Saturday, April 30, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (18)

Foto Fiksiana Community


Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode 18
MENIKMATI HARI INI
Walaupun rasa penat masih terasa namun aku tetap harus berangkat ke Kampus. Banyak yang harus aku kerjakan. Tumpukan skripsi dan thesis mahasiswa bimbinganku yang harus aku revisi dan tentu saja beberapa kertas kerja dan makalah yang dalam dua hari ini masih terbengkalai padahal deadline nya sudah semakin dekat.
Seperti biasa setelah berjuang dengan kemacetan lalu lintas Kota Surabaya akhirnya aku tiba di Kampus. Langsung saja aku menuju ruanganku di lantai 2 Fakultas Farmasi. Aku lihat meja kerjaku berantakan tidak karuan, padahal aku biasanya selalu merapikan meja sebelum pulang namun beberapa hari ini kebiasaan baikku itu entah hilang kemana. Efek psikologis dari hati yang sedang galau telah ditunjukkan oleh kondisi berantakannya meja kerja he he he. Aku merapikan meja kerja itu. Satu demi satu kertas, buku buku dan apa saja yang ada disitu dirapikan atau disingkirkan dan ditempatkan kembali ke dalam laci atau rak buku. Tiba-tiba selembar kertas terjatuh lalu aku pungut kembali. Ternyata sebuah Undangan Peresmian Apotek dari Audray siang ini.
Apotek ini berada di Pucang Adi. Audray Lin salah satu dari mahasiswiku yang punya prestasi baik. Audray berasal dari Malaysia mempunyai Tante yang menikah dengan Pria Tionghoa kelahiran Surabaya. Selama kuliah di Fakultas Farmasi, Audray tinggal dengan Tantenya. Gadis ini sangat ceplas-ceplos dan agresif. Logat Malaysianya memang sudah hilang karena tinggal di Surabaya paling tidak sudah 4 tahun lebih. Sebenarnya aku paling risi menghadapi Audray ini sejak dia masih mahasiswa dulu sering menggodaku dan Audray adalah tipe gadis yang agresif apalagi dia tahu aku masih bujangan. Aku teringat ketika dia menjadi biang keladi hampir retaknya hubunganku dengan Listya. Ah lupakanlah yang sudah berlalu. Aku lihat kembali Kartu Undangan dari Audray. Mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Sdr dalam rangka peresmian APOTEK SENTOSA. Inshaa Allah aku harus hadir untuk memberikan apresiasi kepada Audray. Bagaimanapun juga dia adalah mahasiswiku yang berprestasi dan patut untuk dihargai.
Siang itu aku sudah berada di Apotek Sentosa. Melihat aku datang, Audray menyambutku dengan senyum dan perasaan gembira. Aku sempat terpana memandang Audray dengan cara berpakaiannya. Audray terlihat anggun dengan rambut terurai. Tidak lagi kulihat rok mini yang ketat yang mempertontonkan keseksiannya. Ternyata Audray Lin bisa juga berdandan anggun seperti ini. Berpakaian tertutup rapi sopan justru memberi kesan kecantikannya yang asli dengan kecantikan wajah khas oriental. Aku memang masih terpana terkagum kagum dan tabiat lamaku akhirnya kambuh juga dengan ceplosnya memuji Audray.
”Ah pak Alan bisa saja. Terima kasih pujiannya!” kata Audray. Aku juga terperanjat dengan respon jawaban Audray yang sopan penuh kewajaran. Tidak ceplas ceplos seperti biasanya. Aku dipersilahkan duduk di barisan kursi paling depan. Audray masih sibuk melayani tamu-tamu lainnya sementara aku ditemani Omnya mengobrol akrab. Bagi keluarga ini memang aku dikenal baik karena dulu juga sering berkunjung ke rumah keluarga ini. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kebanyakan tamu-tamu itu adalah rekan-rekan bisnis Tante dan Omnnya. Acara Pembukaan itu singkat saja. Sambutan dari Pak Tanuwijaya, omnya Audray juga singkat. Tak lupa beliau memperkenalkan Apoteker yang menangani Apotek Sentosa yaitu Audray Lin. Acara dilanjutkan dengan ramah tamah dan makan siang. Setelah makan siang itu aku segera berpamitan karena harus mengisi kelas Pasca Sarjana. Audray sempat mengantarku sampai tempat parkir mobil.
”Pak Alan terima kasih kehadiran dan dukungannya!” kata Audray.
”Sama sama Di. Sekali lagi selamat ya dan semoga sukses dengan bisnismu!” kataku. Audray hanya mengangguk tersenyum. Akupun segera berpamitan dengan melambaikan tanganku.
Sepanjang perjalanan menuju Kampus aku sempat tidak percaya bahwa Audray Lin ternyata bisa juga seanggun itu. Aku sangat terkesan dengan Audray Lin pada pertemuan siang ini. Hanya sebentar bertemu tapi pertemuan itu sangat berkualitas. Aku jadi teringat sejak peristiwa foto-fotoku dengannya yang membuat Daisy Listya prihatin dan berburuk sangka kepadaku. Sejak itu Audray banyak berubah dan yang lebih terharu bagaimana Audray merasa menyesali semua yang dia lakukan. Saat itu dia sudah minta maaf kepadaku juga kepada Listya atas foto foto rekayasanya. Pada kesempatan lain Audray pun sempat mencurahkan semua isi hatinya kepadaku. Pengakuan seorang gadis masa kini yang tegas  dan jujur.
”Pak Alan. Aku menyadari bahwa aku bukan orang yang menjadi impian Bapak selama ini!” kata Audray ketika kami berbincang bincang di beranda rumahnya.
”Apalagi aku adalah gadis dengan etnis Tionghoa dan seorang Katholik tentu semakin menjadi jauh dari kriteria Bapak!” kata Audray lagi.
”Didi!” aku memanggil Audray dengan panggilan kecil keluarganya yaitu Didi.
”Jangan berkata seperti itu. Semua manusia itu sama yang membedakan dihadapan Tuhan adalah sejauh mana pengabdian dan kesetiaan kepadaNya” kataku menjelaskan.
”Didi  berbicara mengenai jodoh sebaiknya serahkan kepadaNya. Dialah yang Maha Tahu pilihan teman hidup terbaik untuk kita!. Dia lah sebaik baik Penentu” kataku.
”Pak Alan kadang kadang aku iri kepada Listya. Dia seorang wanita yang lembut begitu ramah cara bertutur katanya kepada siapapun. Listya adalah wanita rupawan yang juga berhiaskan hati yang cantik!” suara  curahan hati Audray keluar dari bibirnya dengan wajah yang mendung.
”Di, kecantikan itu sangat relatif. Kamu juga cantik. Seharusnya banyak bersyukur kepada Tuhan. Memiliki tubuh yang ideal impian bagi kebanyakan gadis-gadis. Pasti banyak gadis-gadis yang iri padamu. Semua lelaki juga pasti suka kepadamu. Kecantikan fisik ini semakin menjadi tinggi nilainya ketika kau mau menutupinya dengan rapi dan menghiasinya pula dengan budi pekerti yang luhur!” kataku lagi dengan khotbah yang lebih panjang. Namun aku melihat ada secercah bahagia di wajah Audray ketika dia mendengar kata-kataku itu.
”Terima kasih Pak Alan. Memang cinta itu tidak bisa dipaksakan. Cinta harus memiliki frekuensi dan chemistry yang sama!” kata Audray.
Dialog tadi adalah saat-saat terakhir kami bertemu Audray dan kembali aku berjumpa Audray saat peresmian Apoteknya. Aku melihat Audray yang kujumpai kali ini adalah Audray yang baru terlahir kembali. Audray yang penuh percaya diri. Audray yang sudah tidak lagi mempedulikan apakah dia seorang Tionghoa atau Katholik atau siapapun tapi Audray yang peduli dengan dirinya sendiri sebagai hamba Sang Pencipta. Audray yang memiliki hak yang sama dan kewajiban yang sama. Hak untuk dicintai dan kewajiban untuk mencintai. Selanjutnya Tuhan lah yang menentukan jodoh terbaiknya dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik Penentu.
Tidak sadar rupanya kata-kata itu juga bisa berlaku kepadaku. Alan mempunyai  hak untuk dicintai dan kewajiban untuk mencintai dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik Penentu. He he he lamunan kecil itu aku akhiri ketika aku sudah memasuki pelataran parkir Fakultas. Aku segera begegas menuju ruang kerjaku mengambil laptop dan bahan-bahan untuk memberikan kuliah lalu menuju Gedung Pasca Sarjana yang berada dua blok dari Fakultas Farmasi. Waktu dua jam memberikan kuliah berlalu begitu saja. Ya itu hanya rutinitas biasa. Sudah berapa banyak mahasiswa yang juga menganggap bahwa kuliah kuliah yang mereka terima adalah rutinitas yang harus dilalui semata mata hanya untuk menggapai rutinitas berikutnya. Mungkin dulu ketika aku masih mahasiswa seperti mereka sama saja memiliki pola fikir seperti itu. Memang sangat jarang orang menuntut ilmu untuk ilmu pengetahuan itu sendiri namun kebanyakan mereka menuntut ilmu untuk kepentingan materi. Untuk saat sekarang ini terlalu idealis memiliki sikap seperti itu yang sedikit dimiliki orang banyak. Oh rutinitas mengapa harus membelengguku?. Nanti dulu jangan merasa terbelenggu oleh rutinitas. Aku jadi teringat apa yang dikatakan seorang Filsuf Terkenal Penulis Kitab Ihya Ulumuddin yaitu Imam Al-Ghozali. Simak apa yang dikatakannya.
”Hari ini adalah milikmu. Jika tiba waktu pagi, janganlah engkau menunggu petang datang. Hari ini adalah hari yang sebenarnya engkau menghirup udara, hidup dan membuka mata. Hidupmu adalah hari ini. Hidupmu bukan hari kemarin yang telah meninggalkan kenangan baik maupun kenangan buruk. Janganlah engkau tenggelam dalam mengingat masa lalu. Jangan pula terlena merenungkan keindahan hidup yang pernah dulu kau jalani. Namun hidupmu juga bukan hari esok yang belum tentu engkau akan menjumpainya. Janganlah engkau terlena pada harapan harapan dan angan-angan masa depan. Jangan pula engkau merasa cemas dan takut untuk menghadapi hari esok. Lebih baik fikirkan saja hari ini. Hari ini adalah hidupmu, hari yang telah dinaungi oleh sinar Matahari dan engkau mendapati waktu siangmu adalah harimu yang sebenarnya. Oleh karena itu usiamu hanya sehari yaitu hari ini. Maka tanamkanlah di dalam hatimu sebuah kehidupan yang nyata pada hari ini seakan akan dirimu dilahirkan pada hari ini dan mati pada hari ini pula”
Sungguh indah ungkapan yang sangat filosofis ini telah membuatku benar-benar menikmati hari ini. Nikmatilah hari ini. Nikmatilah rutinitas. Nimatilah kemacetan lalu lintas. Nimmatilah kegalauan hati. Nikmatilah kesibukan. Nikmatilah skripsi skripsi dan thesis yang menumpuk untuk dikoreksi. Nikmatilah kesepian dan kehampaan hati. Nikmatilah waktu yang membosankan. Nikmatilah kejenuhan. Nikmatilah kesendirian. Nikmatilah rasa kehilangan. Nikmatilah. Sungguh benar-benar aku menimati hari ini. Lalu bolehkah aku menimati hari ini dengan membaca ulang sms Kinanti yang kemarin? Kubaca kembali sms Kinanti yang satu ini :
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
Ternyata menikmati hari ini dengan membaca sms Kinanti jauh lebih bermakna dari pada merenungi nasib ditinggalkan Kinanti menikah dengan Eko Priotomo. Oleh karena itu untuk sementara lupakanlah hari esok ketika Kinanti akan bersanding dengan calon suaminya. Memang faktanya bahwa kebahagiaan itu adalah ketika orang yang aku cintai mendapatkan kebahagiaannya. Akupun tidak pernah ragu tetap menatap hari esok dengan senyum. Ya dengan senyum. Mungkin senyum kepedihan.

Tersadar dari lamunan ternyata aku masih menikmati hari ini. Alhamdulillah.


BERSAMBUNG Episode 19 

Thursday, April 28, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (17)


Foto Fiksiana Community


Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode 17
FRAGMEN SATU BABAK
Sabtu ini aku sedang di Bandung namun sengaja aku tidak memberi kabar Kinanti. Hari Kamis dan Jumatnya, aku menghadiri acara di Badan Akreditasi Nasional Jakarta. Seperti kebiasaanku, Sabtu dan Minggu nya aku pasti mampir ke Bandung untuk melepas rindu kepada Ibuku. Ya kali ini hanya melepas rindu kepada Ibuku bukan lagi melepas rindu kepada Kinanti karena Kinanti sudah ada yang punya. He he he  kalimat itu kok terasa memilukan. Sabtu pagi-pagi aku sudah beraktivitas dengan berolah raga jalan sehat walau hanya keliling komplek Perumahan tapi lumayan karena sekujur tubuh banjir dengan keringat.
Setelah mandi dan sarapan pagi, akupun rasanya ingin menyusuri jalan-jalan Kota Bandung. Untuk menghindari kemacetan aku memang sengaja menggunakan sepeda motor. Baru saja keluar dari komplek Perumahan di hadapanku sudah menghadang  kemacetan lalu lintas. Sepanjang jalan Cibaduyut itu memang biangnya kemacetan terutama dipagi hari yaitu jamnya berangkat kerja dan sekolah. Kemudian nanti siang hari, jamnya pulang sekolah dan sore hari saat pulang kerja. Kemacetan lalu lintas yang rutin. Belum di ruas ruas jalan lain Kota Bandung seperti di Jalan BKR, Kopo, Pasir Kaliki, Soekarno-Hatta, Buah Batu, Gatot Subroto dan dimana saja jalan bisa berpotensi macet. Mungkin kemacetan lalulintas ini sudah merupakan hal yang lumrah di kota kota besar seperti Bandung, Surabaya dan Jakarta bahkan mungkin kota kota seperti Malang, Bogor, Cianjur, Cirebon sudah pula mengalami persoalan kemacetan lalu lintas. 
Aku menjalani rute jalan-jalan di kota Bandung dengan sepeda motor benar-benar bebas dari kemacetan karena dengan sepeda motor masih bisa mengelak diantara sela-sela mobil dan bermanuver jauh lebih lincah. Rute yang aku tempuh menuju jalan Blitung hanya sekedar ingin memandang SMA ku tercinta yang penuh dengan kenangan indah. Ya di SMA ini aku mengenal sahabat sahabat sejatiku. Kinanti Puspitasari, Aini Mardiyah, Erika Amelia, Indra Susanto. Mereka adalah empat sahabat sejatiku. Mengingat kenangan bersama mereka rasanya seperti baru kemarin. Kami pulang sekolah bersama-sama. Belajar bersama sama. Hanya pada saat kuliah kami harus mengambil Perguruan Tinggi yang berbeda. Setelah selesai kuliah kami menempuh jalan hidup yang berbeda pula. Indra dan Aini berjodoh menjadi suami istri. Erika menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya dan Kinanti menikah dengan lelaki Malaysia dan beberapa tahun tinggal di sana sampai akhirnya harus kembali ke Indonesia saat Ayahnya sudah tidak bertugas lagi di sana. 
Waktu begitu cepat berlalu. Sementara aku masih seperti ini. Aku baru merasakan ada kesendirian yang hadir tiba-tiba. Rasanya seperti sebatang kara. Ibarat kehilangan semua yang aku punya. Lumayan merenung begitu mengasyikan sehingga tidak terasa ternyata aku berdiri di pelataran parkir itu sudah hampir satu jam. Aku melanjutkan tur menuju Mesjid Salman di jalan Ganesha. Mesjid ini penuh kenangan ketika aku dan Kinanti sering mengikuti kegiatan ceramah dan diskusi untuk memperluas wawasan keagamaan. Maka aku dari jalan Blitung menuju Utara menelusuri jalan Juanda sampai akhirnya belok ke kiri ke arah jalan Ganesha. Mesjid Salman berdiri kokoh penuh dengan wibawa. Di sini ditempa remaja remaja Islam dengan ilmu Tauhid dan Ahlaq agar memiliki kepribadian muslim dengan aqidah yang berakar kuat dalam hatinya.
Di dalam Mesjid itu aku sempatkan sholat sunah Tahyatulmasjid kemudian sholat Dhuha. Sedikit membacakan wirid wirid pendek dan berdoa kepada Allah untuk ketenteraman hatiku. Hingga seusai sholat Dhuhur itu aku baru meninggalkan Mesjid Salman. Meluncur di jalan Juanda menuju jalan Merdeka dan mendarat di BIP (Bandung Indah Plaza) yaitu sebuah Pusat Perbelanjaan yang sudah menjadi icon belanja di Kota Bandung.  Siang itu Aku duduk di salah satu Food Court menikmati makan siangku hanya dengan semangkuk bakso dan segelas juice strawberry. Rasanya nikmat sekali mungkin karena memang perut ini sudah lapar.
Asyik juga ya menelusuri jejak jejak kenangan lama. Dulu waktu masih SMA aku dan Kinanti sering juga ke BIP ini hanya untuk keliling melihat barang-barang atau sekedar belanja seperlunya. Rasanya memang cukup banyak juga kenangan dengan Kinanti. Entah tempat mana saja di Bandung ini yang penuh dengan sejarah remajaku. Aku benar-benar menikmati kesendirianku di Food Court itu. Ketika ada seseorang menepuk bahuku sambil memanggil namaku aku menoleh. Sungguh aku terkejut karena di sana berdiri Kinanti dengan senyumnya. Kinanti tidak sendirian ya dia ditemani oleh Eko Priotomo.
”Alan rupanya sedang ada di Bandung kok aku tidak dikabari?” kata Kinanti.
”Hai Kinan hallo Mas Eko!” kataku menyapa mereka.
”Bagaimana khabar Mas Alan?” tanya Eko. Aku sebenarnya usianya sama tua nya dengan Eko tapi kami memanggil satu sama lain dengan panggilan Mas hanya sebagai rasa hormat saja.
”Alhamdulillah baik baik. Ayo duduk bareng mau pesan makan siang?” kataku menawarkan.
”Terimakasih Alan baru saja tadi selesai makan!” kata Kinanti.
”Oh ya Mas Eko dan Kinan selamat ya atas pertunangan kalian ngomong ngomong kapan rencana pernikahannya?” tanyaku.
”Inshaa Allah setelah lebaran Haji !” jawab Eko.
”Kinan jangan lupa aku dikabari kalau sudah pasti tanggalnya!” kataku.
”Iya Mas Alan jangan kuatir!” kata Eko menjawab sementara Kinanti hanya tersenyum sambil menatapku. Akhirnya tidak lama kami harus berpisah dan sebelum berpamitan Kinanti berkata:
”Alan main ke rumah ya kamu sering ditanyain Si Intan tuh” kata Kinanti masih sempat menawarkan singgah ke rumahnya. Intan adalah putri tunggal Kinanti seorang gadis masih sekolah di SMA.
”Okey Kinan titip salam saja untuk Intan dari Om Alan yang ganteng” kataku bercanda sambil tertawa.
Aku hanya bisa memandangi punggung mereka ketika mereka beranjak meninggalkanku sendiri. Aku masih duduk termangu disitu. Aku lihat di meja persis di  depanku sepasang remaja masih dengan seragam SMA nya sedang menikmati hidangan makan siang. Aku lihat remaja SMA berseragam abu-abu itu bercanda, tertawa dan saling pandang dengan senyum masing-masing. Masa remaja mereka yang penuh dengan keindahan. Melihat mereka teringat masa masa SMA bersama Kinanti. Ah rasanya seperti mimpi atau memang hidup ini sebenarnya hanya sebuah mimpi. Entahlah yang jelas pertemuan di Food Court BIP itu adalah sebuah fragmen satu babak yang ceritanya belum selesai. Entah pula kapan cerita fragmen itu selesai. Entah bagaimana pula akhir dari cerita itu apakah happy ending ataukah sad ending? Entahlah. Entahlah. Entahlah. Aku seperti sudah tidak memiliki apa apa lagi. Kinanti, Listya, Diana Faria semua sudah menjadi catatan masa lalu.
Menghabiskan hari Sabtu di Kota Bandung tidak terasa karena begitu banyak tempat-tempat nostalgia yang harus aku kunjungi. Malam itu rasa lelah yang amat sangat membuatku tertidur lelap sehabis sholat Isya, bahkan ketika Ibuku membangunkanku untuk makan malam akupun hanya mampu mengiyakan saja. Aku baru beranjak dari tempat tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku memeriksa ponselku mungkin ada sms atau telpon. Lima panggilan tak terjawab semuanya dari Kinanti. Ya ketika aku tertidur rupanya Kinanti menghubungiku melalui ponsel. Apakah aku harus telpon balik? Sekarang ini sudah jam sepuluh malam. Mungkin lebih baik besok saja. Ataukah sekarang saja karena sampai lima kali miss call pasti ada yang penting yang ingin dibicarakan. Akhirnya aku mencoba menghubungi Kinanti.
”Assalaamualaikum Alan!. Kemana saja tadi aku telpon berapa kali tidak diangkat HP mu!” suara Kinanti di seberang sana.
”Maaf Kinan ini aku baru saja bangun tidur. Tadi seusai Isya aku terlelap mungkin kecapaian karena siangnya sudah keliling Bandung!” kataku.
”Keliling Bandung kemana saja. Tadi sepulang dari BIP terus kemana? Aku sebenarnya menunggumu di rumah. Lalu kapan kamu pulang ke Surabaya ” kata Kinanti.
”Aduh Kinan tanyanya satu satu. Aku jadi bingung jawabnya he he he! Seharian tadi aku keliling ke Sekolah kita, Mesjid Salman, BIP, Gasibu, Taman Ganesha, Mesjid Istiqomah!. Rencana kembali ke Surabaya besok pagi dengan Argo Wilis” kataku.
”Alan kenapa kamu tidak mengabariku lebih dulu kalau mau ke Bandung?” kembali wanita cantik itu bertanya.
”Kinan. Bukan apa apa. Sekarang aku harus bisa membatasi diri apalagi kamu sekarang sudah resmi dilamar Eko dan sebentar lagi akan menjadi istrinya!” kataku. Beberapa saat aku tidak mendengar respon Kinanti atas penjelasanku.
”Hallo Kinanti!” kataku. Kinanti nampaknya masih membisu. Berkali-kali aku memanggilnya namun Kinanti tetap terdiam sampai akhirnya Kinanti menutup HP nya. Aku benar benar tertegun mengalami hal seperti ini. Belum pernah Kinanti bersikap ngambek seperti ini. Apakah ada kata-kataku yang menyinggung perasaannya.  Aku mencoba mengirim sms mengutarakan maafku atas kata kataku yang mungkin tidak berkenan di hati Kinanti namun sms itupun terlantar tiada balasan. Aku benar benar tidak mengerti dengan sikap Kinanti. Selama ini Kinanti tidak pernah sensitif seperti ini. Bagian kalimat manakah yang membuat Kinanti ngambek?. Rasanya tidak ada kalimat yang menyinggung perasaannya.
Malam itu tadinya aku mau menuju meja makan karena memang belum makan malam namun tiba-tiba saja jadi malas. Akhirnya aku tetap berada di tempat tidur sampai akhirnya terlelap sampai waktu Subuh.

Stasiun Kereta Api Bandung sudah mulai sibuk di pagi hari itu. Di Ruang Tunggu itu aku masih termangu mengingat kejadian tadi malam. Aku mencoba untuk menghubungi Kinanti melalui ponsel namun tetap tidak diangkat panggilanku. Terdengar suara pemberitahuan bahwa Argo Wilis tujuan Surabaya sudah berada di jalur enam bagi para penumpang agar bersiap siap. Akupun beranjak dari Ruang Tunggu itu dengan rasa gundah. Selama perjalanan menuju Surabaya itupun aku hanya terdiam dan bahkan tertidur dan baru terbangun ketika Petugas Restorasi Kereta menawarkan makan siang. Aku baru ingat kalau tadi malam tidak sempat makan dan tadi pagi pun aku hanya sarapan sepotong roti yang dibuatkan Ibu maka tidak heran kalau di Kereta itu aku melahap makan siang dengan penuh semangat. Badan kembali terasa segar karena mungkin sudah cukup tidur dan makan. Aku memeriksa ponsel apakah ada sms atau panggilan. Ternyata ada beberapa sms dan semuanya dari Kinanti. Oh Tuhan. Aku mulai membaca sms sms Kinanti satu per satu :
”Alan aku mohon dimaafkan dengan kejadian tadi malam. Aku benar-benar sedih. Malam itu aku menangis karena aku seperti mau kehilanganmu. Aku merasa takut dengan perubahan sikapmu kepadaku hanya karena aku akan menikah dengan Eko!”
”Aku juga kecewa kenapa kamu tidak menyempatkan waktu untuk mengunjungiku karena banyak yang ingin aku katakan!”
”Alan sewaktu kau katakan di Bandung ini baru saja keliling ke tempat tempat yang kau sebutkan itu. Bukankah itu adalah tempat-tempat yang dulu sering kita kunjungi? Aku mencoba merasakan perasaanmu saat ini aku mencoba mengerti dan maafkan aku Alan, aku telah mengambil keputusan yang tidak kau inginkan!”
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
”Daisy Listya adalah cinta sejatimu walaupun mungkin tidak bisa kau raih namun andaikan aku harus menggantikan cinta Daisy Listya adalah hal yang tidak bisa disetarakan!”
”Itulah sebabnya aku tidak bisa memenuhi keinginan Listya agar aku menikah denganmu!”
”Alan ada yang perlu kau ketahui bahwa sebenarnya Intan, putriku, lebih merestuimu dari siapapun untuk menjadi teman hidupku. Namun alasan-alasan di atas itu yang membuat aku harus memberi keputusan yang lain!”
”Selamat jalan Alan semoga selamat dan sehat sampai di Surabaya.”
Aku tertegun membaca semua sms Kinanti. Berulang-ulang aku membaca sms Kinanti, berulang-ulang. Rangkaian kata-kata yang jujur dari seorang wanita yang luar biasa.  Berbahagialah Eko Priotomo, lelaki yang akan menjadi suaminya sementara biarkanlah aku berdoa untuk diri sendiri. Semoga Allah selalu memberikan ketabahan kepadaku.
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
Ini adalah salah satu sms Kinanti Puspitasari yang sangat berarti dalam hidupku.
Kata hatiku berkata :
”Alan sudahlah ingat kembali realita yang terjadi. Semua sudah menjadi lembaran masa lalumu. Diana Faria, Daisy Listya dan kini Kinanti Puspitasari sudah ditakdirkanNya menjadi masa lalumu”

BERSAMBUNG Episode 18