Saturday, May 24, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 14

Foto : Anggrek14/hensa

EPISODE 14
 TATAPLAH KE DEPAN
  
Suasana makan siang itu sangat berbeda dengan suasana makan siang sebelumnya. Mutiara telah menjadi pembedanya. Ibu kelihatan gembira hanya Bapak saja yang tetap tenang bak air danau yang dalam namun airnya cukup bening sehingga dasar danau itu masih bisa dilihat dari tepiannya. Aku mencoba menebak isi hati Bapak. Aku yakin beliau merestui hubungan kami seperti halnya Ibu, namun ada satu hal yang selalu Bapak tekankan kepadaku bahwa aku akan memiliki tugas yang berat bagaimana aku harus bisa membawa Mutiara menuju pintu RidhoNya. Walaupun itu tidak mudah namun tak mengapa biarlah paling tidak diawal perjalanan ini aku sudah memulai dengan sesuatu yang baik.
Selesai makan siang, kami mengobrol di Ruang keluarga. Ibu begitu riang menyambut Mutiara seolah-olah sudah seperti menantunya saja. Bapak juga sesekali ikut nimbrung bercanda dengan mereka. Sementara aku sendiri lebih banyak diam dan hanya tersenyum diantara dialog-dialog mereka yang lucu. Ramah tamah itu ternyata harus di akhiri dulu karena aku dan Mutiara harus segera kembali ke Surabaya. Kami berpamitan kepada Bapak dan Ibu untuk kembali ke Surabaya.
“Hati-hati Herman, jangan ngebut!”, pesan Bapak.
“Tia hati-hati di jalan ya!”, kata Ibu dan Mutiara mengangguk sambil tersenyum. Pertemuan yang singkat memang, namun penuh dengan arti, penuh dengan harapan. Sepanjang perjalanan Pasuruan – Surabaya aku melihat betapa Mutiara merasakan kebahagiaan. Wajahnya berseri penuh keceriaan. Aku merasakannya seolah Mutiara kini sudah menemukan kembali kebahagiaannya yang dulu pernah hilang. Kini saat Mutiara tersenyum maka senyum itu terasa lebih menampakkan aura wajahnya jauh lebih cantik. Wajahnya yang teduh tidak lagi dirundung mendung. Alhamdulillah ya Allah, aku selalu bersyukur kepadaMu.
Kami tiba di Surabaya belum begitu sore. Setelah mengantar Mutiara ke Jalan Bali itu aku langsung menuju tempat kost dan masih sempat sholat Ashar. Hari yang melelahkan namun melegakan. Sore itu aku benar-benar bersantai di Kamarku sambil membuka netbook menelusuri dunia maya. Facebook, Twitter, berita terbaru media online, semua kujelajahi. Ada secangkir kopi panas dan makanan kecil dalam kemasan yang selalu setia menemaniku. Di atas meja itupun sebenarnya sudah menumpuk kertas-kertas yang berisi bahan untuk laporan kerja selama Jaga Malam tempo hari, namun belum aku sentuh sama sekali. Biarlah hari ini untuk sementara aku ingin terbebas dari rutinitas dan menikmati kebahagiaan. Apalagi nanti adalah malam Minggu yang rencananya aku akan pergi bersama Mutiara.
Selesai sholat Magrib itu aku sudah meluncur menuju kediaman Mutiara. Aku pijit bel di samping pintu ruang tamu itu. Tidak lama kemudian Mutiara sudah berdiri membukakan pintu ruang tamu itu. Aku memandang Mutiara tidak berkedip, hatiku berkata Maha Besar Allah Maha Pencipta mahluk cantik ini. Aku memang terpukau melihat kecantikan Mutiara di depan mataku ini. Gaun malam berwarna gelap dengan corak yang sopan, rambutnya yang hitam terurai dengan wajah berseri dan sorot mata tajam serta senyum ramah penuh kebahagiaan.
“Mas Herman kenapa memandangku seperti itu?. Aku jadi malu!”, suara Mutiara telah menyadarkanku dari rasa terpesona.
“Eh iya enggak apa-apa. Aku seperti sedang berhadapan dengan Bidadari cantik dari Surga!”, kataku sekenanya saja.
“Mas Herman ah rayuan gombal!”, kata  Mutiara pura-pura cemberut lalu mencubit lenganku. Aku hanya mengaduh sambil tertawa. Untuk pertama kalinya dalam hidupku bermalam Minggu dengan seorang wanita adalah dengan Mutiara. Dulu saat masih bersama Bunga memang sering bermalam Minggu namun saat itu selalu rame-rame bersama teman-teman yang lainnya. Saat ini sungguh-sungguh malam Minggu yang spesial bagiku karena hanya bersama Mutiara.
Kami habiskan malam ini di food corner sebuah Plaza terbesar di Surabaya yang ada di jalan Basuki Rahmat. Suasana Plaza yang begitu ramai dengan para Pengunjung. Sambil menikmati santap makan malam kami mengobrol ringan sesekali diselingi dengan tawa karena ada hal-hal yang lucu. Waktu sudah menunjukkan pukul 21, namun suasana masih meriah seperti ini. Plaza terbesar di Surabaya ini memang surganya orang-orang berduit. Tiba-tiba aku dikejutkan ada seseorang menghampiri menuju meja, tempatku bersama Mutiara.
“Hai cantik rupanya ada di sini. Lama tidak berjumpa!”, seorang lelaki menyapa Mutiara. Dia gagah dengan dandanan perlente dari apa yang dikenakannya sudah bias memperlihatkan bahwa dia adalah orang kaya. Seorang Pengusaha kelas kakap. Aku lihat Mutiara begitu gugup bertemu dengan lelaki ini. Aku sebenarnya tersinggung dengan caranya menyapa Mutiara dan hampir saja emosiku terpancing andai tidak dicegah Mutiara.
“Kok tidak bersama Ricki. Boleh aku gabung cantik ?”, kembali suara Lelaki itu dengan pandangan nakal.
“Maaf saya tidak punya waktu!”, kata Mutiara sambil menarik tanganku untuk segera berlalu meninggalkan lelaki itu yang kelihatan terbengong-bengong. Mutiara akhirnya mengajakku untuk pulang saja.  Sepanjang perjalanan itu Mutiara lebih banyak diam dan aku tidak berani lebih jauh mengusiknya. Namun akhirnya tangis itupun terjadi juga di saat kami sudah tiba di Rumah.
“Sudahlah Tiara. Lupakan saja kejadian tadi!”, kataku menenangkannya. Mutiara masih terisak. Aku hanya membiarkan saja dia menangis agar bisa membuat hatinya menjadi lega.
“Mas Herman aku sebenarnya tidak mau lagi membicarakan ini!”, kata Mutiara.
“Ya Tiara sudahlah lupakan saja!. Saat ini sebaiknya tataplah ke depan”, kataku. Mendengar ini kulihat Mutiara sudah bisa tenang.
“Aku selalu dibayangi ketakutan masa laluku yang kotor dan nista!”, kata Mutiara.
“Masa lalu itu tidak akan kembali. Jadi untuk apa ditakutkan. Sudah, sebaiknya Tiara tersenyumlah dunia ini akan jauh lebih indah dengan senyummu!”, kataku sambil menatap wajah Mutiara yang masih tertunduk.  Kulihat kemudian Mutiarapun memandangku.
“Ayo tersenyumlah untukku Mutiara !”, kataku sambil tersenyum memandangnya. Mutiarapun akhirnya tersenyum dan matanya kembali berbinar walaupun masih ada sisa airmata dipipinya.
“Nah begitu dong. Tiara kita harus menatap ke depan. Masa lalu yang kelam buang saja karena sudah tidak berguna. Di depan banyak harapan yang bisa kita raih!”.
“Mas Herman terima kasih. Aku selalu merasa tenang mendengar kalimat-kalimat itu. Mas Aku sangat bahagia bersamamu!”, kata Mutiara terharu.
“Ya kita wajib bersyukur kepadaNya sebagai sumber semua kebahagiaan!”, kataku.
Aku bisa merasakan rasa galau Mutiara ketika dia harus bertemu dengan salah satu mantan ‘pelanggannya’ tentunya mempertimbangkan apa yang aku rasakan saat itu. Ketika aku mengajaknya untuk menatap masa depan barulah aku lihat kegalauan Mutiara sirna begitu saja. Mutiara merasa lega dengan sikapku.  Sampai aku berpamitan untuk pulang aku masih melihat senyum Mutiara terukir dengan manis mudah-mudahan itu menandakan bahwa dia sudah mau menatap ke depan. Aku bisa membayangkan betapa berat beban masa lalu yang harus dirasakan Mutiara disaat dia sudah mulai mencintaiku. Tataplah ke depan. Kalimat yang begitu mudah diucapkan. Bagiku sendiri kalimat ini adalah tantangan terberat dalam hidupku. Aku mempunyai tugas suci membawa Mutiara menuju pintu RidhoNya.

BERSAMBUNG

Saturday, April 26, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 13

Foto : Hensa/Anggrek13

EPISODE 13
 TANGISAN DI PELUKAN IBU

Aku masih ingat petuah Bapak saat terakhir bertemu di Pasuruan.  “Hermansyah Al-Buchari sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menentukan jodohnya. Ilmu agamamu sudah aku anggap cukup untuk bisa menentukan jodohmu sendiri!”, itulah kalimat Beliau yang selalu menjadi tantanganku. Terus terang setelah bertemu Ibu-Bapa di  Pasuruan itu, aku merasa seperti anak sekolah yang punya PR (‘home work’) pelajaran kimia, fisika atau matematik atau kalkulus yang perhitungannya rumit super njelimet, ruwet seperti benang kusut yang tanpa ujung tanpa pangkal. Terus berusaha untuk memahami petuah Bapa namun semakin berusaha malah justru semakin mumet. Bukan karena aku tidak paham ilmunya tapi begitu sulitnya disaat harus aku terapkan pada realita kehidupan.
“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya dan pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.”
Ilmunya seperti itu semua pasti sudah mengerti namun belum tentu tahu bagaimana cara membawa ilmu itu dalam kehidupan sehari-hari. Aku mencintai Mutiara karena aku ingin mengajaknya dari tempat gelap menuju tempat yang penuh dengan cahayaNya. Cara mencintai yang sangat sederhana namun harus ditempuh melalui jalan yang sangat rumit.
Ketika bertemu Mutiara maka akupun bercerita tentang Ibu. Aku katakan kepadanya bahwa Ibu sangat simpati terhadap kisah kelam dan masa lalu Mutiara. Ibupun ingin segera bertemu langsung dengan Mutiara.
“Benarkah demikian Mas Herman?”, tanya Mutiara seolah tidak percaya dengan semua yang kuceritakan.
“Ya tentu saja benar Tiara. Dalam waktu dekat aku ingin mengajakmu bertemu dengan Ibu!”, kataku.
“Iya Mas, aku juga sudah ingin bertemu dengan Ibu!”, kata Mutiara dengan mata yang berkaca-kaca karena terharu. Aku sudah merasa cukup lega melihat ada rasa bahagia dalam diri Mutiara. Akhirnya kami berencana bertemu Ibu pada hari Sabtu ini adalah waktu yang paling memungkinkan. Hari Senin – Jumat tentu saja hari kerjaku di Rumah Sakit. Apalagi sekarang Mutiara juga sudah mulai bekerja di Laboratorium Medis di sekitar kawasan Jalan Mayjen Sungkono. Sabtu itu hari libur untuk Mutiara sedangkan bagiku malam Sabtu dinas jaga malam sehingga Sabtunya adalah libur.
Kamis sore ini pulang dari Rumah Sakit aku sempatkan mampir ke Rumah kost Mutiara. Sudah dua hari Mutiara menderita demam sehingga dua hari itu pula dia tidak masuk kerja.
“Tiara kelihatan pucat sekali bagaimana demamnya?”, tanyaku saat berbincang di ruang tamu.
“Sudah lumayan Mas. Besok mungkin aku sudah bisa masuk kerja!”, kata Mutiara.
“Syukurlah kalau sudah sehat!”, kataku.
“Harus sehat dong Mas. Hari Sabtu kan mau ketemu Ibu!”, kata Mutiara dengan mata berbinar. Aku tersenyum memandang wanita cantik di depanku ini dan Mutiarapun membalasku dengan senyumnya yang menenteramkan hati.
“Ya Tiara namun harus tetap beristirahat yang cukup jangan sepelekan penyakit flu sekalipun!”, kataku sedikit serius.
“Ya Pak dokter!”, kata Mutiara menggoda.
“Tadi siang sudah minum obat belum?”.
“Sudah Pak dokter…!”, kata Mutiara sambil tertawa.
“Okey bagus!”, kataku sambil mengusap kepalanya seperti seorang Ayah kepada anaknya. Kami tertawa bersama-sama. Alhamdulillah Mutiara hanya flu ringan dan aku lihat sekarang sudah kelihatan segar kembali.
 Jumat sore itu aku kembali berkunjung ke tempat Mutiara. Kebetulan sore itu dia juga baru saja tiba dari tempatnya bekerja di Laboratorium Medis.
“Kita minum teh sore bersama sambil menikmati Mentari senja berwarna jingga!”, kata Mutiara agak sedikit berpuisi romantis. Disitu memang sudah tersedia dua cangkir teh panas manis dengan aroma yang wangi dan tersaji pula pisang goreng keju yang masih hangat. Sungguh nikmat sekali.
“Mas tadi malam, Mbak Bunga telpon aku menanyakan kesehatanku. Mas Herman cerita kepadanya ya?”.
“Oh iya aku cerita kalau Tiara sakit dan sudah dua hari tidak masuk kerja!”, kataku menjelaskan saat aku menelpon Bunga malam itu.
“Aku terharu mbak Bunga begitu baik selalu memperhatikanku!”, kata Mutiara. Mutiara begitu mengagumi Bunga sebagai sosok yang ingin dijadikannya panutan. Karena memang Bunga adalah gadis yang cerdas, cantik, bijak dan dewasa serta mandiri. Sosok seperti ini yang sangat disukai oleh Mutiara dari Bunga. Disisi lain Bungapun sangat kagum kepada Mutiara karena wanita iniadalah seorang wanita yang tangguh memiliki semangat dan pendirian tidak kenal menyerah. Oh Tuhan sesungguhnya dua wanita ini adalah sosok sosok yang menjadi impian dalam kehidupanku.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini Tiara!?”, tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Baru saja datang instrument laboratorium yang baru datang dari Jerman Mass spectrophotometer yang harus aku uji kinerjanya!”, kata Mutiara. Alat tersebut adalah alat laboratorium untuk mendeteksi komponen tertentu dari sampel-sampel biologis yang akan diuji.
“Baik Tiara yang penting sekarang aku lihat sudah semakin sehat. Walaupun baru pulang kerja tapi senyumnya masih manis dan segar, tidak kelihatan capek!”, kataku mulai menggoda.
“Rayuan dokter Hermansyah mulai menjebak!”, kata Mutiara sambil tertawa. Mendengar ini aku juga turut tertawa. Sore itu benar-benar kami nikmati bersama penuh keceriaan dan kebahagiaan. Terutama Mutiara kelihatan sekali menunjukkan rasa bahagianya mungkin karena akan bertemu Ibu. Tentu saja pertemuan ini adalah momen yang sangat penting baginya, bukan pertemuan biasa tapi pertemuan yang akan menjadi simbol restu dari Ibuku untuknya.
“Mas Herman. Sungguh aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu Ibu. Rasanya tidak percaya kalau Ibu mau bersimpati kepadaku yang penuh dengan dosa ini!”,kata Mutiara sambil tertunduk.
“Besok kita akan ke Pasuruan ketemu Ibu dan juga Bapak, aku sudah memberi kabar kepada beliau. Memang betul Ibu juga ingin segera bertemu denganmu Tiara!”, kataku. Mutiara memandangku dengan tatapan sejuta arti.
“Hei kenapa Tiara memandangku seperti ini ?”.
“Aku seperti mimpi Mas!”, katanya lalu melanjutkan kalimatnya : “Bertemu denganmu adalah anugerah terbaik dalam hidupku. Bertemu dengan mbak Bunga yang selalu mendukungku. Aku seperti sedang bermimpi!”.
“Sudahlah Tiara. Saat ini tidak sedang bermimpi!.kalau tidak percaya biar aku cubit pipimu!”, kataku sambil tanganku pura-pura mau mencubit.
“Eit jangan Mas!”, kata Mutiara menghindari tanganku sambil tertawa. Tawa kami adalah tawa kebahagiaan semoga menjadikan tawa yang penuh dengan barokahNya.
Sabtu pagi itu aku sudah menjemput Mutiara di Jalan Bali. Lalu lintas Surabaya sepagi ini sudah mulai sibuk dengan aktivitas rutin. Menggunakan mobil city car nya milik Bunga aku meluncur dari jalan Bali berbelok menuju arah Kertajaya lurus menuju jalan Sulawesi arah Dr Sutomo melewati perempatan jalan Raya Darmo. Sengaja aku mengambil Tol dalam kota lewat Jalan Mayjen Sungkono. Relatif lancar mungkin karena hari masih pagi sehingga tidak begitu lama akhirnya kami sudah masuk jalan Tol Surabaya – Gempol. Selama dalam perjalanan kulihat Mutiara lebih banyak diam. Aku hanya sesekali saja menegurnya.
“Tiara sedang melamun apa?”.
“Mas, Saat nanti ketemu Ibu rasanya tidak ter-bayangkan betapa malu aku bertemu dengan Beliau!”, kata Mutiara.
“Tidak perlu seperti itu. Ibu sangat sayang padamu Tiara!”, kataku.
“Benarkah Mas?”, tanya Mutiara sambil menatapku. Aku lihat ada air mata di sudut matanya. Aku memaklumi betapa terharunya Mutiara untuk bertemu Ibu kali ini karena baginya ini pertemuan yang sangat istimewa. Rasa haru Mutiara semoga saja merupakan kebahagiaan yang penuh dengan harapannya selama ini.

Alhamdulillah akhirnya aku sudah melihat Gerbang depan Pesantren dan sebentar lagi kami sampailah di Rumah. Aku langsung memarkir mobil seperti biasa di sebelah Selatan Masjid tepat di depan Rumah. Aku lihat Ibu dan Bapak sudah menanti di Teras Rumah. Kamipun turun dari mobil lalu aku menghampiri Bapak dan Ibu sambil mencium tangan beliau. Aku lihat pula Mutiara mencium tangan Bapak dan Ibu kemudian kulihat Ibu memeluk Mutiara dengan erat sekali. Mutiara menangis dalam pelukan Ibu. Tangisan haru yang juga mungkin tangisan kepedihan masa lalu namun bisa juga tangisan harapan kebahagiaan masa depan. Mutiara dalam pelukan Ibu merasakan rasa tenteram yang sesungguhnya yang selama ini ia dambakan. Semoga.

BERSAMBUNG