengenalkan wanita itu kepadaku.
“Mutiara!”, wanita itu menyodorkan tangannya sambil tersenyum. Aku sebenarnya masih terkejut ketika menyambut uluran tangannya. Aku genggam tangannya yang lembut itu.
“Herman!”, kataku menyebut namaku namun aku masih belum percaya seakan akan seperti sedang bermimpi. Aku rasanya seperti menyesali mengapa harus bertemu disini dengan wanita cantik yang sering kulihat di Halte itu.  
“Mas Herman ini yang sering menunggu angkot di Halte depan Rumah Sakit ya?. Juga pernah mau menabrakku di pintu Perpustakaan Kampus”, kata wanita itu sambil tersenyum. Wanita yang sering kujumpai di Halte depan Rumah Sakit dan Peprustakaan Kampus itu bernama Mutiara. Ya Tuhan ternyata dia adalah salah seorang wanita PSK. Aku rasanya tidak percaya wanita seperti Mutiara berada di sini.
“Iya iya mbak !”, kataku agak gugup. Sudah berapa hari ini memang aku tidak ketemu dia di Halte itu. Aku juga tidak tahu saat itu kemana dia namun tiba-tiba malah bertemu dia di sini.
“Beberapa hari ini saya sakit sehingga tidak ketemu Mas Herman di Halte itu!”, kata Mutiara menjelaskan sepertinya dia tahu pertanyaan apa yang ada dalam benakku.
Namanya Mutiara sesuai dengan orangnya cantik, elok dan indah seperti mutiara tapi mengapa dia harus berada di sini. Ketika beberapa hari ini aku tidak lagi menjumpainya di Halte itu aku merasa kehilangan. Aku sungguh tidak mengerti benarkah aku jatuh cinta kepadanya. Jika benar mengapa aku jatuh cinta kepada seorang wanita PSK. Semakin aku berusaha untuk menghindari perasaan ini maka semakin kuat perasaan itu tertanam dalam hatiku.
Pertemuan yang bersejarah itu penuh rasa gembira namun juga rasa pedih. Mengapa aku mengalami pertemuan dengan gadis itu di tempat yang tidak tepat. Aku seakan tidak percaya Mutiara harus ada di tempat yang tidak terpuji itu. Beberapa hari ini perasaanku masih terguncang menghadapi kenyataan bahwa gadis bernama Mutiara itu adalah seorang Pekerja Seks Komersil. Aku sesungguhnya ingin menghindarinya hanya karena ke-nyataan ini namun anehnya semakin berusaha menghindar untuk mengingatnya justru semakin tidak berdaya untuk melupakannya.
Ketidak berdayaanku akhirnya kupasrahkan kepada-Nya ketika hari berikutnya saat aku bertugas di Puskesmas itu kembali aku bertemu Mutiara. Aku sempat berkata kepada Mutiara saat itu agar seusai aku praktek nanti, aku ingin mengobrol sejenak dengannya. Mutiara mengangguk sambil mengiyakan ajakanku. Tugasku Sabtu pagi itu selesai sebelum pukul 9, lebih cepat dari biasanya mungkin karena para PSK yang hadir tidak sebanyak seperti biasanya. Saatnya tiba berbincang dengan Mutiara.
“Terimakasih mbak Tiara mau menunggu!”, kataku memulai pembicaraan.
“Ah Mas Herman jangan panggil aku mbak dong. Aku kan lebih muda dari Mas Herman panggil saja Tia atau Tiara!”, kata Mutiara sambil tersenyum manis. Oh Tuhan senyum itu begitu manis seakan meluluhkan niatku untuk meninggalkan dan melupakannya. Mutiara mengapa harus berada di sini.
“Okey Tiara memang usiamu masih muda seperti ABG ya!”, kataku bercanda. Mutiara tertawa renyah. Tawa yang wajar bukan tawa seorang PSK yang genit. Mutiara tidak pantas untuk menjadi PSK. Aku semakin ingin tahu kenapa Mutiara terjerumus ke dalam dunia hitam ini.
“Boleh aku menanyakan sesuatu Tiara?”.
“Boleh Mas kalau hanya bertanya namun belum tentu aku bisa menjawab pertanyaan Mas Herman!”, kata Mutiara.
“Lho kok nggak bisa jawab?”, kataku heran.
“Iya apalagi kalau pertanyaannya dari dunia kedokter-an !”, kata Mutiara sambil tertawa. Aku juga tertawa lepas.
“Tiara tempo hari aku melihatmu ada di Perpustakaan Kampus!”, kataku.
“Oh iya Mas Herman ada di sana waktu itu. Aku sedang mencari literature untuk bahan bahan skripsiku!”, kata Mutiara.
“Tiara ambil jurusan apa?”, tanyaku.
“Kimia Mas!”, kata Mutiara singkat. Aku kembali terpana menghadapi kenyataan ini. Dia mahasiswi kimia tingkat skripsi. Oh ada apa denganmu Mutiara.
“Sesungguhnya aku masih ingin mengobrol lebih banyak tapi aku harus segera ke Rumah Sakit. Oh ya bolehkah kita saling bertukar nomor HP Tiara?”, kataku. Mutiara mengangguk dan menyebutkan nomor selulernya.
Dialog yang singkat namun sangat berarti bagiku. Setidaknya aku sedikit bisa mengetahui misteri yang menyelimuti diri Mutiara. Seorang wanita cantik, cerdas, mahasiswi Kimia tingkat skripsi di sebuah Perguruan Tinggi namun harus terjerumus kedalam dunia hitam tentu saja ada sebabnya. Suatu hari aku ingin ngobrol lebih lama lagi dengannya.
Sejak pertemuan itu aku seringkali bertemu dengan Mutiara di Perpustakaan Kampus atau di Halte depan Rumah Sakit itu. Aku merasa kagum dengan sikapnya yang tetap tidak merasa canggung walaupun aku sudah tahu siapa sebenarnya Mutiara. Kadang kadang pernah suatu hari Mutiara berkeluh kesah tentang perlakuan para Pelanggannya. Bagi Mutiara rupanya aku ini sudah dirasakannya sebagai orang yang dekat dan tempat yang tepat untuk mencurahkan semua kegalauannya. Mutiara seperti menemukan seseorang yang selama ini ia cari sebagai tempat berlabuh semua isi hatinya. Semakin sering bertemu rasanya semakin akrab dan yang aku takutkan aku jadi semakin mencintainya. Walaupun sebenarnya aku sadar belum tentu Mutiara juga mencintaiku. Aku tidak tahu dengan misteri cinta yang diciptakan Allah. Andai aku tahu tentu saja namanya bukan misteri lagi. Biarlah aku menikmati saja misteri cintaku ini hingga suatu hari Sang Pemilik Cinta membuka tirai misteri itu menjadi fakta yang aku mengerti.
Surabaya yang cerah. Senjanya penuh dengan warna jingga dan Mentaripun tersenyum seperti senyumku ketika aku melihat Mutiara sudah menunggu di Halte depan Rumah Sakit itu.
“Hai Tiara sudah lama di sini?”, tanyaku.
“Hai Mas Herman ya lumayan memang sengaja menunggu Mas Herman!”, kata Mutiara sambil tersenyum.
“Kok mau menungguku?”, tanyaku menggoda.
“Kepingin ngobrol udah lama kan gak ketemu!”, kata Mutiara. Aku hanya tersenyum sambil duduk disampingnya. Halte sore itu tidak begitu ramai. Apalagi beberapa orang sudah mendapatkan Angkot yang ditunggu mereka.
“Mas Herman tadi pagi tidak ke Perpus ya?. Aku seharian di Perpus tapi tidak melihat Mas Herman!”.
“Iya tadi pagi aku ada acara diskusi dengan para Dokter Spesialis kemudian siangnya menemani dokter di Ruang Operasi!”, kataku menjelaskan. Rupanya Mutiara mulai memperhatikanku. Buktinya di Perpustakaan tadi dia mencariku. Bagiku ini adalah rasa bahagia di satu sisi namun juga rasa pedih yang mungkin akan terus berkepan-jangan jika aku ingat siapa Mutiara.
“Mas Herman sebenarnya aku ingin bercerita banyak namun kalau di sini waktunya terbatas karena sebentar lagi aku dijemput teman!”, kata Mutiara.
“Kalau begitu kita bisa janjian saja kapan Tiara bisa cerita. Insya Allah aku akan menjadi Pendengar yang baik!”, kataku.
“Mas Herman janji ya mau menjadi Pendengar yang baik!”, kata Mutiara lagi sambil memandangku. Aku ter senyum memandang wajahnya yang cantik.
 “Baik Mas nanti aku kabari melalui sms !. Ok Mas aku pamit dulu ya!”, suara Mutiara pamit sambil beranjak dari tempat duduknya menuju sebuah mobil merk Eropa warna hitam yang sudah menunggunya.

Selama ini aku tidak pernah memperhatikan siapa Pengemudi mobil itu, namun sekali ini aku sempat melihat Pengemudi yang selama ini menjemput dan membawa Mutiara. Ya aku ingat orang itu yang tempo hari bertemu di Perpustakaan. Namanya Ricki mungkin juga dia seorang mahasiswa teman Mutiara. Ricki berbadan tinggi kekar, tangannya berotot lebih pantas sebagai seorang Bodyguard daripada sebagai seorang mahasiswa. Berkecamuk pikiranku tentang apa yang akan dilakukan Mutiara malam ini.  Tentu saja aku mengerti apa pekerjaan Mutiara. Ricki tadi menjemputnya adalah untuk keperluan pekerjaannya. Ya Tuhan aku selalu menyebut namaMu berilah aku pemahaman tentang cinta yang penuh misteri ini. Mengapa aku harus mencintai Mutiara. Mengapa bukan kebencian yang Kau tanamkan dalam diriku setelah aku tahu siapa sebenarnya Mutiara. Aku sungguh tidak berdaya hanya Engkau yang memberdayakanku untuk selalu diberikan kemampuan agar dapat memahami kehendakMu. 

BERSAMBUNG

Monday, January 20, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA (Episode 2)


Foto : Hensa/Koleksi Pribadi

EPISODE 2
ADA CINTA DI PERPUSTAKAAN

Hari Senin nanti aku kebagian jaga malam di IGD menemani dokter Wim oleh karena itu Minggu pagi ini aku maih sempat pulang ke Pasuruan.  Setiap bulan sekali aku memang menyempatkan pulang ke Pasuruan hanya untuk kangen-kangenan bersama kedua orang tua. Mereka tinggal di sebuah Desa sebelah Selatan Kota Pasuruan. Kebetulan Ayah dan Ibuku adalah pendiri dan pemilik sebuah Pesantren yang berafiliasi pada salah satu ormas Islam dengan jumlah santri dan santriwati yang cukup lumayan. Ya memang benar aku dibesarkan dalam lingkungan Pesantren.  Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku adalah perempuan dan mereka sudah menikah. Kakak perempuanku yang pertama ikut suaminya tinggal di Jakarta sedangkan yang kedua tinggal di Kota Malang. Selama aku menempuh pendidikan sampai dengan Perguruan Tinggi ini, kedua kakakku ini yang urunan membiayai semua keperluan kuliahku. Kakakku yang di Jakarta, mereka berdua sama-sama bekerja sebagai PNS di sebuah Departemen Keuangan. Dulunya mereka adalah alumni Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi sedangkan yang di Malang, suaminya adalah Apoteker. Berbahagialah aku sebagai anak bungsu selalu mendapat dana dari kedua kakakku belum dari orang tua yang tetap juga masih memberiku uang saku rutin. Sekarang tinggal tanggung jawabku untuk segera menyelesaikan studiku tepat waktu.
Malam itu selesai makan saat kami berkumpul, Ibuku biasanya selalu menanyakan tentang sekolahku dan jodohku.
“Herman kapan kamu selesaikan sekolahmu?. Cepet rampungke nak, mari iku kon rabi !”, suara Ibu selalu mengingatkanku setiap aku pulang ke rumah. Itu bahasa Jawa Timur yang artinya ‘Cepat selesaikan sekolahmu nak, setelah itu lalu nikah’.
“Iya Bu tapi untuk nikah calonnya saja belum ada!”, kataku santai.
“Apakah Ibu carikan?. Di Pesantren ini banyak Santriwati yang cantik mungkin jodoh denganmu nak!”, kata Ibu. Aku hanya tertawa mendengar tawaran Ibu.
“Jangan Bu biar aku sendiri yang cari!”, kataku.
“Misalnya Annisa. Dia gadis yang sholehah. Kamu kan sudah kenal Annisa?”, kata Ibu.
“Iya Bu. Apakah sekarang dia masih di sini?”, kataku penasaran.
“Sudah lulus dan kembali pulang ke Malang!. Kabarnya Annisa kuliah di Malang!” kata Ibuku.
Ya aku ingat Annisa, Saat aku masih SMA, dia menjadi santriwati di sini. Ayahnya adalah teman sejawat Ayahku sehingga Annisa sangat dekat sekali dengan keluargaku. Selama ini aku hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Sudah berapa tahun ini aku tidak bertemu Annisa.
“Ya terserah kamu hanya pesan Ibu carilah calon istri yang sholehah. Cantik lahir batin dan khusyu dalam beribadah!”, kembali suara Ibuku memecah lamunanku.
“Insya Allah Bu doakan saja selalu!”, kataku berharap doa dari Ibu dan harapan Ibu bisa terwujud.
  Begitulah setiap aku pulang kampung selalu saja aku menerima petuah dari Ibuku. Jodoh dan rezeki adalah rahasia Allah. Tugasku adalah memecahkan rahasia itu. Namun jika aku diam saja maka rahasia itu akan tetap menjadi rahasia.
Seusai sholat Subuh dan membaca Al-Quran di Mesjid Pesantren itu, aku berjalan menuju pesawahan. Aku menghirup udara segar pedesaan, nyanyi riang burung-burung di dahan pohon dan sapa ramah para petani yang mulai bekerja mengolah sawah mereka. Suasana yang benar-benar membuat hati ini tentram dan damai. Matahari Senin pagi ini sudah mulai tersenyum di ufuk Timur dan anak sekolah kelihatan gembira bergegas menuju tempat mereka belajar. Melihat mereka, aku jadi teringat saat saat sekolah dasar dulu. Setiap hari berjalan melalui pematang sawah ini agar jarak menuju sekolah menjadi dekat. Saat saat seperti ini yang membuat aku sangat betah tinggal di Desa ini sehingga selalu ada rasa berat setiap aku harus kembali lagi ke Surabaya. Jika saja aku lupa dengan studiku yang harus segera aku tuntaskan mungkin aku akan betah berlama-lama tinggal di rumah.
Siang itu aku sudah kembali ke Surabaya karena sore hari nanti harus bertugas di IGD. Setiap hari Senin memang sudah biasa Bus yang menuju Surabaya terlihat penuh sehingga aku harus berdiri. Para penumpang itu banyak yang bekerja di Surabaya atau kota disekitarnya seperti Bangil, Pandaan, Gempol dan Sidoarjo. Setiba di Surabaya aku langsung menuju Perpustakaan Kampus. Suasana Perpustakaan sepi pengunjung karena memang ini jam kuliah hanya ada beberapa mahasiswa saja yang duduk membaca. Ketika aku sedang memilih buku di rak tiba-tiba aku melihat gadis itu sedang mencari buku di rak rak buku Kimia. Aku hafal betul posturnya dan rambut panjangnya yang sebahu itu. Tidak salah dia adalah gadis yang sering aku temui di Halte depan Rumah Sakit itu. Hatiku berdetak lebih cepat. Ada rasa bahagia setiap aku bertemu dengannya walaupun belum sempat menyapa apalagi berkenalan. Oh Tuhan apakah aku sedang jatuh cinta. Aku jadi teringat saat dulu aku sedang menyukai Bunga. Perasaan seperti ini yang aku rasakan saat itu. Ya mungkin aku sedang jatuh cinta. Aku lihat gadis itu sudah mendapatkan buku yang dicarinya. Dia duduk menghadap ke mejaku sehingga aku bisa dengan leluasa memandang wajahnya. Jaraknya hanya beberapa meja dari mejaku. Ya Allah wajahnya begitu teduh, damai, tenang. Sepasang mata yang indah, hidung bangir dan bibir yang selalu ramah walaupun sedang tidak tersenyum. Selama aku kuliah di sini belum pernah rasanya aku bertemu dengan gadis secantik ini. Selama ini hanya ada Bunga di hatiku dan gadis itu sudah mampu membuatku terpana. Aku membaca buku namun sekali kali mencuri pandang ke arah gadis itu.  Hanya beberapa saat aku bisa menikmati wajah cantiknya tiba-tiba saja aku melihat dia dihampiri seseorang mungkin mahasiswa teman kuliahnya.
“Hai Ricki jadi kita pergi!”, suara gadis itu menyapa teman yang menghampirinya. Sungguh merdu sekali suaranya.
“Tentu saja Tia! Kau masih sedang membaca?”.
“Iya tapi tidak apa apa besok aku masih bisa ke Perpus lagi!”, kata gadis itu.
Kemudian kelihatan mereka beranjak dari tempat duduk lalu meninggalkan Perpustakaan. Ketika lewat di depan mejaku aku hanya pura-pura sedang membaca. Namanya Tia ya nama gadis itu panggilannya Tia. Aku hanya bisa memandang punggung mereka.
“Herman! kamu itu baca buku atau melamun ?” ada suara menyapaku. Aku baru tersadar dari lamunanku saat Arga menegurku.
“He he he ya membaca dong bro!”, kataku sambil tertawa. Arga lalu duduk di hadapanku.
“Her aku melihat gadis yang ketemu di Halte itu barusan saja keluar dari Perpus ini. Pasti kamu juga tahu!”, kata Arga.
“Iya aku tahu tadi dia lewat di depanku!”.
“Lho kamu tidak menegurnya lalu berkenalan!”.
“Tidak tapi aku tahu dia mahasiswi Kimia!”.
“Kok bisa tahu kalau dia anak kimia?”.
“Ya tahu dong bacaan bukunya di rak rak kimia sana?”, kataku menjelaskan.
“Belum tentu Her bisa saja dia anak Kedokteran!”, kata Arga. Benar juga Si Arga ini jangan jangan dia anak Kedokteran. Jika benar berarti dia adik kelas. Ah siapapun dia yang jelas aku mulai menyukai gadis itu.
“Gadis itu kecantikannya memang luar biasa beda dengan cewek cewek cantik di Kampus ini. Gadis itu memiliki kecantikan yang khas!”, suara Arga bergumam.
“Wah rupanya kamu naksir dia Ga, lalu Sinta mau dilupakan?”, kataku sambil nyengir.
“Tidak dong aku ini kategori lelaki setia!”, kata Arga sambil tertawa.
“Seharusnya kamu yang dekatin dia. Saatnya Herman melepas status jomblonya ?”, kata Arga lagi. Mendengar ini aku tertawa dan hatiku seperti berbunga.
Malam ini aku bertugas jaga IGD dan Alhamdulillah semua tugas bisa ditunaikan dengan baik sampai paginya. Untuk mempersiapkan laporan sengaja aku mengerjakan-nya di Perpustakaan sekaligus bisa mencari referensi untuk mendukung isi laporan. Maka siang itu dari Rumah Sakit  aku langsung menuju Perpustakaan. Di pintu masuk itu aku hampir bertabrakan dengan seorang gadis. Entah mengapa hal itu bisa terjadi, mungkin aku masih mengantuk karena baru saja jaga malam di IGD. Aku terkejut dan minta maaf kepada gadis itu. Aku lebih terkejut lagi ternyata gadis itu adalah “Tia” yang sering berjumpa di Halte itu.
Ketika gadis itu tersenyum sambil berkata kepadaku :
“Tidak apa apa Mas!”, katanya pelan suaranya merdu. Aku hanya terpana terdiam tak sepatah katapun keluar dari mulutku sampai tersadar kalau gadis itu sudah memunggungiku pergi dari hadapanku. Tadinya aku akan berlari menyusulnya hanya sekedar ingin berkenalan tapi aku urungkan karena dia sudah ditunggu temannya tempo hari yang bernama Ricki itu. Aku masih tidak percaya dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Ya aku tadi sudah berdialog dengannya dan aku sudah mendapatkan senyumnya. Senyum yang manis. Selama aku membuat laporan di Perpustakaan itu pikiranku tertuju hanya kepada gadis itu. Ah benar benar tidak bisa focus. Akhirnya aku menutup laptopku dan memutuskan untuk kembali saja ke tempat kostku. Aku akan membuat laporan di tempat kostku saja.

Aku meninggalkan Perpustakaan itu dengan hati yang tidak menentu karena teringat gadis bernama panggilan ‘Tia’ itu. Suatu hari aku harus memiliki kesempatan berkenalan dengannya. Perpustakaan ini ternyata penuh dengan cinta. Mengapa aku baru tahu sekarang?. 

BERSAMBUNG