Monday, February 17, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 5



EPISODE 5
PRAHARA MUTIARA

Saat makan siang di Kantin Rumah Sakit itu, aku menerima sms dari Mutiara yang isinya ingin bertemu denganku. Setelah aku melihat jadwal tugasku maka akhirnya aku sepakat bertemu Mutiara di Rumah Kostnya. Mutiara mengirim sebuah alamat melalui sms agar malam  ini aku bisa ke sana. Aku baru sadar ternyata alamat yang dia kirim bukan tempat Lokalisasi itu. Mutiara tinggal di sebuah Paviliun kawasan jalan Bali. Alamat itu dari tempat kostku di jalan Pucang Anom tidak terlalu jauh. Malam itu sehabis sholat Magrib aku meluncur menuju ke sana dengan menggunakan sepeda motor teman kostku. Hanya setengah jam akhirnya aku sampai di alamat yang dimaksud. Sebuah Rumah besar dan sebuah Paviliun di sebelahnya dengan pintu pagar terpisah dari Rumah induknya. Pintu pagarnya tidak terkunci maka akupun memarkir sepeda motor itu di halaman dalam. Aku tekan tombol bel di samping pintu itu. Aku mendengar suara seseorang berjalan menuju pintu. Ketika pintu terbuka, aku melihat Mutiara berdiri disitu dengan senyum manisnya. Sejenak aku terpana memandang wanita cantik ini. Walaupun berpakaian seadanya namun tidak mengurangi  aura kecantikannya. Sekali lagi aku tetap tidak percaya bahwa Mutiara adalah seorang wanita PSK ya Tuhan.
“Mari Mas Herman silahkan duduk. Mau minum panas atau dingin?”, kata Mutiara menawarkan minuman.
“Minum panas saja! Terima kasih Tia!”, kataku. Surabya memang masih hujan di akhir bulan ini dan udaranya lumayan sejuk tidak panas seperti biasanya. Paviliun ini sebuah Rumah kecil ada Ruang tamu merangkap ruang makan, dapur, Kamar tidur. Paviliun ini mungil namun terkesan mewah juga. Karena perabotan yang ada kelihatannya kelas satu. Tentu saja ini menggambarkan penghuni rumah tersebut adalah kelas satu. Tidak berapa lama Mutiara sudah kembali menemuiku di ruang tamu itu dengan secangkir teh panas.
“Mas silahkan !”, kata Mutiara sambil menyodorkan secangkir teh manis.
“Mas Herman terima kasih sudah mau datang. Tadi tidak nyasar nyari alamat ini!”, tanya Mutiara.
“Tidak Tia. Aku sudah hafal kawasan disekitar sini!. Karena dulu aku kan sopir Angkot yang rutenya lewat jalan Bali ini”, kataku sambil ketawa. Mutiara juga tertawa.
Cara dia tertawa sangat ramah dengan binar matanya yang indah. Mutiara memang sangat cantik. Kecantikan yang dia miliki bukan kecantikan biasa pada umumnya. Dibalik paras yang cantik ini seperti tersimpan sejuta misteri sehingga saat dia tersenyumpun kadang aku melihat ada garis duka yang dalam dibalik senyum itu. Aku baru tersadar dari lamunanku ketika Mutiara menegurku.
“Hei Mas Herman kenapa jadi melamun!”, kata Mutiara.
“Oh iya maaf Tia. Aku bukan, bukan sedang melamun tapi merenung!”, kataku sambil.
“Apa yang kau renungkan Mas!”.
“Aku berfikir bahwa Tuhan selalu ada dan hadir dalam seluruh masalah yang kita hadapi!”, kataku.
“Ya Mas. Aku juga yakin Tuhan selalu hadir dalam semua kejadian yang kita alami. Misalnya aku ditakdirkanNya bisa berkenalan dengan mas Herman!”.
“Betul Tia. Aku pertama kali melihatmu di Halte depan Rumah Sakit itu!”.
“Aku juga Mas. Saat itu aku mempunyai firasat bahwa aku akan bertemu dengan seorang Pria yang baik, ramah, sopan dan hormat kepada wanita!”, kata Mutiara dan kulihat raut wajahnya mulai mendung, matanya berkaca-kaca.
“Mas Herman. Selama ini aku selalu menilai bahwa laki-laki itu adalah mahluk keji, tidak beradab, budak nafsu dan penjajah yang sempurna bagi wanita!”, kata Mutiara lagi. Aku biarkan saja dia mengeluarkan semua isi hatinya. Maka akupun menjadi Pendengar yang baik untuk semua curahan hati Mutiara. Duka nestapanya baik pada masa lalu maupun yang saat ini sedang dia rasakan tumpah ruah. Akupun memungutnya dengan utuh satu demi satu. Biar semua kepedihan hatinya segera saja aku buang ke tempat yang tidak pernah memungkinkan dia temukan lagi.
“Mas Herman sebenarnya aku tidak mau lagi bercerita tentang peristiwa malam jahamam itu. Mengingatnya saja aku tidak kuasa apalagi menceritakannya. Namun aku harus bicara untuk Mas Herman!”, kata Mutiara mulai terisak.
Malam itu bagi Mutiara adalah malam yang mengeri-kan penuh dengan lumpur dosa maka wajar jika dia menyebutnya dengan malam jahanam. Sebelum masa kelam itu, masa remaja Mutiara di Kota Manado itu demikian indah dan manis. Keluarga yang bahagia dan harmonis. Prestasi belajarnya sangat luar biasa sehingga Mutiara merasa bangga akhirnya bisa diterima kuliah di sebuah Perguruan Tinggi terkenal di Surabaya seperti yang dicita-citakannya selama ini. Namun sejak Ayahnya meninggal saat itu dia sudah kuliah di Surabaya, kebahagiaannya seakan telah terengut. Beban hidup keluarga harus dipikul oleh Ibunya. Walaupun Ibunya tetap bekerja sebagai wanita karir namun tetap saja beban yang dipikul terlalu berat. Mutiara bisa memahami jika Ibunya harus menikah lagi maka diapun memberikan restu. Bagi Mutiara pernikahan Ibunya penuh dengan harapan perbaikan ekonomi untuk keluarganya sehingga kuliahnya di Surabaya juga berjalan dengan lancar.  Mutiara teringat saat pertama kali bertemu dengan lelaki calon ayah tirinya. Kesan pertama yang terlintas bahwa dia seorang lelaki yang ganteng berbadan tegap dan kelihatan bertanggung jawab. Sangat pantas untuk Ibunya yang hingga kini masih tetap cantik. Hanya ada sedikit ganjalan bagi Mutiara, mata calon ayah tirinya itu jika memandang Mutiara seperti sedang menelanjangi dirinya. Mungkin wajar siapapun lelaki akan terpana jika berjumpa dengan Mutiara, seorang gadis yang molek, rupawan, berkulit putih dengan rambut terurai dan ramah. Namun jika hal ini dilakukan oleh calon ayah tirinya maka Mutiara tentu saja akan merasa risih. Sikap itu sangat tidak wajar. Hampir saja Mutiara ingin mengutarakan hal ini kepada Ibunya namun dia urungkan.  Mutiara hanya berfikir bahwa itu mungkin hanya perasaannya saja. Ternyata sampai saat ini firasat seorang wanita jangan diremehkan. Suatu hari Ibunya sedang mendapat tugas dari perusahaannya ke luar Kota. Saat itu Mutiara sedang berlibur semester di Manado. Mutiara sudah merasakan firasat tidak baik saat makan malam bersama Ayah tiri dan ketiga adik laki-lakinya. Ayah tirinya suka mencuri curi pandang dengan pandangan yang aneh tapi sekali lagi Mutiara mencoba berfikir bahwa itu hanya perasaannya saja. Di kamar tidur itu Mutiara terlelap hingga saat dini hari yang sepi itu dia baru tersadar ketika merasakan adanya dekapan kuat bak birahi kuda jantan liar dan buas yang membuat Mutiara tak berdaya. Mutiara berusaha meronta namun sia sia. Beberapa saat kemudian Mutiarapun terkulai lemah. Kini Mutiara ibarat sekuntum bunga yang layu, lusuh penuh dengan debu. Sebuah noda dosa berwarna merahpun menetes basah diatas sprey putih itu. Hanya tangisan pilu Mutiara penuh dengan perih dan sedih. Peristiwa malam jahanam itupun harus terjadi. Bagi Mutiara Ayah tirinya adalah seorang biadab lebih buas dari binatang buas manapun.
“Sejak itu aku sudah tidak pernah lagi berhubungan dengan keluargaku di Manado!. Aku sampai saat ini masih menaruh rasa dendam terhadap lelaki!”, kata Mutiara ditengah-tengah isak tangisnya. Aku masih terdiam mendengar cerita memilukan ini.
Menghilangkan trauma akibat perkosaan membutuh-kan waktu yang lama. Aku kagum kepada Mutiara yang begitu tegar bercerita kembali peristiwa traumatis itu. Dia begitu lancarnya bercerita peristiwa pedih itu dan aku adalah orang yang dia percaya untuk mendengarkan isi hatinya.
  Sebagian besar wanita yang mengalami perkosaan tak pernah bisa melupakan peristiwa pedih tersebut seumur hidupnya. Apalagi bagi Mutiara, yang merengut dengan paksa mahkota gadisnya adalah Si Biadab Ayah tirinya. Sungguh memilukan. Tentu saja efek dari tindakan biadab itu telah merasuk ke seluruh sendi kehidupannya. Bisa jadi Mutiara memilih untuk tidak menikah selama lamanya. Akibatnya trauma itu Mutiara menganggap bahwa setiap pria adalah sama, jahat, kejam dan tak bisa lagi dipercaya.
“Mas Herman, aku ini wanita yang sudah berlumur dengan dosa. Sangat terhina. Apakah Tuhan mau memaafkanku jika aku kembali ke jalanNya!”, tanya Mutiara seolah bertanya kepada dirinya sendiri.
“Tia, tentu saja Tuhan itu Maha Pemaaf tinggal kita melakukan taubat dan kembali kepadaNya!”, kataku.
“Apa yang kulakukan selama ini hanya sekedar untuk bertahan hidup namun ternyata jalan ini adalah jalan sesat!. Aku telah salah melangkah”, kata Mutiara lagi.
“Tia yang penting kamu sudah mau menyadari karena masalah dalam hidup itu bukan untuk dibiarkan, tetapi harus dihadapi dengan segala resiko yang harus dijalani!”, kataku.
“Mas Herman jujur saja saat aku mengikuti penyuluh-an di Puskesmas itu ada rasa damai mendengar tutur kata yang keluar dari seorang lelaki yang baik penuh ketulusan!”, kata Mutiara. Aku terharu mendengar penuturan jujurnya tentang diriku.
Kehidupan selalu menawarkan harapan bagi siapa saja yang terus bersungguh sungguh dalam berupaya. Buanglah semua fikiran dan pandangan yang melemahkan. Ambillah hal hal yang secara  nyata akan membawa keluar dari masalah rumit yang tidak bisa selesai dalam hitungan detik. Yakinlah bahwa Allah sebaik baik Penolong.
Sejak pertemuan malam itu aku semakin simpati dengan nasib Mutiara. Aku semakin bertekad untuk memberikan semangat kepadanya apalagi Mutiara sudah bertekad ingin kembali ke jalan yang penuh kedamaian.
Tugas rutinku di Puskesmas Lokalisasi siang itu aku jalani dengan lancar. Selama melakukan penyuluhan mataku memandang ke setiap penjuru Ruangan namun tak kutemukan Mutiara. Dimanakah dia?. Saat  aku membuka HP untuk mengirim sms kepada Mutiara tiba-tiba terdengar seseorang menyapaku.
“Mas dokter Herman!”, suara Ima, salah seorang penghuni Lokalisasi yang juga teman baiknya Mutiara.
“Oh ya Mbak Ima!. Ada apa?”.
“Ada salam dari Tia. Tidak bisa hadir hari ini!”.
“Ya terima kasih mbak Ima. Memangnya kenapa Tia tidak datang!”.
“Tia sebenarnya sudah keluar dari sini. Memang selama ini dia tidak tinggal di sini. Namun Bos disini suka memberi kerjaan untuk tarif yang tinggi!”, kata Ima.
“Maksudnya keluar tuh bagaimana mbak?”.
“Iya Tia sudah berhenti bekerja di sini namun saya tidak tahu apakah dia masih bekerja untuk Ricki!”, kembali Ima menjelaskan.
Aku baru tahu Mutiara ternyata punya dua orang Germo. Salah satunya adalah Ricki. Aku sudah menyangka Ricki bukan mahasiswa yang selama ini aku kira. Aku harus berhati-hati dengannya karena mungkin saja dia akan selalu menghalangi Mutiara untuk berhenti bekerja. Mutiara adalah tambang emasnya yang harus dipertahankan mati-matian. Tantangan berat di depan telah menghadangku. Bagai-manapun kini rasanya lega hatiku. Mutiara sudah mendapatkan lagi petunjukNya.

BERSAMBUNG 



Saturday, February 8, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA (Episode 4)


Foto : Hensa/Koleksi Pribadi

EPISODE 4
BUNGA DI TAMAN HATIKU

Seakan tidak percaya ketika aku menerima kabar dari Ibu bahwa kemarin ada Bunga bersilaturahmi ke Rumah di Desaku.
“Kalau kamu sempatkan pulang ke Pasuruan, temui Bunga sebelum kembali ke Jakarta!”, suara Ibu melalui hand phone di ujung sana.
“Iya Bu besok ini aku pulang ke Pasuruan seusai jaga malam di IGD!”, kataku.
Bunga Putri Pertiwi demikian nama lengkap gadis manis ini. Hanya tiga tahun aku mengenal Bunga saat sama sama bersekolah di SMP. Ketika SMA Bunga harus pindah ke Jakarta karena Ayahnya mendapat promosi tugas di sana. Rupanya karir Ayahnya yang alumnus Akabri ini semakin berprestasi sehingga saat itu mendapat tugas sebagai atase militer di sebuah Negara Eropa. Tidak terasa sejak sama sama SMP itu sudah sepuluh tahun aku tidak bertemu Bunga.
Aku benar-benar sudah sangat rindu bertemu Bunga sehingga Bus yang membawaku pulang ke Pasuruan terasa  merayap begitu lambat di jalan Tol Surabaya – Gempol itu. Walaupun akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Selama di Pasuruan, Bunga tinggal di kediaman Tantenya maka saat itu akupun meluncur menuju ke sana, sebuah Perumahan Elit-Pondok Sejati di Jalan Sudirman. Rumah bertingkat dua ini begitu asri dengan halaman hijau berpagar tinggi. Ketika seorang Pembantu membukakan pintu aku mnegutarakan maksudku mau bertemu Bunga. Di kursi teras rumah itu aku menunggu Bunga dengan hati tidak menentu. Terakhir aku jumpa Bunga semasa SMP dulu. Saat itu aku sering belajar bersama di Rumah Dinas Ayahnya di jalan Pahlawan. Waktu SMP saja Bunga sudah cantik apalagi sekarang. Terdengar suara langkah kaki ringan menghampiriku lalu sapa merdu memanggil namaku. Aku berdiri dan menatap Bunga di depanku. Ya Allah inikah Bunga gadis manis saat SMP dulu. Aku memang terpana memandang gadis anggun di depanku ini. Dengan perawakannya yang proporsional, Bunga sebenarnya sangat cocok menjadi Model atau Peragawati ditambah lagi dia memiliki wajah cantik dengan senyumnya yang khas.
“Hei Herman jangan bengong begitu?”, kata Bunga sambil tertawa. Aku tersadar dari rasa terpesonaku. Lalu akupun ikut tertawa.
“Bunga!. Kamu tambah cantik!”, kataku memuji tulus.
“Berarti dulu aku cantiknya hanya sedikit ya!”, kata Bunga sambil tersenyum manis.
“Oh dulu Bunga sudah cantik sekarang tambah cantik!”, kataku sambil tertawa. Maka di ruang tamu itu penuh dengan canda dan tawa.
“Berapa tahun ya kita tidak ketemu?”, kata Bunga seolah bertanya kepada dirinya sendiri.
“Berapa tahun ya? Hitung saja saat itu kita masih SMP jadi ya kira-kira sepuluh tahun!”, kataku.
“Rasanya seperti mimpi bisa bertemu seperti ini. Aku melihat kamu tidak banyak berubah masih tetap cool dan dewasa Herman!”, kata Bunga memujiku. Mendengar pujian ini wooww rasanya aku seperti terbang ke Langit.
Cool, calm and confident itu seperti sebuah iklan Bunga!”, kataku sambil tertawa. Bunga juga ikut tertawa.
“Bagaimana studi Kedokteranmu Herman?”, tanya Bunga.
“Alhamdulillah lancar. Lho kok tahu kalau aku kuliah di Kedokteran?”,kataku.
“Tahu dari Ibu sewaktu aku kemarin berkunjung ke rumahmu!”, kata Bunga.
“Lalu kuliahmu bagaimana Bunga?”.
“Alhamdulillah aku sedang menempuh Pascasarjana di Belanda namun karena sekarang Ayah sudah kembali bertugas di  Indonesia maka aku akan melanjutkan di sini saja !”,kata Bunga.
“Wah berita yang menggembirakan, tapi kenapa kamu tidak kuliah di Belanda saja?. Di sana kualitas pendidikannya lebih baik”.
“Selain Ayah dan Ibu tidak mengizinkan aku sendiri yang ingin melanjutkan kuliah di Surabaya!”, kata Bunga.
“Kapan kamu mulai kuliah lagi ?”, tanyaku.
“Bulan depan ini aku sudah masuk!. Besok aku harus menyelesaikan urusan administrasi di Kampus Baruku”, kata Bunga menjelaskan rencana kuliahnya.
“Baiklah Bunga. Semoga semuanya lancar, lalu di Surabaya rencana tinggal di mana?”, tanyaku.
“Mungkin di rumah Tanteku yang di Kertajaya Indah biar dekat juga ke Kampus!”, kata Bunga. Tante yang dimaksud oleh Bunga itu adalah adik kandung ayahnya.
Bunga lebih memilih kuliah Pascasarjana di Surabaya daripada di Belanda. Ayahnya asli Surabaya sehingga banyak kerabat di Surabaya walaupun Ayahnya tinggal di Jakarta. Selain itu juga, Ibunya yang asli Pasuruan akan membuat Bunga merasa betah dan nyaman menempuh studi di Surabaya. Apakah ada alasan lainnya?. Misalnya karena ingin dekat denganku?. He he he he aku mulai “Lebaay”, tapi yang jelas aku begitu gembira mendengar berita ini. Setiap saat aku bisa bertemu dengan Bunga andai dia kuliah di Surabaya. Nanti dulu, aku harusnya tahu diri jangan-jangan Bunga sekarang sudah punya calon suami. Gadis secantik Bunga tentu banyak pria yang ingin menjadikannya teman hidup. Ya jangan jangan Bunga sudah punya calon suami. Aku harus tahu diri. Janganlah berharap terlalu tinggi agar jika nanti jatuh tidak terlalu sakit.
Sebuah reuni kecilpun akan selalu dilalui dengan bernostalgia misalnya mengunjungi tempat tempat kuliner yang dulu pernah dikunjungi. Setelah puas keliling Kota Pasuruan, siang itu kami menikmati hidangan rujak cingur di Jalan Dipenogoro. Rujak cingur merupakan salah satu makanan khas Jawa Timur. Saat SMP dulu kerap kali aku dan Bunga makan rujak cingur di Jalan Dipenogoro ini. Tempatnya tidak terlalu besar hanya sebuah Kantin namun pengunjungnya selalu penuh. Seperti siang itu kami kebagian tempat duduk di pojok sendiri. Sambil menunggu pesanan hidangan disajikan, Bunga kelihatan menikmati suasana Kantin ini yang sudah lama tidak dikunjungi.
“Kita biasanya duduk di sana dekat pintu !”, kata Bunga sambil menunjuk bangku di ujung sana.
“Biasanya Bunga pesan rujak dengan tiga cabe rawit merah biar pueddeeeesssss banget!”, kataku. Bunga tersenyum. Aku melihat dia sangat senang sekali bisa mengunjungi tempat kuliner ini. Sebenarnya ada lagi Tempat Kuliner Rawon di Jalan Kartini namun Bunga memilih Kantin ini untuk nostalgia pertamanya.
 “Herman makanan khas seperti ini yang sering aku rindukan selama aku di Belanda!”, kata Bunga.
“Tentu saja Bunga di sana sulit menemukan rujak cingur, rawon, soto, gado-gado!”, kataku.
“Sebenarnya keluarga Indonesia kadang-kadang memasak makanan khas Indonesia misalnya ketika Ulang Tahun Kemerdekaan di KBRI. Kita bisa memilih kuliner  Indonesia yang kita sukai!”.
“Bagaimanapun kemanapun dimanapun apapun orang Indonesia akan selalu kangen dan rindu pada Tanah Airnya!”, kataku berfilosofi.
“Bahkan selain itu aku sangat rindu sama teman-teman yang dulu pernah dekat!”, kata Bunga sambil tersenyum.
“Aduh termasuk aku dong!”, kataku. Bunga tertawa mendengar reaksiku.
“Tapi Herman, lucunya kita selama ini tidak pernah berkomunikasi!”, kata Bunga.
“Iya aneh juga mungkin cukup komunikasi dalam hati masing-masing!”, kataku sekenanya.   
 “Buktinya aku bisa ketemu lagi dengan Bunga setelah sepuluh tahun tidak ada kabar berita!”, kataku lagi.
“Herman kamu bisa aja…!”, kata Bunga.
Aneh aku sekarang bisa begitu terbuka mengutarakan isi hati ini padahal saat SMP dulu begitu kikuknya alias grogi jika harus bertatap cakap dengan Bunga.
“Ya Herman setelah sepuluh tahun itu aku banyak melihat perubahan pada dirimu.Sekarang kamu sudah tidak jadi cowok pemalu lagi seperti dulu!”, kata Bunga. Mendengar ini aku tertawa rupanya Bunga bisa mendengar apa yang kurasakan dalam hati ini.
“Aku juga banyak melihat perubahan pada diri Bunga sekarang nampak lebih dewasa dan sudah siap mengarungi mahligai rumah tangga. Ngomong-ngomong kamu sudah punya calon?”.
Wow entah mengapa tiba-tiba saja keluar dari bibirku pertanyaan seperti itu. Aku lihat Bunga tidak terkejut mendapat pertanyaan seperti itu bahkan dia hanya tersenyum manis.
“Rahasia dong. Suatu hari nanti aku beritahu!”, kata Bunga masih dengan senyum terukir di bibirnya.
 “Nah sekarang tentu Hermansyah Al-Buchari pasti sudah punya calon pendamping dong!”, tanya Bunga.
“Belum!”, jawabku spontan justru malah aku yang terkejut mendapat pertanyaan Bunga yang tak terduga. Bunga tertawa melihat aku seperti orang yang kaget dan gugup karena pertanyaan tak terduga itu. Akhirnya kami tertawa sehingga ruangan Kantin Rujak Cingur itu penuh dengan keceriaan. Menikmati kuliner sambil bernostalgia dengan Bunga memiliki arti tersendiri bagiku.
Hari itu merupakan hari yang sangat berarti bagiku seakan harapan hampaku yang dulu, kini seperti bersemi kembali. Benarkah begitu. Benarkah kehadiran Bunga adalah harapan lamaku bersemi kembali. Selama ini masa mudaku tidak pernah diisi oleh gadis manapun. Aku hanya focus belajar belajar dan belajar mengejar cita-citaku menjadi seorang dokter. Dalam hatiku selama itu pula hanya ada Bunga yang sejak SMP selalu tersimpan rapi dalam hati yang terdalam. Lalu benarkah begitu?. Benarkah Bunga akan mengisi taman hatiku?. Bagaimana dengan Mutiara yang saat ini tiba-tiba saja kembali hadir dalam bayang anganku?.

 BERSAMBUNG