Tuesday, March 22, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (3)


Foto : Hensa

Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Sinopsis
Alan Erlangga adalah sosok yang selama 20 tahun merasa kehilangan Diana Faria, kekasihnya yang harus dipanggil oleh Yang Maha Punya hanya seminggu sebelum hari perkawinan mereka. Merasa kehilangan selama 20 tahun adalah waktu yang lama. Ternyata ALLAH telah mengirim seorang gadis bernama Daisy Listya untuk menggugah hati Alan Erlangga. Daisy Listya adalah seorang gadis cantik, cerdas, berkepribadian luhur, memiliki prinsip hidup, berhasil membuka dan mencairkan kebekuan hati seorang Alan Erlangga. Listya ini yang telah menyadarkannya dari mimpi buruk panjang. Mungkin saja Daisy Listya memang nantinya bukan menjadi teman hidupnya karena seusai Wisuda Sarjana, Listya akhirnya bertunangan dengan pria yang mencintainya bahkan sampai menuju jenjang pernikahan. Menghadapi kenyataan ini Alan Erlangga tidak mampu berbuat apa-apa. Alan hanya pasrah. Cukup baginya bahwa Daisy Listya adalah gadis yang telah mampu membuka hatinya menjadi merasa hidup kembali. Ada pepatah bahwa mencintai itu tidak harus memiliki. Benarkah cinta itu menjadi sangat tinggi nilainya ketika harus mencintai tapi tidak harus memiliki?. Ditengah-tengah kegalauannya tiba-tiba hadir sahabat lamanya bernama Kinanti Puspitasari. Seakan hadir untuk menentramkan hatinya. Saat ini Kinanti memiliki seorang putri yang sedang beranjak remaja. Wanita ini membesarkan putri semata wayangnya sendirian karena suaminya sudah lama meninggal dunia. Kinanti adalah teman Alan sewaktu mereka SMA dan diusia yang sudah tidak muda lagi mereka kembali bertemu. Bagi Alan masa-masa SMA bersama Kinanti begitu indah untuk dikenang karena Alan waktu itu pernah juga jatuh cinta kepada Kinanti walaupun ternyata Kinanti hanya menganggapnya seorang sahabat.
Kepada siapa akhirnya Alan Erlangga melabuhkan hatinya?. Apakah kepada Daisy Listya seperti harapan cintanya selama ini?. Apakah kepada Kinanti?. Simak saja cerita episode demi episode dari Episode Cinta Daisy Listya.





Episode 3
SELAMAT BERBAHAGIA BIDADARIKU
Simposium Farmakologi di ITB berlangsung di Aula Barat dengan peserta yang cukup lumayan banyak. Pada siang itu sehabis rehat aku baru saja selesai menyampaikan presentasi makalahku. Dalam acara diskusi yang cukup hangat, banyak pertanyaan dan pendapat teman-teman sejawat yang menanggapi makalahku. Mereka hampir sebagian besar adalah teman-teman dosen yang sudah aku kenal. Ketika ada seorang peserta wanita bertanya aku memperhatikan dia seperti bukan teman-teman dosen yang selama ini aku kenal. Tapi nanti dulu ketika kusimak bagaimana caranya dia bicara, warna suaranya dan profil wajahnya terutama ketika kuperhatikan matanya yang bagus itu sepertinya aku pernah mengenalnya. Lalu ketika dia menutup pertanyaannya dengan senyum, aku seakan-akan masih ingat senyum itu. Oh benarkah dia?. Maka pada acara rehat sore itu aku berusaha mencari wanita tersebut. Akhirnya diantara kerumunan para peserta yang sedang rehat, aku melihat wanita itu berdiri di dekat pintu keluar.
Sejenak kuperhatikan wanita itu. Oh Tuhan semakin aku perhatikan maka semakin aku mengenalnya. Ternyata aku yakin sekarang, dia adalah Kinanti Puspitasari sahabatku sewaktu SMA dulu.
Aku agak pangling karena sekarang Kinanti mengenakan jilbab, tapi justru Kinanti semakin cantik dan anggun walaupun memang awalnya dia sudah cantik dan anggun. Segera saja aku bergegas menghampirinya.
“Apakah betul penglihatan saya kalau ibu bernama Kinanti Puspitasari ?” aku sengaja menyapanya  dengan nama lengkapnya.
“Alan, syukurlah ternyata kamu masih ingat aku. Lucu juga kamu panggil aku ibu!” katanya tersenyum. Kinanti memang cantik dan anggun dan dulu aku sangat mengaguminya.
“Kejutan bisa bertemu Kinanti Puspitasari di kota Bandung ini!” kataku sambil tertawa.
“Alan padahal Minggu depan aku mau ke Surabaya ke Kampusmu tapi ternyata takdir mempertemukan denganmu lebih cepat. Aku sebelumnya tidak tahu kamu Dosen di sana. Tentu kalau ketemu di sana bisa lebih lucu lagi..,” kata Kinanti tertawa renyah.
“Oh ya Kinan rencana ke Surabaya tanggal berapa? Biar aku atur jadwalku sehingga aku bisa menemanimu selama di Surabaya!” tanyaku.
“Hari Kamis 25 Februari. Wah Alan mau menemaniku selama di Surabaya asyiiik dong!”  kata Kinanti. Akhirnya kami berbincang akrab maklum sudah 25 tahun tidak bertemu ya sejak lulus SMA Kinanti sebagai anak tunggal ikut orang tuanya ke Malaysia karena ayahnya ditugaskan menjadi staf Kedubes di sana. Kinanti melanjutkan kuliah di Malaysia sampai dengan S3. Saat ini bekerja sebagai tenaga dosen ITB. Kinanti sewaktu SMA memang termasuk siswa yang cerdas. Saat itu tiga gadis cantik yang otaknya cemerlang adalah Erika, Aini dan Kinanti. Tidak ada yang bisa menyaingi mereka bertiga. Paling-paling aku dan Indra baru pada urutan berikutnya.
Ternyata di Bandung ini aku bertemu teman lama dan bercerita banyak tentang masa-masa yang sudah lewat. Masa remaja SMA yang penuh dengan nostalgia.
“Kinan kamu sekarang pakai jilbab tapi aku tidak pernah lupa sama suaramu, mata dan senyummu, mangkanya tadi waktu kamu bertanya dalam presentasiku aku seperti mengenal ibu ini ha ha ha!”  kataku bercanda. Kinanti hanya tertawa renyah.
“Alan jangan berlebihan ah, tapi  Al kamu juga tidak banyak berubah dari dulu tetap ganteng. Tentunya sekarang cintamu sudah kau berikan kepada seorang wanita saja. Dulu waktu SMA cewekmu  kan banyak cuma aku yang tidak jadi korbanmu ha ha ha ha..!”  kata Kinanti. Aku tertawa mendengar apa yang dia katakan.
“Kinan zaman SMA dulu hanya tinggal nostalgia jangan kuatir sekarang Alan sudah menjadi orang yang hanya punya satu wanita, tapi poligami  kan dibolehkan oleh agama !” kataku. Kami kembali tertawa dan tidak memperpanjang pembicaraan apalagi beralih menjadi diskusi tentang poligami wah bisa berdebat dengan Kinanti satu hari sendiri.
“Al aku sekarang sudah punya anak satu, seorang gadis masih kelas 3 SMA tapi ayahnya sudah meninggal. Ngomong-ngomong kamu jadinya sama siapa?. Arinta, Rina, Jesica, Eva, Dian, Linda, Ana...ha ha ha cewek-cewekmu masih ada dalam daftarku. Buntutmu sudah berapa?. Dulu pernah bilang mau bikin anak yang banyak, ” kembali suara Kinanti bercanda. Kembali aku tertawa ketika Kinanti menyebut nama-nama gadis yang pernah menjadi pacarku. Ah masa-masa SMA yang penuh dengan keindahan. Namun aku lebih terkejut ketika Kinan mengatakan suaminya sudah meninggal.
“Oh Kinan, aku turut berduka cita ya. Kapan suamimu meninggal?”  tanyaku.
“Terima kasih Al. Suamiku meninggal 3 tahun yang lalu karena terkena kanker pencernaan. Mungkin itu yang terbaik untuknya untukku dan anakku harus menerima dengan ikhlas keputusunNya. Oh ya kamu belum jawab pertanyaanku?” kata Kinanti membelokkan arah pembicaraan.
“Pertanyaan yang mana?!” tanyaku pura-pura lupa.
“Anakmu berapa?” tanya Kinanti.
“Aku belum menikah he he he!” kataku mantap.
“Apa?  Tidak dapat aku percayai playboy sepertimu tidak bisa memilih satu wanitapun untuk menjadi seorang istri. Kamu jangan bercanda Alan !” kata Kinanti seolah tidak percaya. Aku tertawa terkekeh terutama mendengar kata playboy yang sudah lama kata tersebut tidak pernah terdengar.
“Awas ya Kinan sekali lagi bilang aku playboy. Aku memang belum menikah dan ceritanya panjang.... yang jelas calon istriku meninggal seminggu sebelum hari pernikahan kami, ” kataku.
“Oh Alan maafkan aku. Sungguh aku tidak tahu. Turut berduka ya Al. Kapan itu terjadi?” tanya Kinanti.
“Dua puluh tahun yang lalu. Calon istriku adalah teman kuliahku. Okeylah tapi sekarang aku juga sudah ikhlas seperti kamu mengikhlaskan suamimu...!” kataku.
“Ya Al ternyata kita ini  tidak pernah punya apa-apa dan seharusnya tidak pernah kehilangan apapun. Kita sendiri saja bukan milik kita, ” kata Kinanti.
Mendengar ini aku teringat Listya. Kata-kata Listya yang tidak pernah aku lupakan karena kata-kata itu yang telah membuat aku tersadar. Andai kata-kata tersebut bukan Listya yang mengucapkan, apakah hatiku akan tergugah?. Ya hanya Allah yang dapat membuka hati seseorang hanya kebetulan hal itu terjadi melalui Listya.
“Hai Al...kok malah melamun. Oh ya aku sekarang tinggal sama Bapak dan Ibu di Arca Manik.  Aku sengaja menemani mereka karena aku kan anak satu-satunya. Kamu masih ingatkan rumahku?”  kata Kinanti.
“Ya tentu dong mana mungkin lupa rumahmu dulu kan markas grup kita!” kataku. Waktu SMA dulu rumah Kinanti biasa digunakan untuk kumpul dengan sahabat-sahabat. Indra, Erika, Aini dan aku kerap juga belajar bersama di rumah Kinanti.
“Oh Alan bagaimana khabar Indra Susanto? Apakah dia jadi menikah dengan Erika?” tanya Kinanti.
“Kinan ternyata waktu begitu cepat berubah. Inilah kehidupan. Erika dijodohkan orang tuanya dengan orang lain. Indra bukan jodohnya Erika. Ternyata jodohnya Indra adalah Aini....!” kataku. Kinanti terperangah tidak percaya.
“Mereka bertiga bersahabat hanya karena Allah. Erika dan Aini dua sahabat seperti saudara kandung. Ketika Indra dan Aini menikah Erikapun hadir merestui pernikahan itu. Betapa indah hidup ini jika cinta hanya berdasarkan cinta ALLAH, ” kataku menjelaskan. Sekarang kulihat Kinanti termenung.
“Ya betul Alan. Aku kenal Aini dan Erika dua gadis cantik terhormat, pandai dan cerdas serta berhati mulia.  Sekarang aku juga semakin yakin bahwa Allah itu sebaik-baik perencana oleh karena itu mari kita sikapi setiap ujian Allah dengan hati yang lapang, ” kata Kinanti.
Kulihat diwajahnya ada rasa muram dan kesedihan yang dalam. Mungkin Kinanti teringat mendiang suaminya. Sementara aku juga hanyut dengan kata-kata Kinanti yang terakhir ini karena tiba-tiba saja aku teringat Listya yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahannya. Allah itu sebaik-baik perencana oleh karena itu mari kita sikapi setiap ujian Allah dengan hati yang lapang.  Sebuah rangkaian kalimat yang perlu direnungkan dalam dalam.
Kota Bandung kota kelahiranku kembali menorehkan kenangan ketika aku harus bertemu lagi dengan Kinanti. Teringat masa SMA dulu betapa aku suka gonta ganti pacar dan waktu itu Kinanti adalah salah satu gadis yang tidak mampu aku tundukkan. Kinanti adalah gadis yang selalu mengingatkanku untuk tidak bermain-main dengan cinta. Cinta itu sangat luhur dan terhormat jangan dikotori dengan nafsu. Aku masih ingat kata-katanya. Kinanti adalah gadis terhormat berwibawa seperti Erika dan Aini yang mampu menjaga harga dirinya dengan amanah. Mereka adalah gadis-gadis cantik lahir batin waktu itu dan kalau sekarang, mereka adalah wanita-wanita cantik lahir batin. Teringat masa lalu ketika aku sering mempermainkan cinta dan ketika akhirnya cinta itu berlabuh di hati seorang Diana Faria. Betapa kami saling mencintai dengan tulus.  Betapa kami punya rencana hidup bersama untuk mengabdi kepadaNya. Namun apa boleh dikata ternyata cinta sejati itu harus diambil oleh yang Maha Memiliki.
Memang Dia adalah Pemilik cinta itu. Barangkali inilah mungkin balasan yang setimpal yang harus diterima oleh seorang Alan Erlangga, Si Playboy kurang ajar yang telah banyak menyakiti hati wanita. Bertemu dengan Kinanti seakan masa-masa SMA dulu kembali terbayang. Aku harus banyak istighfar memohon ampun padaMU ya Allah. Mungkin juga ketika aku mengharapkan cintaku berlabuh di hati seorang Daisy Listya ternyata Allah menentukan lain.  Listya akan menikah dengan laki-laki lain. Ampunilah diri hamba ya Allah karena kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain kepadaMu yang Maha Pengampun. Berikan pula padaku keikhlasan untuk selalu menerima setiap ujianMu dengan lapang dada. Aku mencintai Listya karena itu aku akan bahagia melihat Listya bahagia. Aku mencintainya hanya karena aku mencintaiMu. Mencintai tidak harus memiliki. Aku memang tidak pernah punya apapun yang harus kumiliki.
Sejak pertemuan pada simposium itu, aku dan Kinanti sering berhubungan walau hanya melalui hand phone. Hampir setiap hari selalu saja ada sms dari Kinanti bahkan malamnya kadang-kadang Kinanti menelpon hanya untuk sekedar ngobrol dan tertawa-tawa mengenang masa SMA dulu. Seperti pada malam itu Kinanti menelpon menceritakan kebahagiaan bersama suaminya dan sering kali dia merasa rindu bertemu mendiang suaminya. Jika sudah demikian maka Kinanti bercerita sambil terisak.
“Kinan sabar dan ikhlas adalah jalan terbaik untukmu, ” kataku menghibur.
“Ya terima kasih Alan. Aku bertemu denganmu saat ini merasa seperti bertemu dengan malaikat. Selama ini aku tidak bisa bercerita seperti ini. Al mudah-mudahan kamu tidak bosan mendengar cerita-ceritaku ini!” kata Kinanti.
“Ya Kinan dengan senang hati aku setia mendengarkan cerita-ceritamu, ” kataku membesarkan hatinya.
Kinanti pada usia yang sama denganku ternyata masih memiliki kecantikan yang alami. Wanita berdarah sunda tulen berkulit kuning langsat ini pesonanya masih menebar. Kinanti. Kinanti. Kinanti Puspitasari.  Aku juga merasa heran mengapa Kinanti belum menikah lagi. Rasanya tidak percaya jika tidak ada laki-laki yang berusaha mendekatinya.
Malam itu setelah menerima telpon dari Kinanti aku tidak bisa tidur entah apa yang kupikirkan. Di meja kecil sebelah tempat tidurku aku melihat Undangan Pernikahan Listya. Memang aku sengaja menaruhnya di sana. Listya sedang apa kau disana?. Sabtu pekan depan Listya akan melangsungkan pernikahannya. Apakah ini yang membuatku tidak bisa tidur ?. Aku selalu teringat Listya, gadis kembarannya Diana Faria. Kadang-kadang ada rasa putus asa ketika aku harus menyadari bahwa sebentar lagi Listya sudah menjadi istri orang lain namun hal itu tidak boleh terjadi. Aku harus tetap berfikir baik kepada Allah. Aku harus kenali diri ini yang ternyata hanya seonggok daging dan sebatang tulang plus segaris rambut yang semakin rapuh dan beruban. Jika ada darah mengalir dan air mata yang tumpah itu hanya sebagian kecil saja dari ketidak berdayaan diri ini. Betapa rapuh dan ringkih diri ini sudah seharusnya aku tahu diri. Allah aku bersimpuh bersimbah peluh, berlutut bertekuk takut, aku hanya membawa sepatah dua patah doa. Akhirnya malam itu aku bersujud beralas sajadah tahajudku dan membiarkan diriku tertidur dalam haribaanNya. Aku selalu ingat FirmanNya : “Karena itu ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadaMu dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu!”. Maka pada malam itu aku benar-benar menikmati ketidak berdayaanku sampai malampun menyentuh waktu subuh.
Di ruang kerjaku pagi itu aku sudah menghadapi dua mahasiswa untuk konsultasi bimbingan skripsi. Satu seorang mahasiswi dan satunya seorang mahasiswa. Mereka baru saja selesai menyusun proposal penelitian revisi yang mau diajukan untuk seminar proposal Minggu depan. Aku sebenarnya tinggal tanda tangan tapi kepalaku masih terasa penat karena tadi malam tidak bisa tidur maka aku mengusir kedua mahasiswa tersebut dengan halus.
“Okey proposal kalian akan saya baca dulu nanti siang kembali kesini, ” kataku dan mahasiswa tersebut berpamitan. Melihat mereka bimbingan skripsi aku jadi teringat ketika pertama kali bertemu Listya. Waktu itu Listya bersama Amelia sahabatnya, mengajukan proposal penelitian. Aku benar-benar terperangah ketika berbincang atau mendengarkan tutur katanya. Ketika dia tersenyum atau tertawa kecil. Gadis ini sangat lembut hatinya. Aku merasakan aura kecantikan hatinya. Hatiku terasa damai tentram karena mendengar tutur kata lembut gadis ini begitu mempesona. Kesan pertamaku tentang Listya selalu terpatri dalam hatiku.
“Pak Alan bagaimana kalau metode spektrofotometri saja yang digunakan?” tanya Listya suatu hari ketika kami berdiskusi tentang metode analisis instrumen yang akan dipakai dalam skripsinya.
“Ya Listya bisa dengan Spektrofotometri tapi jauh lebih selektif jika menggunakan HPLC !” kataku menjelaskan.
“Baik pak memang HPLC lebih akurat pemisahannya untuk komponen-komponen penting ini. Tapi pak saya belum begitu familiar dengan alat HPLC karena dulu praktikumnya berkelompok!” kata Listya ragu.
“Jangan kuatir Lis nanti bisa kursus kilat sama Profesor Alan Erlangga..!” kataku bercanda sambil tertawa. Listyapun tertawa. Oh begitu manisnya dia tertawa. Sebaris gigi-giginya jauh lebih rapi dari model iklan pasta gigi apapun di Televisi. Dialog-dialog ringan ditengah-tengah diskusi tentang skripsi yang serius membuat kami begitu akrab. Gadis ini kecerdasannya tidak diragukan lagi. Kursus kilat HPLC benar-benar kursus kilat betulan, karena cukup hanya satu hari Listya sudah mampu menguasai alat canggih itu.
“Lis sekarang saya sudah lega melepasmu untuk bercengkrama dengan HPLC ini jangan kuatir berteman dengan alat ini sangat menyenangkan pokoknya bisa lupa waktu. Bagiku HPLC sudah seperti istri keduaku, ” kataku kembali berseloroh ketika saat itu aku memberikan kursus kilat HPLC.
“Lho Pak lalu istri pertamanya kok  belum pernah dikenalkan kepada saya!?”, kata Listya juga bercanda karena Listya memang tahu aku belum beristri.
“Lis jangan begitu ah. Istri pertamanya masih entah dimana mungkin cewek-cewek tidak ada yang berminat menjadi istriku maka kalau begitu berarti HPLC adalah istri pertamaku, ” kataku sambil tertawa. Kami bersenda gurau ditengah-tengah keseriusan menganalisis sampel-sampel penelitiannya Listya.
Aku juga teringat ketika kami berbincang mengenai hoby. “Membaca buku adalah hoby saya. Buku-buku ilmu pengetahuan atau novel, ” jawab Listya ketika aku bertanya tentang hobinya.
“Buku apa yang paling berkesan yang pernah kau baca Lis?” tanyaku.
“Buku buku karya Al-Ghazali sangat bagus untuk menjadi renungan. Kalau buku ilmu pengetahuan yang ada hubungannya dengan kimia farmasi!” kata Listya.
“Kalau Novel?” tanyaku.
“Novel yang bersifat religi lebih aku sukai. Oh ya Pak, saya juga ingin mencoba bikin novel. Nanti kalau sudah jadi Bapak mau baca ya !” kata Listya.
“Wah bagus Lis nanti aku tunggu novelmu tapi sekarang selesaikan dulu saja skripsimu, ” kataku mengingatkan.
“Okey beres Pak Profesor!” jawab Listya sambil tertawa.
Ternyata Listya memang sedang menulis novel. Aku mengetahui hal ini ketika draft terakhir skripsinya diserahkan padaku. “Pak rasanya lega sekarang skripsi akhirnya ditandatangani Bapak dan saya siap untuk  ujian sidang skripsi. Setelah itu saya mau melanjutkan menulis novel saya, ” kata Listya tersenyum. Aku menyukai senyumnya karena begitu mirip senyum Diana Faria.
“Lis novelnya sudah berapa halaman dan judulnya apa?” tanyaku.
“Episode pertama baru saja saya selesaikan tadi malam. Oh ya judulnya adalah Masih adakah ruang di hatimu, bagus ya pak?” tanya Listya meminta pendapatku.
“Masih adakah ruang dihatimu. Judul yang membuat penasaran pembacanya. Lis kok kamu pintar memilih judul, ”  aku mengomentari judul novel itu. Listya hanya tertawa kecil.
“Rupanya calon sarjana Farmasi juga berbakat menjadi seorang novelis. Berikan dong bocoran sinopsis ceritanya !” kataku penasaran.
“Jangan dulu dong, nanti Bapak tidak penasaran lagi...!” kata gadis itu. 
Masa-masa gembira bersama Listya yang mungkin tak akan pernah terulang lagi. Mengingat ingat saat itu ada rasa bahagia namun kembali aku harus realistis karena Minggu depan Listya sudah  menjadi istri Rizal Anugerah. Ya Allah aku berdoa semoga mereka bahagia menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah warohmaah. Entah seperti apa perasaanku saat ini. Namun aku tidak boleh mengotori ketulusan hati ini dengan hal-hal yang akan merusak jalan untuk datangnya Ridho ALLAH padaku. Saat ini aku seolah merasakan getaran hati Listya ketika aku ingat bagaimana tatapan matanya memandangku sambil berkata : “Sungguh saya sangat  terharu kalau ingat cerita Mbak Diana Faria. Bapak harus mulai mendapatkan teman hidup yang menjadi cahaya mata hati bapak sehingga bapak merasa tentram kepadanya. Saya akan bahagia jika bapak segera menemukan gadis tersebut…!”
Suara Listya masih terngiang ditelingaku. Gadis itu berdoa untukku dengan tulus. Aku seperti mampu membaca sesuatu dalam tatapan matanya. Tatapan mata yang pernah aku kenal dalam suatu masa. Tatapan mata ketulusan penuh dengan kasih sayang yang pernah aku dapati dari Diana Faria. Benarkah Daisy Listya?. Jawabannya hanya dia yang tahu.
Di ruang kerja itu aku tidak banyak berbuat apa-apa dan diatas meja itu ada dua proposal skripsi untuk penelitian yang segera saja kutanda tangani tanpa sempat lagi aku baca. Sungguh hari ini penuh dengan gundah penuh dengan resah penuh dengan gelisah penuh dengan sesuatu yang tidak jelas sehingga aku sempat bertanya tanya dimana gerangan keikhlasan yang selama ini ada seakan sirna beberapa saat.  Segera tersadar dari kegundahan dan keresahan, kubuka buku harianku untuk aku catatkan sesuatu yang terjadi hari ini. Kututup hari itu dengan kalimat pendek disudut kanan buku harianku.
Pagi itu aku terburu buru menuju stasiun Gubeng Surabaya Kota karena aku berjanji mau menjemput Kinanti. Sekarang hari Kamis 25 Februari Kinanti selama dua hari ini berada di Kampusku untuk mengikuti Workshop tentang tanaman obat. Memang begitu cepat hari berlalu dan dua hari lagi dari hari ini Listya akan melangsungkan pernikahannya. Pagi itu kesibukan Stasiun Kereta Api Gubeng semakin ramai karena keberangkatan beberapa Kereta Api diantaranya Argo Wilis menuju ke Bandung, Sancaka pagi menuju Yogyakarta dan Penataran ke Blitar. Selain itu keramaian dan kesibukan di sana juga karena banyak para penjemput masih menunggu kedatangan KA Turangga dari Bandung dan Bima dari Jakarta. Terdengar pengumuman bahwa pada jalur 6 KA Bima dari Jakarta akan segera masuk. Aku masih duduk di teras jalur 6 sementara beberapa penjemput mulai berdiri menunggu kedatangan KA Bima. Menurut jadwal setelah Bima ini adalah Turangga dari Bandung. Tiba-tiba suara hp ku berdering. Ternyata Kinanti.
“Alan apakah sekarang sudah di stasiun?” tanya Kinanti.
“Ya Kinan aku menunggumu sebentar lagi keretamu tiba di Gubeng!” kataku.
“Okey Al terima kasih!” kata Kinanti.
Beberapa saat kemudian akhirnya Turangga berhenti di jalur 6 untuk menurunkan para penumpangnya. Dari jauh aku melihat Kinanti sosok yang aku kenal. Aku melambaikan tanganku. Kinanti langsung melihat lambaian tanganku.
“Assalaamu alaikum Profesor Alan!” sapa Kinanti.
“Wa alaikum salaam....ha ha ha mulai bercanda!” kataku. Kami tertawa kemudian bergegas menuju tempat dimana mobilku di parkir. Kinanti minta diantar ke rumah pamannya yaitu adik kandung ibunya di kawasan jalan Sulawesi. Kamipun menuju ke sana. Selama di Surabaya Kinan akan menginap disana. Setelah Kinanti mandi, ganti baju dan sarapan akhirnya kami kembali menuju Kampus dimana Workshop diselenggarakan. Aku sendiri tidak mengikuti acara itu namun berjanji sorenya aku akan menjemput Kinanti. Hari itu agenda kerjaku sangat padat sekali. Sorenya setelah mengisi kuliah aku segera bergegas menuju tempat Workshop dan disana kulihat Kinanti sudah menungguku.
“Bagaimana Kinan acara workshopnya?” tanyaku.
“Cukup menarik tapi aku ngantuk sekali soalnya semalaman di Turangga tidak bisa tidur. Oh ya Alan untuk kembali ke Bandung aku sudah dapat tiket Lion Air aku mohon kau mau antar aku ke Bandara Juanda!” kata Kinanti.
“Dengan senang hati Bu Kinan, hamba siap mengantar kemana saja selama di Surabaya ini he he he. Lho Kinan kapan kembali ke Bandung?” tanyaku.
“Minggu pagi pukul 9.00 sudah harus check in di Juanda. Terpaksa dapat tiket ke Jakarta karena yang ke Bandung sudah habis !” jawab Kinanti. Sore itu kami segera meninggalkan Kampus. Kuantar terlebih dulu Kinanti menuju jalan Sulawesi dimana ia menginap selama di Surabaya.
“Malam ini sebenarnya aku ingin mengajakmu makan malam tapi kamu pasti masih lelah butuh balas dendam untuk tidur ya Kinan !” kataku sambil tertawa.
“Besok malam saja Al !” kata Kinanti.
“Okey...aku cabut  dulu ya...Assalaamu alaikum!” kataku berpamitan.
Esok malamnya kami berada di sebuah Rumah Makan di Kompleks Manyar Megah Indah dengan menu ikan mas bakar kesukaannya Kinanti. Aku sengaja memang mengajak Kinanti untuk bersantap ikan bakar. Makan malam yang benar-benar santai sambil berbincang masa-masa SMA yang tidak pernah bosan-bosannya. Perbincanganpun akhirnya sampai juga pada topik Diana Faria dan Daisy Listya. Kisah yang sekarang sedang aku alami di Surabaya ini.
“Kisah yang mengharukan Alan. Aku memang tidak kenal Diana Faria maupun Daisy Listya tapi aku bisa merasakan dua wanita ini sangat istimewa dihatimu. Wanita-wanita yang penuh dengan pesona !” kata Kinanti.
“Ya Kinan dan besok Sabtu 27 Februari Listya akan melangsungkan pernikahannya. Aku hanya bisa berdoa untuk kebahagiaan Listya. Aku benar-benar harus mencoba tetap tegar..!” kataku dengan perasaan tak menentu.
“Alan, Allah itu sebaik-baik perencana dan Dia juga Maha Mengetahui apa-apa dan siapa yang terbaik bagimu, ” suara Kinanti mengingatkanku.
“Ya Kinan terima kasih. Aku sangat yakin itu karena rasanya tidak mungkin Allah mendatangkan Listya padaku jika Dia tidak memiliki rencana yang baik untukku. Aku selalu yakin dengan Allah hanya saja begitu sulitnya untuk memahami rahasiaNya. Hanya melalui petunjukNya kita mampu memahami segala keputusanNya !” kataku.
“Betul Al dan manusia tidak pernah berhak untuk memutuskan. Kita hanya pelaku kehidupan yang dikendalikan oleh yang Maha Punya kehidupan!” kata Kinanti.
“Subhanullah. Bersyukurlah kita yang tetap selalu ingat kepadaNya..!” kataku.
Sungguh hanya hamba-hambaNya yang mendapat hidayah yang selalu ingat kepadaNya disaat suka maupun duka. Ya ALLAH hanya Engkaulah yang bisa memberikan ketabahan kepadaku. Aku benar-benar tidak berdaya menghadapi ujian ini tanpa pertolonganMu. Aku hanya pasrah kepadaMU. Aku menyerahkan semua daya dan upayaku hanya padaMU.
“Alan aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan Daisy Listya. Gadis ini adalah pilihanmu dan aku yakin Listya adalah seorang gadis yang istimewa !” suara Kinanti mengagetkanku dari lamunanku.  Kinanti ingin sekali kenal dengan Listya?. Ya memang Listya bukan gadis sembarangan. Listya mempunyai kedudukan yang sangat istimewa dalam hatiku.
“Kalau begitu besok kau mau menemaniku datang ke Resepsi pernikahan Daisy Listya. Kinan kembali ke Bandung baru hari Minggu kan?” kataku memberi usul untuk menemaniku pergi ke Resepsi Pernikahan Listya.  Kinanti setuju atas usul yang kuberikan.  Rupanya Kinanti penasaran dengan ceritaku tentang Daisy Listya.
Sabtu pagi 27 Februari kami menuju kota Malang untuk menghadiri pernikahan Daisy Listya. Alhamdulillah perjalanan cukup lancar sampai di kota Malang walaupun kemacetan kawasan Porong dan Singosari masih juga seperti hari-hari sebelumnya. Kami menuju Gedung Al-Hikam di jalan Kalpataru ke arah Cengger ayam, tempat dimana resepsi pernikahan Listya berlangsung. Gedung yang tidak terlalu besar ini sudah dipenuhi para undangan untuk mengucapkan selamat kepada mempelai berdua. Dari jauh kulihat Listya dengan ramah menyambut para undangan yang menyampaikan ucapan selamat mereka. Listya sangat cantik sekali dengan pakaian pengantinnya. Tidak bosan-bosannya aku memandang gadis idamanku ini yang sekarang sudah menjadi istri orang lain.
Setelah ikut antrian yang panjang, kini tibalah saatnya giliranku menyampaikan ucapan selamat kepada Listya. Ya kini didepanku adalah Listya istrinya Rizal, suami yang berdiri disampingnya.
“Pak Alan ! ” Listya menyapaku lebih dulu sambil menatapku tajam. Oh Tuhan ini adalah tatapan Diana Faria. Ya di depan gadis ini aku seperti melihat Diana Faria. Aku dapat merasakan cinta pada tatapan mata Listya seperti cintanya Diana Faria. Sejenak aku terdiam sambil menatap Listya.  Berilah aku kekuatan ya Allah.
“Listya selamat !” kataku perlahan hampir tak terdengar. Hampir saja aku lupa memperkenalkan Kinanti karena aku tidak dapat meredam perasaanku.
“Oh ya Listya, ini Bu Kinanti!” kataku sambil memperkenalkan Kinanti padanya. Listya malah kembali menatapku penuh arti.
“Bu terima kasih !” suara Listya sambil tersenyum ramah menyambut uluran tangan Kinanti.
Aku melihat bagaimana tatapan Listya ketika Kinanti kuperkenalkan kepadanya. Tatapan yang seolah mengatakan : “Pak Alan inikah  wanita itu?”. Listya seolah ingin mengatakan itu.
Ya Allah hanya Engkau yang Maha Pemberi Petunjuk. Aku akan tetap berdoa untuk kebahagiaan Listya. Berikanlah aku kekuatan ya Allah untuk mencintainya hanya karena aku  mencintaiMu semata.  Selamat Berbahagia Bidadariku.
 
BERSAMBUNG EPISODE 4.













Friday, March 18, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (2)

Foto : Hensa




Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Sinopsis
Alan Erlangga adalah sosok yang selama 20 tahun merasa kehilangan Diana Faria, kekasihnya yang harus dipanggil oleh Yang Maha Punya hanya seminggu sebelum hari perkawinan mereka. Merasa kehilangan selama 20 tahun adalah waktu yang lama. Ternyata ALLAH telah mengirim seorang gadis bernama Daisy Listya untuk menggugah hati Alan Erlangga. Daisy Listya adalah seorang gadis cantik, cerdas, berkepribadian luhur, memiliki prinsip hidup, berhasil membuka dan mencairkan kebekuan hati seorang Alan Erlangga. Listya ini yang telah menyadarkannya dari mimpi buruk panjang. Mungkin saja Daisy Listya memang nantinya bukan menjadi teman hidupnya karena seusai Wisuda Sarjana, Listya akhirnya bertunangan dengan pria yang mencintainya bahkan sampai menuju jenjang pernikahan. Menghadapi kenyataan ini Alan Erlangga tidak mampu berbuat apa-apa. Alan hanya pasrah. Cukup baginya bahwa Daisy Listya adalah gadis yang telah mampu membuka hatinya menjadi merasa hidup kembali. Ada pepatah bahwa mencintai itu tidak harus memiliki. Benarkah cinta itu menjadi sangat tinggi nilainya ketika harus mencintai tapi tidak harus memiliki?. Ditengah-tengah kegalauannya tiba-tiba hadir sahabat lamanya bernama Kinanti Puspitasari. Seakan hadir untuk menentramkan hatinya. Saat ini Kinanti memiliki seorang putri yang sedang beranjak remaja. Wanita ini membesarkan putri semata wayangnya sendirian karena suaminya sudah lama meninggal dunia. Kinanti adalah teman Alan sewaktu mereka SMA dan diusia yang sudah tidak muda lagi mereka kembali bertemu. Bagi Alan masa-masa SMA bersama Kinanti begitu indah untuk dikenang karena Alan waktu itu pernah juga jatuh cinta kepada Kinanti walaupun ternyata Kinanti hanya menganggapnya seorang sahabat.
Kepada siapa akhirnya Alan Erlangga melabuhkan hatinya?. Apakah kepada Daisy Listya seperti harapan cintanya selama ini?. Apakah kepada Kinanti?. Simak saja cerita episode demi episode dari Episode Cinta Daisy Listya.






Episode 2
ADA CINTA DI RUANG HAMPA

Di ruang HPLC sore itu aku baru saja menyalin beberapa data dari file Bank Data yang ada di sana. Aku teringat beberapa waktu yang lalu di ruang ini aku bersama Listya berbincang tentang Diana Faria.
“Kita sebenarnya tidak pernah memiliki apapun maka oleh sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki!”
Itulah kutipan kata-kata Listya yang sangat menyentuh hatiku. Aku seperti terbangun dari mimpi. Ya gadis itu yang telah membangunkan mimpi burukku. Daisy Listya seakan mau berkata bahwa Diana Faria bukan milikku tapi semata-mata hanya milik Allah.
Oh Tuhan 20 tahun sudah aku telah menyia-nyiakan waktu. Ampuni hambaMu yang telah menganiaya diri sendiri.   Ampuni hambaMu yang sudah tidak tahu diri merasa memiliki yang bukan haknya padahal segala sesuatu hanya Engkaulah yang berhak.
Di depan komputer itu aku sebenarnya lebih banyak termenung dari pada memperhatikan data penelitian yang mau kujadikan bahan Simposium Farmakologi di ITB.  Siapa lagi yang membuat aku lebih banyak  termenung selain Daisy Listya.
Sudah dua minggu yang lalu aku terakhir bertemu Listya di hari Wisuda itu. Padahal baru dua minggu yang lalu tapi rasanya seperti sudah dua tahun yang lalu. Mungkin karena aku sangat merindukannya, entahlah. Kini selalu terngiang-ngiang ucapan Daisy Listya : “Kita sebenarnya tidak pernah memiliki apapun maka oleh sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki!”
Aku sangat bersyukur kepada Allah sudah berkenalan dan merasa dekat dengan Daisy Listya. Sekarang paling tidak hatiku sudah terbuka walaupun sebenarnya harapanku adalah gadis itu. Aku benar-benar merindukannya. Kadang-kadang aku merasa tergoda untuk menghubungi nomor handphone nya tapi selalu kuurungkan. Bahkan pernah terpikir agar nomor handphone Listya di delete saja agar aku  bisa melupakannya. Namun hal itu juga tidak kulakukan. Saat aku merindukan Listya pernah aku berharap tiba-tiba saja ada sms darinya mungkin hanya sekedar mengatakan ‘Pak bagaimana kabar?’ tapi ternyata tidak pernah ada. Listya sudah benar-benar menghilang. Belum pernah aku merasakan kehampaan seperti ini. Mungkin Listya sekarang sudah kembali ke Malang ke rumah orang tuanya. Sebenarnya Malang hanya 90 km dari Surabaya. Aku sendiri kalau sedang bosan di Surabaya sekali-kali pergi rekreasi ke Kota Malang yang sejuk. Aku sebenarnya bisa ke Malang kapan saja untuk bertemu Listya tapi aku tidak tahu alamatnya. Andaikata tahu alamatnyapun lalu sebenarnya  apa keperluanku menemuinya?. Tidak ada alasan satupun yang kutemukan jika aku menemui gadis itu.
Sudahlah Alan. Listya rupanya dikirim Allah hanya untuk dikenang. Gadis itu dikirim Allah untuk menggugah hatimu agar kamu mulai terbuka lagi menerima uluran calon teman hidupmu.
Suara hatiku seakan memberontak. Aku harus merelakan Listya. Maka sore itu dari Laboratorium HPLC itu aku hanya mendapatkan kehampaan yang amat sangat walaupun disana sebenarnya sudah ada cinta.
Hari sudah semakin sore dan hujan baru saja reda ketika aku meninggalkan Laboratorium HPLC menuju ruang kerjaku di Gedung Fakultas Farmasi. Memang pada bulan Januari ini kota Surabaya sedang diguyur hujan hampir setiap sore. Aku menyusuri trotoar jalan dalam Kampus tiba-tiba terdengar seseorang memanggilku. Suara perempuan. Oh ternyata Amelia, sobatnya Listya.
”Mel wah kamu rupanya masih betah di sini  saya kira sudah hilang kemana kerja dimana atau diboyong suamimu! ” kataku  bercanda.
”Pak Alan bisa saja. Tadi saya baru ngurus legalisir ijazah dan ada keperluan administrasi dengan Fakultas. Oh ya pak ada salam dari Listya ”kata Amelia. Mendengar ini bagaikan ada badai dari Surga bukan angin lagi. Ya hanya salam dari Listya telah membuat aku sangat bahagia.
”Terima kasih sampaikan salam kembali kalau ketemu dia ya!” kataku berusaha menyembunyikan rasa bahagiaku.
”Dua hari yang lalu saya ketemu Listya di Kampus. Waktu itu dia juga ingin ketemu Bapak tapi katanya Bapak sedang ke Bandung ” kata Amelia.
”Dua hari yang lalu?. Oh ya saya pulang menjenguk Ibu. Kok Listya tidak sms saya atau telpon?” tanyaku.
”Kata Listya tidak apa-apa, dia hanya ingin ketemu saja ” Amelia menjelaskan.
Oh Tuhan dia ingin ketemu denganku apakah artinya dia juga rindu padaku. Kembali aku merasakan kebahagiaan karena harapan itu kembali muncul. Tapi nanti dulu laki-laki yang dulu waktu wisuda itu kan calon suaminya. Tidak Alan, kau tidak boleh berharap terlalu tinggi biar nanti kalau jatuh tidak terlalu sakit.
”Mel ngomong-ngomong kapan saya terima undangan dari Listya tolong kalau ketemu tanyakan ya...oh iya juga dari kamu kapan nih undangan pernikahannya !” tanyaku.
”Wah kalau saya masih lama Pak. Kepingin kerja dulu dong, kalau Listya mungkin bulan depan tapi kemarin calon suaminya baru saja masuk Rumah Sakit namun tidak cerita sakit apa!” kata Amelia.
”Apakah sekarang masih di Rumah Sakit?  Rumah Sakit mana di Malangnya ” tanyaku penasaran.
”Rumah sakit Saiful Anwar Kamar 2 Pavilliun Anggrek  Kemarin saya dan teman-teman baru saja menjenguk dan juga ketemu dengan Listya ” kata Amelia.
”Saya ingin menjenguk calon suami Listya. Bagaimana kalau Amel menemani saya besok Minggu jika Amel tidak punya acara?” tanyaku.
”Okey Pak saya Minggu tidak ada acara. Kita janjian ketemu di Kampus saja bagaimana Pak?”  usul Amelia.
”Okey kita ketemu pk 7.00 ya!” kataku.
Minggu pagi itu aku dan Amelia sudah meluncur di atas jalan Tol menuju Malang. Sampai di Porong yang terkenal dengan Lumpur Lapindonya kendaraan mulai merayap pelan-pelan tidak sampai macet total tapi volume kendaraan cukup padat terutama yang menuju arah Malang. Hari Minggu biasanya orang-orang Surabaya banyak yang rekreasi ke Malang. Ternyata tidak sampai satu jam kemacetan di Porong bisa dilalui dengan lancar. Akhirnya kami sampai di RS Saiful Anwar sudah hampir pk 10.00. Memang perjalanan yang panjang karena macet di Porong, Singosari dan kota Malang sendiri sekarang sudah terlalu padat dengan kendaraan bermotor sehingga kemacetanpun terjadi dimana-mana.
Amelia mengajakku ke Ruang Paviliun Anggrek yang ada di lantai 3. Sesampai di sana ada beberapa Perawat yang sedang piket di Loby Ruangan Masuk. Di depan kamar pasien, Amelia mengetuk pintu perlahan. Seseorang membukakan pintu. Seorang lelaki yang rasanya pernah ketemu ya ini adalah Pak Sofyan,Ayah Listya.
”Oh Amel...sama Pak Alan!” katanya ramah. Rupanya beliau masih ingat namaku.
”Mari silahkan masuk Pak ” sambil membukakan pintu. Aku baru saja memperhatikan Pak  Sofyan ya kira-kira usianya sama denganku sekitar 45 tahun. Nanti dulu di ruangan ini tidak nampak Listya. Ya tidak ada Listya di situ hanya ada Rizal ya Rizal nama tunangannya Listya, sedang terbaring dengan infus sementara di sampingnya ada seorang gadis seusia Listya mungkin adiknya. Melihat aku datang, Rizal kelihatan sangat senang.
”Terima kasih Pak Alan mau menjenguk saya!” kata Rizal.
”Ya Mas Rizal. Saya baru tahu dari Amel kemarin mangkanya baru sekarang bisa menjenguk. Oh ya bagaimana diagnosa terakhir dari dokter Ahli disini?” tanyaku.
”Sudah diketahui ada batu ginjal yang harus diambil dan kemungkinan adanya infeksi yang cukup serius. Tahap awal ini batu ginjal harus segera di operasi setelah itu baru penyembuhan infeksi ginjal ” kata Rizal.
”Syukurlah kalau sudah ketahuan penyakitnya. Rencana operasinya kapan?”
”Insya Allah Rabu pekan depan. Mohon doa restunya Pak!” kata Rizal.
”Ya Mas Rizal semoga semuanya berjalan lancar dan operasinya sukses!”
”Oh iya. Tya baru saja tadi pagi gantian jaga dengan adik saya. Perkenalkan Pak Alan ini adik saya namanya Risa, ” kata Rizal sambil memperkenalkan adiknya yang berdiri disampingnya. Aku menjabat uluran tangannya. Rizal mengatakan adiknya baru masuk Perguruan Tinggi di Malang. Gadis manis ini agak pendiam kesan itu terlihat waktu Risa mengucapkan namanya demikian pelan nyaris tidak terdengar namun gadis ini masih sempat tersenyum malu. Ya Risa disamping pendiam juga nampaknya pemalu.
”Risa anak bungsu ya !” tanyaku. Dia hanya tersenyum mengangguk. He he he gadis bungsu pendiam dan pemalu.
”Ya Pak kami hanya dua bersaudara. Saya sendiri anak sulung dan Risa ini satu-satunya adik saya ” kata Rizal menjelaskan.
Kami mengobrol cukup akrab tidak terasa hari sudah siang. Akhirnya aku dan Amel berpamitan sambil mengharapkan Rizal segera sembuh dan operasi batu ginjalnya lancar. Pak Sofyan mengantar sampai pintu.
”Terima kasih pak Alan sudah berkunjung, sayang sekali tidak ketemu dengan Tya!” kata Pak Sofyan. Semua orang disitu memang memanggil Listya dengan Tya sedangkan teman-teman Kampusnya dulu seperti Amel memanggil gadis itu dengan Lis atau Listya.
”Tidak apa-apa kan sudah bertemu dengan Rizal yang penting segera sembuh. Titip salam saja untuk Listya mudah-mudahan tabah menghadapi cobaan ini” kataku mencoba menghibur Ayah Listya.
”Ya Pak terima kasih, nanti salamnya saya sampaikan kepada Tya !”
Aku dan Amelia akhirnya meninggalkan RS Saiful Anwar Malang. Setelah mampir makan siang terlebih dulu di sebuah Cafe Jalan Soekarno-Hatta, tempat langgananku jika aku berkunjung ke Malang, akhirnya kami kembali meluncur menuju Surabaya.
Sepanjang perjalanan hujan turun menemani kami. Aku melihat Amel sudah kelihatan ngantuk dan tertidur dalam alunan musik dari tape mobil yang mengalunkan lagu For You To Remember nya Leon Hainnes Band dan Good bye nya Air Supplay. Selesai lagu itu disambung dengan lagu Richard Marx :”……If I see you next to never, how can we say forever …..Wherever you go, whatever you do . I will be right here waiting for you . Whatever it takes or how my heart breaks . I will be right here waiting for you…….”
Lagu-lagu itu memang akan selalu mengingatkanku kepada Listya. Ya I will be right here waiting for you. Saat saat aku masih biasa bertemu dengannya di jalan trotoar Kampus atau di koridor Laboratorium atau di Ruang HPLC atau di Ruang kerjaku sambil diskusi tentang skripsinya.
Ya Daisy Listya mengapa aku tidak dapat menghapus bayanganmu dari dalam anganku. Mengapa aku tidak bisa memindahkan dirimu dari ruang hatiku karena sekarang seolah dirimu sudah mengisi ruang dimana dulu Diana Faria berada. Listya padahal sebentar lagi kau akan melengsungkan pernikahan dengan orang yang kau cintai yaitu Rizal. Mengapa dirimu begitu kuat mencengkram perasaanku seperti halnya dulu Diana Faria membelengguku dalam jebakan masa lalu.
Aku   benar-benar tidak mengerti apa yang sedang Engkau rencanakan untukku ya Allah.
Seperti biasa di kawasan Porong kemacetan kendaraan sudah menjadi rutin apalagi Minggu sore seperti ini banyak kendaraan dari arah Malang menuju Surabaya.
“Oh maaf  Pak…saya ketiduran…,” suara Amelia membangunkanku dari lamunan. Aku tersenyum melihat Amelia seperti orang linglung.
“Tidak apa apa Tuan Putri!” kataku sambil ketawa.
“Ah Pak Alan saya jadi malu…oh ya sayang sekali tadi tidak ketemu Listya. Sebenarnya saya  sudah hubungi handphone nya tapi tidak diangkat mungkin Listya masih istirahat tidur kelelahan habis piket malam !” kata Amelia.
“Ya Mel tapi yang penting kita sudah menjenguk tunangan Listya dan kita tahu dia sudah berangsur sehat. Oh ya apakah Amel tahu kapan mereka melangsungkan pernikahannya?” tanyaku.
“Dulu Listya pernah cerita akan menikah bulan Maulud ini tapi dia juga pernah curhat sama saya Pak tentang pernikahannya ini ” kata Amelia.
“Curhat bagaimana Mel?” tanyaku penasaran.
“Listya baru bertunangan dengan Rizal kira-kira sebulan sebelum wisuda dan saat itu sekaligus lamaran. Listya sebenarnya belum tahu apakah dia mencintai Rizal atau tidak karena yang dia lakukan adalah hanya menyenangkan kedua orang tuanya yang banyak berhutang budi kepada keluarga Mas Rizal. Selama ini keluarga Mas Rizal banyak membantu biaya kuliah Listya sampai dia lulus sekarang ini!” kata Amelia.
Aku sungguh terkejut. Listya ternyata tidak mencintai Rizal dan dia bertunangan dan menerima lamaran Rizal karena campur tangan orang tua mereka.
“Oh begitu !” kataku pura-pura tenang menanggapi cerita ini padahal aku sangat terkejut bercampur bahagia karena ternyata Listya belum tentu mencintai Rizal. Sebuah harapan kembali muncul.
“Tapi Mel mudah-mudahan Listya akhirnya mau mencintai Mas Rizal karena aku lihat Mas Rizal begitu mencintai Listya !” kataku. Aku tidak tahu kata-kata ini hanya basa-basi atau tidak tapi itu adalah doa. Ya Allah mudah-mudahan itu doa yang tulus. Aku paling takut dengan ke pura-puraan.
“Ya Pak tapi menurutku Listya tidak mencintai Mas Rizal…dia hanya ingin menyenangkan kedua orang tuanya ” kata Amelia. Kembali aku terkejut dengan keyakinan Amelia.
“Listya pernah bercerita waktu itu walaupun seperti bergurau bahwa dia sedang mengagumi seseorang. Saya bertanya siapa?. Listya hanya tertawa sambil berkata rahasia ” kata Amelia membuatku semakin penasaran. Tapi aku tetap mencoba diam tidak bereaksi.
“Pak kan aneh kalau Listya mengagumi seseorang soalnya dia terbiasa dikagumi orang-orang. Cewek-cewek saja suka sama dia karena keramahannya apalagi cowok. Banyak yang mencoba mendekati Listya tapi dia selalu menghindar dan menolaknya dengan sopan. Saya jadi yakin  rupanya dia memang sedang mengagumi seseorang hanya sampai sekarang dia tidak pernah cerita siapa yang dia maksud…tapi yang jelas orang yang dikagumi Listya tidak sembarang orang, ” kembali kata Amelia. Wah makin banyak nih informasi tentang Listya. Bahagianya orang yang dikagumi Listya.
Diskusi tentang Listya ditengah kemacetan jalan Porong  justru membuat betah sehingga tidak terasa kami sudah keluar dari kemacetan yang panjang dan sekarang sudah meluncur di jalan Tol Porong – Surabaya. Sementara itu masih banyak informasi baru yang keluar dari bibir mungil Amelia, sahabat dekatnya Listya.
“Oh ya dia juga pernah bicara tentang Pak Alan. Katanya Bapak itu orangnya sabar, telaten dan sangat perhatian. Dia merasa bangga menjadi mahasiswi bimbingan Bapak. Lalu pernah bertanya-tanya Pak Alan itu pacarnya siapa ya    kok masih betah sendirian, “ kembali suara Amelia. Aku cukup terkejut juga mendengar cerita Amelia ini yang satu ini.
“Tahu nggak  Pak, waktu itu saya sempat menggoda Listya dengan pertanyaan Lis kamu naksir ya sama Pak Alan? Aku lihat dia terkejut mendengar pertanyaan ini kemudian sambil tersenyum Listya menjawab yang jelas Pak Alan tak mungkin naksir aku dia kan pasti menganggapku seperti anaknya kan usia Pak Alan hampir sama dengan Bapakku….!”  kata Amelia dengan suara polos.
Mendengar ini aku tersenyum. Tapi mungkin saja aku naksir kamu Listya he he he. Memang Amel ini kalau sudah bercerita ngerumpi susah untuk dihentikan tapi malah tidak apa apa karena aku dapatkan info gratis tentang Listya. Tidak terasa akhirnya kami sudah memasuki jalan Tol dalam kota. Aku mengambil pintu keluar Tol arah Satelit menuju TVRI di Jalan Mayjen Sungkono kemudian menuju Jalan Dr.Sutomo menyeberang Jalan Raya Darmo kearah Kertajaya. Amelia tinggal di kawasan Dharmahusada.   Aku mengantar Amelia sampai di depan rumahnya.
“Amel saya sangat berterima kasih sudah mau menemani sepanjang hari ini !” kataku.
“Ya pak sama-sama. Bapak singgah dulu?” Amelia menawarkan agar aku singgah.
“Okey Mel lain kali saja thanks..!” kataku lalu segera aku berpamitan.  
Hari yang sangat melelahkan namun juga menyenangkan karena banyak cerita tentang Listya. Hampir Magrib akhirnya aku tiba di rumah. Seperti biasa si Mbok sudah menyiapkan secangkir kopi dan makanan kue di atas meja beranda rumah. Aku benar-benar sangat lelah sekali. Tiba-tiba hand phone ku bernyanyi. Aku lihat siapa ya?. Oh ternyata Listya menghubungiku.
“Ya Assalaamu alaikum….,” jawabku.
“Saya Tya pak…,” suara Listya diseberang sana.
“Oh ya Listya…saya masih hafal suaramu !” kataku. Tentu saja suaranya yang merdu mana mungkin aku bisa lupa.
“Saya takut Bapak lupa karena lama kita tidak pernah saling telepon. Oh ya Pak maaf tadi saya tidak bisa menemui waktu Bapak menjenguk mas Rizal!” kata Listya.
“Tidak apa-apa  Lis yang penting Mas Rizal sudah semakin membaik dan mudah-mudahan besok Rabu operasinya berjalan lancar dan sukses!”
“Iya Pak terima kasih doanya dan kunjungannya untuk Mas Rizal. Ini sekarang sudah sampai Surabaya Pak?”.
“Ya Lis alhamdulillah sudah di rumah baru saja sampai !”
“Syukurlah perjalanannya dari Malang Surabaya lancar. Minggu lalu saya ke Kampus ada urusan penyelesaian administrasi dan juga mau ketemu Bapak tapi waktu itu sedang ke Bandung ” kata Listya.
“Ya saya juga dengar dari Amel ada Listya namun waktu itu sayang sekali kita tidak bisa ketemu. Oh ya Lis sekali lagi mudah-mudahan Mas Rizal cepat sembuh sehingga semua rencana berjalan lancar. Saya dengar Listya bulan Maulud ini sudah mau menikah, saya ikut berbahagia Lis,” suaraku agak bergetar karena menahan perasaan yang tidak menentu. Beberapa saat Listya terdiam.
“Ya Pak terima kasih” jawab Listya pendek.
Kudengar suaranya seperti menahan tangis bukan suara kebahagiaan mungkin karena Rizal sakit sehingga Listya merasa sedih.
“Insya Allah Listya  mas Rizal sembuh. Tidak perlu khawatir semuanya sudah ditangani dokter. Saya akan terus berdoa untuk kebaikannya dan juga kelancaran pernikahan Listya ” kataku menghibur. Beberapa saat tidak ada jawaban Listya. Gadis ini seperti terdiam membisu. Cukup lama terdiam sehingga ada kekosongan pembicaraan  sampai akhirnya aku kembali bersuara :
“Hallo Listya…kamu baik-baik saja?  Listya?” tanyaku.
“Ya pak…tidak apa apa. Maaf pak saya sudahi dulu ya…sekali lagi terima kasih untuk semuanya untuk doanya…saya juga berdoa mudah-mudahan Bapak juga segera mendapatkan kebahagiaan dengan orang yang menggugah perasaan Bapak yang dulu pernah cerita sama saya…sekali lagi saya minta maaf Pak..Assalaamu alaikum” kata Listya suaranya seperti menahan tangis.
“Wa alaikum salaam!” jawabku.
Apa yang terjadi. Mengapa Listya tidak nampak bahagia menghadapi hari pernikahannya?. Kemudian kata-katanya tentang orang yang menggugah perasaanku seperti ada perasaan cemburu dari nada bicaranya. Dia tidak tahu orang tersebut adalah dirinya. Ada apa denganmu Listya. Teringat cerita Amelia bahwa Listya mau menikah karena keluarganya berhutang budi kepada keluarga Rizal. Namun kenapa tidak, Rizal adalah pemuda yang baik sudah bekerja mapan dari keluarga berkecukupan dan kesanku Rizal sangat sayang kepada Listya. Mengapa Listya tidak mencintai Rizal?. Lalu siapa orang yang saat ini sangat dikagumi oleh Listya seperti diceritakan Amelia?.  Teringat pula cerita Amelia ketika menggoda Listya :
“Tahu nggak  pak…waktu itu saya sempat menggoda Listya dengan pertanyaan Lis kamu naksir ya sama pak Alan?. Aku lihat dia terkejut mendengar pertanyaan ini kemudian sambil tersenyum dia menjawab yang jelas pak Alan tak mungkin naksir aku dia kan pasti menganggapku seperti anaknya usia Pak Alan kan sama dengan Bapakku….!”
Mendengar ini terus terang aku jadi sadar betapa jauh usia antara aku dan Listya. Aku berusia 45 tahun sedangkan sekarang Listya baru 21 tahun selisih 24 tahun. Namun aku tidak tahu, sebenarnya cinta itu bukan soal usia tapi soal perasaan. Aku melihat Litya adalah sosok dewasa yang sangat berkepribadian lengkap. Listya adalah wanita idealku. Listya walaupun seperti titisan Diana Faria tapi Listya adalah Listya. Gadis ini sudah menjadi dirinya sendiri.  Terlalu banyak persamaan antara Daisy Listya dan Diana Faria namun aku harus realistis Listya adalah Listya.
Dalam kekalutan seperti ini bagaimanapun aku merasakan kebahagiaan karena telah menerima telpon Listya padahal selama ini setiap aku menelpon dia tidak pernah hp nya diangkat walaupun aku tahu hp nya aktif. Aku tidak mengerti mengapa Listya seperti selalu menghindar dariku. Namun beberapa waktu yang lalu malah Listya ingin bertemu denganku. Rasanya banyak sekali pertanyaan tentang Listya yang sangat aku butuhkan jawabannya. Siapakah orang yang dia kagumi seperti yang diceritakan Amelia?. Apakah memang benar Listya tidak mencintai Rizal?. Jika benar, mengapa dia mau menikah dengan Rizal?. Apakah pernikahan mereka hanya atas dasar hutang budi keluarga Listya kepada keluarga Rizal?. Semua pertanyaan tersebut belum ada satupun jawabannya. Kemana aku harus mencari jawabannya?. Entahlah.
Senin pagi bagi para pegawai adalah hari paling malas. Ada ungkapan terkenal  yang berbunyi  I don’t like Monday. Ungkapan itu ternyata bagiku saat ini tidak berlaku walaupun aku juga adalah pegawai negeri. Senin pagi itu aku begitu bersemangat menuju Kampus untuk bekerja. I like  Monday he he he melawan arus. Aku tidak tahu Senin pagi ini aku  begitu segar dan bersemangat. Apakah mungkin karena sudah menerima telpon dari Listya?. Ha ha ha mungkin juga. Tidak akan pernah habis aku membicarakan Listya karena dia adalah gadis yang telah membangunkanku dari tidur panjang. Seperti biasa pagi itu mobil ku parkir ditempat parkir Fakultas. Di ruang kerjaku yang pertama kulakukan adalah menyalakan komputer. Lalu aku buka agenda hari ini. Pk.8.00 : Mengisi kuliah semester 6.  Pk 10.00 : Rapat akreditasi laboratorium. Pk 13.00 : Mengisi kuliah semester 8. Pk 15.00 : free. Agenda cukup padat  tapi aku hari Senin ini begitu semangat. Aneh. Kegiatan berikutnya membuka email. Wow ada email dari Indra Susanto, sahabatku sewaktu kami kuliah di Bogor. Rupanya dia mau ke Surabaya untuk menghadiri Seminar Nasional Kimia di ITS 25 Januari ini. Hai nanti dulu 25 Januari itu kan hari ini. Wah Si Indra ada di Surabaya. Aku mencari nomornya di Hand Phone kemudian aku mencoba menghubunginya.
“Hallo…Alan …Assalaamu alaikum Profesor?” suara Indra lantang di seberang sana.
“Wa alaikum salaam. Indra sudah di Surabaya? Sudah di ITS? Pagi ini aku baru saja buka emailmu…andaikata tidak aku tidak tahu jika kamu ada di Surabaya. Sudah mulai seminarnya?” tanyaku.
“Ya ini masih Sidang Pleno. Aku pagi ini baru tiba!” kata Indra.
“Sebaiknya nanti menginap di tempatku saja. Sore nanti aku jemput.  Bagaimana khabar istri tercinta, Aini?” tanyaku.
“Alhamdulillah baik-baik terimakasih. Aini kirim salam untukmu. Kapan kamu kawin katanya he he he!” kata Indra.
“Ha ha ha tahun ini insya Allah!” kataku mantap.
“Serius Al?” Tanya Indra penasaran
“Lho ya serius atuh…kumaha..si Akang teh….aku serius tahun ini insya Allah..he he he!” kataku kembali menjawab sambil terkekeh kekeh.
“Bagaimana bisa serius bung…jawabannya saja tidak meyakinkan…!” kata Indra. Mendengar ini aku tertawa. Akhirnya kami sepakat sore nanti aku menjemput Indra di ITS untuk menginap di rumahku. Seminar Nasional Kimia di ITS berlangsung dua hari. Sore itu didepan Loby Auditorium Perpustakaan Pusat ITS dimana seminar tersebut berlangsung, aku menunggu kemunculan Indra Susanto. Tidak begitu lama Seminar sore itu usai sudah dan para peserta segera meninggalkan ruangan. Diantara orang-orang yang berhamburan keluar ruangan aku melihat sosok yang sudah tidak asing lagi.
“Indra !” sapaku. Kami saling berpelukan dengan rasa gembira.
“Al kau tidak banyak berubah tetap saja ganteng dan awet muda. Pasti di Kampusmu banyak digila-gilai mahasiswi. Mereka suka sama Dosen ganteng!” kata Indra. Aku tertawa mendengar omongan Indra.
“Iya memang mahasiswi-mahasiswi itu menggila-gilai aku.  Gila,Gila,Gila begitu kata mereka ha ha ha ha!” kami tertawa. 
Kami meninggalkan ITS dan mulai meluncur menyusuri jalan Kertajaya menuju arah Darmo-Dr Sutomo-Mayjen Sungkono-Tol dalam Kota dan keluar di Menanggal akses ke arah Mesjid Al-Akbar. Itulah rute rutinku setiap hari.
“Wah Al ini rumah hanya tinggal diisi oleh nyonya rumahnya saja…semua sudah lengkap!” kata Indra sambil mengamati beberapa lukisan karyaku.
“Masih melukis Al?. Dua lukisan dipojok itu aku sudah tahu sewaktu dulu di Bogor sedangkan yang ini rupanya baru ” sambil mengamati sebuah lukisan cat minyak yang menggambarkan nelayan pantai Kenjeran di senja hari. Lukisan ini aku buat di pantai Kenjeran dalam suasana senja dengan warna orange dominan menjelang Matahari tenggelam. Malam itu setelah makan malam kami duduk sambil berbincang tentang masa lalu di Beranda depan.
“Al kenalkan dong calon istrimu. Tadi kamu bilang mau nikah tahun ini?” kata Indra.
“Ya tadi aku bercanda. Memang aku sekarang sudah menemukan seorang gadis pengganti Diana Faria bahkan banyakkemiripan karakter dan sifatnya ” kataku.
“Alan sampai kapan kamu selalu terbelenggu masa lalumu bersama Diana Faria? Saatnya kini mulai membuka diri. Lihat disekelilingmu banyak wanita cantik!” kata Indra.
“Dengar dulu jangan potong ceritaku!” kataku.
“Okey siapa nama calon istrimu?” tanya Indra.
“Daisy Listya!” kataku mantap tanpa ragu. Sebenarnya aku hanya bermaksud bercerita hal yang saat ini terjadi tapi yang jelas saat ini Listya bukan calon istriku tapi calon istrinya Rizal.
“Wah nama yang cantik. Aku yakin orangnya juga cantik. Jangan-jangan Diana Faria kalah cantik ” Indra mulai berkomentar.
“Listya, begitulah aku memanggilnya adalah gadis cantik sangat berkepribadian. Seorang muslimah yang taat pada ajaran Allah. Gadis berjilbab yang ramah tutur kata dan kaya dengan senyum. Usianya baru 21 tahun dan baru saja di wisuda Sarjana Farmasi !”
“Hah usianya 21 tahun. Alan gadis itu seusia Ratu Aulia, anak  gadisku yang bungsu ” kata Indra terkejut.
“Bulan depan dia menikah dengan calon suaminya” kataku. Indra tambah terkejut lagi lalu dia menjabat tanganku sambil mengucapkan selamat.
“Tapi bukan menikah denganku” kataku.
Mendengar penjelasan ini Indra bukan lagi terkejut malah tertawa terbahak-bahak. Kucoba menjelaskan serinci mungkin kisahku dengan Listya. Indra menyimak dengan baik kisah cintaku.
“Alan, ini mirip kisah Indra Susanto dan Aini Mardiyah….!” kata Indra mengingatkan kisah cintanya dengan Aini yang sekarang sudah menjadi istrinya.
“Ya mudah-mudahan seperti itu karena kisah cintamu berakhir bahagia!” kataku berharap.
“Alhamdulillah Alan semua kulalui dengan Ridho Allah dan aku yakin semua yang Allah kehendaki tidak ada yang mampu mencegah kehendakNya. Mudah-mudahan kisah antara Alan Erlangga dan Daisy Listya berakhir bahagia !” kata Indra berfilsofi.
Aku hanya tersenyum kecut. Bulan depan Listya mau menikah mana mungkin. Ya mana mungkin. Namun bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Untuk saat ini lebih baik aku berdoa untuk kebahagiaan Daisy Listya. Mencintai tidak harus memiliki.
Indra adalah sahabatku sewaktu sama-sama SMA dan kuliah S1 di Bogor. Indra adalah sahabat seperjuangan. Banyak ceritaku  bersamanya dan banyak pula ceritanya bersamaku. Kami seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan bahkan sampai sekarang. Persahabatan yang tulus penuh dengan pengertian dan saling mengisi. Kami bersahabat dengan berharap kepada cinta Allah semata. Demikianlah malam itu kami mengobrol sampai larut malam hingga dini hari tidak terasa malam yang kami lalui begitu cepat berlalu. Dua hari bertemu dengan sahabatku membawa rasa semangat perjuangan masa lalu seperti terasa saat ini.  Ada kata-kata Indra yang menjadi pendorong semangatku yaitu semua yang Allah kehendaki tidak ada yang mampu mencegah kehendakNya. Mudah-mudahan kisah antara Alan Erlangga dan Daisy Listya berakhir bahagia.  Semoga begitu.
Diujung bulan Januari ini hujan di kota Surabaya masih tetap curahnya tinggi. Setiap sore turun hujan. Hari ini hari Rabu aku ingat Rizal operasi pengambilan batu ginjal. Sekarang sudah pk 16 lewat 5 menit. Mungkin operasinya sudah selesai. Rasanya aku ingin menelpon Listya. Ada keraguan untuk menelpon Listya. Tapi tiba-tiba saja handphoneku berbunyi. Ternyata dari Listya.
“Pak ini Tya…Alhamdulillah operasinya berhasil dan sekarang Mas Rizal sudah siuman….,” suara Listya dari seberang sana dengan nada gembira.
“Alhamdulillah Listya. Saya ikut senang sampaikan salam untuk Mas Rizal..!” kataku.
“Ya ini sudah saya sampaikan. Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Bapak..,” suara Listya penuh haru.
Berita gembira ini tentu saja membuat aku bersyukur karena berarti pernikahan Listya dengan Rizal tidak mengalami hambatan. Aku selalu berdoa untuk kebahagiaan Listya. Dalam hati kecilku ada rasa yang tidak bisa aku ungkapkan betapa pedihnya ketika Listya menikah dengan orang lain yang bukan aku. Namun aku harus berusaha untuk tetap tegar dan tabah karena ini jangan-jangan ujian Allah berikutnya yang harus aku hadapi. Teringat FirmanNya :”Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat menjadi penolongmu sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar..!”

Hari Kamis ini aku baru sadar bahwa semua agenda sudah selesai sementara waktu baru menunjukkan pk 14.30. Bagiku masih terlalu pagi kalau aku harus pulang walaupun tidak ada kegiatan lagi. Di ruang kerjaku aku mengisi waktu luangku dengan mengisi buku harian yang selalu setia menemani keseharianku. Sementara itu walaupun hari masih siang ternyata mendung sudah mulai mengurung langit disekitar Kota Surabaya ini. Tiba-tiba aku dikejutkan suara ketukan halus di pintu.
“Ya masuk!” kataku.
“Assalaamu alaikum ” suara merdu seorang gadis yang sangat familiar ditelingaku. Oh Tuhan Daisy Listya berdiri di depan pintu yang terbuka sambil  tersenyum manis. Aku memandang gadis ini tertegun sejenak terpana namun cepat tersadar. Kombinasi warna gelap jilbab dengan busana muslim warna pink membuat gadis ini terlihat anggun. Sebenarnya pakaian warna apa saja yang dikenakannya pasti membuat Listya tetap cantik dan menarik karena kecantikannya bisa juga dirasakan dengan hati.
“Listya…wa-alaikum salaam masuk Lis silahkan duduk..!” kataku mempersilahkan gadis cantik ini duduk.
“Bagaimana kabar Listya juga Mas Rizal?” tanyaku.
“Alhamdulillah baik-baik. Mas Rizal dan Bapak kirim salam untuk Pak Alan!” kata Listya.
“Terima kasih sampaikan salam juga untuk mereka. Oh ya Listya ada kabar kejutan apa nih?” tanyaku sambil tersenyum. Sejenak gadis ini terdiam.
“Saya mengantarkan Undangan Pernikahan saya Pak. Saya sangat berharap Bapak bisa hadir di pernikahan saya…,” kata Listya dengan suara yang sangat pelan. Ada apa Listya seperti merasa sedih bukannya bahagia menghadapi hari pernikahan. Aku menerima Undangan berwarna abu-abu muda dengan tulisan berwarna biru tua. Kombinasi warna yang sejuk. Kubuka Undangan itu. Menikah Daisy Listya dan Rizal Anugerah.
“Ya Listya saya akan datang Insya Allah. Semoga kita diberikan Allah kesehatan dan kesempatan!”  kataku.
“Iya pak terima kasih…!” kata Listya. Awan mendung semakin tebal dan hujan rupanya akan segera turun membumi.
“Pak Alan bolehkah saya bertanya?” kata Listya.
“Boleh Lis mau tanya apa?” kataku.
“Saya boleh tahu orang yang telah menggugah hati Pak Alan dari kebekuan selama ini seperti dulu pernah cerita. Mungkin dia nanti jadi calon istri Bapak!” kata Listya.
Aku benar-benar terkejut mendengar kata-kata Listya. Aku hanya terdiam beberapa saat. Aku benar-benar tak bisa menjawab.
“Listya ya betul seorang gadis telah membuat perubahan dalam hidup saya seperti dulu saya ceritakan. Namun saya yakin gadis itu tidak tahu kalau dia telah membukakan hati saya…!” kataku.
“Bapak bisa sebutkan orangnya nanti saya bantu biar dia tahu…!” kata Listya penasaran. Aku kembali terdiam dan tak mampu berkata apa-apa.
“Terima kasih Listya mau membantu saya tapi  biarlah dia akan tahu dengan sendirinya.  Maafkan saya ya Lis!” kataku.
“Tidak apa-apa Pak Alan. Sungguh saya sangat  terharu kalau ingat cerita Mbak Diana Faria. Bapak harus mulai mendapatkan teman hidup yang menjadi cahaya mata hati Bapak sehingga nanti akan  merasa tentram kepadanya. Saya akan bahagia jika Bapak segera menemukan gadis tersebut…,” kata Listya, suaranya yang lembut  dengan tutur kata yang memukau. Oh Tuhan didepanku ini adalah teman hidup yang menjadi idaman selama ini. Mengapa mahluk cantik di depanku ini tidak ditakdirkan untuk menjadi istriku?.
“Saya mohon pamit dulu Pak. Jangan lupa saya tunggu Undangan Pernikahan Bapak !” kata Listya.
Gadis cantik ini berpamitan mengucapkan salam sambil meninggalkan keramahannya. Aku menyempatkan mengantar Listya sampai di ujung pintu.
“Hati-hati Listya!” kataku. Mendengar ini Listya kembali tersenyum manis.
Hujan diluar sudah mulai turun membasahi tanah. Aku masih duduk memandang Undangan Pernikahan Daisy Listya.  Rasanya seperti mimpi. Aku sudah menemukan gadis yang mampu menggantikan Diana Faria namun gadis ini ternyata harus menikah dengan orang lain. Apa sebenarnya yang terjadi. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti.  Aku mencoba terus memahami arti hidup ini hari demi hari. Aku harus mulai mencoba pula melupakan harapanku terhadap Listya. Biarlah dia bahagia dengan orang yang dicintainya. Aku harus mencoba menjadikan hatiku memiliki ruang yang luas sehingga bisa menerima cobaan apapun yang terjadi padaku. Harus ku akui saat ini memang ada rasa cinta disalah satu ruang hatiku yang hampa. Cinta yang sudah terlantar selama 20 tahun. Entah akan kuberikan kepada siapa lagi jika bukan kepada Daisy Listya. Entahlah.



BERSAMBUNG Episode 3