Foto Fiksiana Community
Tantangan
100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh
Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode
17
FRAGMEN SATU BABAK
Sabtu
ini aku sedang di Bandung namun sengaja aku tidak memberi kabar Kinanti. Hari
Kamis dan Jumatnya, aku menghadiri acara di Badan Akreditasi Nasional Jakarta. Seperti
kebiasaanku, Sabtu dan Minggu nya aku pasti mampir ke Bandung untuk melepas
rindu kepada Ibuku. Ya kali ini hanya melepas rindu kepada Ibuku bukan lagi
melepas rindu kepada Kinanti karena Kinanti sudah ada yang punya. He he he kalimat itu kok terasa memilukan. Sabtu
pagi-pagi aku sudah beraktivitas dengan berolah raga jalan sehat walau hanya
keliling komplek Perumahan tapi lumayan karena sekujur tubuh banjir dengan
keringat.
Setelah
mandi dan sarapan pagi, akupun rasanya ingin menyusuri jalan-jalan Kota
Bandung. Untuk menghindari kemacetan aku memang sengaja menggunakan sepeda motor.
Baru saja keluar dari komplek Perumahan di hadapanku sudah menghadang kemacetan lalu lintas. Sepanjang jalan
Cibaduyut itu memang biangnya kemacetan terutama dipagi hari yaitu jamnya
berangkat kerja dan sekolah. Kemudian nanti siang hari, jamnya pulang sekolah
dan sore hari saat pulang kerja. Kemacetan lalu lintas yang rutin. Belum di
ruas ruas jalan lain Kota Bandung seperti di Jalan BKR, Kopo, Pasir Kaliki,
Soekarno-Hatta, Buah Batu, Gatot Subroto dan dimana saja jalan bisa berpotensi
macet. Mungkin kemacetan lalulintas ini sudah merupakan hal yang lumrah di kota
kota besar seperti Bandung, Surabaya dan Jakarta bahkan mungkin kota kota
seperti Malang, Bogor, Cianjur, Cirebon sudah pula mengalami persoalan
kemacetan lalu lintas.
Aku
menjalani rute jalan-jalan di kota Bandung dengan sepeda motor benar-benar
bebas dari kemacetan karena dengan sepeda motor masih bisa mengelak diantara
sela-sela mobil dan bermanuver jauh lebih lincah. Rute yang aku tempuh menuju
jalan Blitung hanya sekedar ingin memandang SMA ku tercinta yang penuh dengan
kenangan indah. Ya di SMA ini aku mengenal sahabat sahabat sejatiku. Kinanti
Puspitasari, Aini Mardiyah, Erika Amelia, Indra Susanto. Mereka adalah empat
sahabat sejatiku. Mengingat kenangan bersama mereka rasanya seperti baru
kemarin. Kami pulang sekolah bersama-sama. Belajar bersama sama. Hanya pada
saat kuliah kami harus mengambil Perguruan Tinggi yang berbeda. Setelah selesai
kuliah kami menempuh jalan hidup yang berbeda pula. Indra dan Aini berjodoh
menjadi suami istri. Erika menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya dan
Kinanti menikah dengan lelaki Malaysia dan beberapa tahun tinggal di sana
sampai akhirnya harus kembali ke Indonesia saat Ayahnya sudah tidak bertugas
lagi di sana.
Waktu
begitu cepat berlalu. Sementara aku masih seperti ini. Aku baru merasakan ada
kesendirian yang hadir tiba-tiba. Rasanya seperti sebatang kara. Ibarat kehilangan
semua yang aku punya. Lumayan merenung begitu mengasyikan sehingga tidak terasa
ternyata aku berdiri di pelataran parkir itu sudah hampir satu jam. Aku
melanjutkan tur menuju Mesjid Salman di jalan Ganesha. Mesjid ini penuh
kenangan ketika aku dan Kinanti sering mengikuti kegiatan ceramah dan diskusi
untuk memperluas wawasan keagamaan. Maka aku dari jalan Blitung menuju Utara
menelusuri jalan Juanda sampai akhirnya belok ke kiri ke arah jalan Ganesha.
Mesjid Salman berdiri kokoh penuh dengan wibawa. Di sini ditempa remaja remaja
Islam dengan ilmu Tauhid dan Ahlaq agar memiliki kepribadian muslim dengan
aqidah yang berakar kuat dalam hatinya.
Di dalam
Mesjid itu aku sempatkan sholat sunah Tahyatulmasjid kemudian sholat Dhuha.
Sedikit membacakan wirid wirid pendek dan berdoa kepada Allah untuk ketenteraman
hatiku. Hingga seusai sholat Dhuhur itu aku baru meninggalkan Mesjid Salman. Meluncur
di jalan Juanda menuju jalan Merdeka dan mendarat di BIP (Bandung Indah Plaza)
yaitu sebuah Pusat Perbelanjaan yang sudah menjadi icon belanja di Kota
Bandung. Siang itu Aku duduk di salah
satu Food Court menikmati makan
siangku hanya dengan semangkuk bakso dan segelas juice strawberry. Rasanya nikmat sekali mungkin karena memang perut
ini sudah lapar.
Asyik
juga ya menelusuri jejak jejak kenangan lama. Dulu waktu masih SMA aku dan
Kinanti sering juga ke BIP ini hanya untuk keliling melihat barang-barang atau
sekedar belanja seperlunya. Rasanya memang cukup banyak juga kenangan dengan
Kinanti. Entah tempat mana saja di Bandung ini yang penuh dengan sejarah
remajaku. Aku benar-benar menikmati kesendirianku di Food Court itu. Ketika ada seseorang menepuk bahuku sambil
memanggil namaku aku menoleh. Sungguh aku terkejut karena di sana berdiri
Kinanti dengan senyumnya. Kinanti tidak sendirian ya dia ditemani oleh Eko
Priotomo.
”Alan
rupanya sedang ada di Bandung kok aku tidak dikabari?” kata Kinanti.
”Hai
Kinan hallo Mas Eko!” kataku menyapa mereka.
”Bagaimana
khabar Mas Alan?” tanya Eko. Aku sebenarnya usianya sama tua nya dengan Eko
tapi kami memanggil satu sama lain dengan panggilan Mas hanya sebagai rasa
hormat saja.
”Alhamdulillah
baik baik. Ayo duduk bareng mau pesan makan siang?” kataku menawarkan.
”Terimakasih
Alan baru saja tadi selesai makan!” kata Kinanti.
”Oh ya
Mas Eko dan Kinan selamat ya atas pertunangan kalian ngomong ngomong kapan
rencana pernikahannya?” tanyaku.
”Inshaa
Allah setelah lebaran Haji !” jawab Eko.
”Kinan
jangan lupa aku dikabari kalau sudah pasti tanggalnya!” kataku.
”Iya Mas
Alan jangan kuatir!” kata Eko menjawab sementara Kinanti hanya tersenyum sambil
menatapku. Akhirnya tidak lama kami harus berpisah dan sebelum berpamitan
Kinanti berkata:
”Alan
main ke rumah ya kamu sering ditanyain Si Intan tuh” kata Kinanti masih sempat
menawarkan singgah ke rumahnya. Intan adalah putri tunggal Kinanti seorang
gadis masih sekolah di SMA.
”Okey
Kinan titip salam saja untuk Intan dari Om Alan yang ganteng” kataku bercanda
sambil tertawa.
Aku
hanya bisa memandangi punggung mereka ketika mereka beranjak meninggalkanku
sendiri. Aku masih duduk termangu disitu. Aku lihat di meja persis di depanku sepasang remaja masih dengan seragam
SMA nya sedang menikmati hidangan makan siang. Aku lihat remaja SMA berseragam
abu-abu itu bercanda, tertawa dan saling pandang dengan senyum masing-masing.
Masa remaja mereka yang penuh dengan keindahan. Melihat mereka teringat masa
masa SMA bersama Kinanti. Ah rasanya seperti mimpi atau memang hidup ini
sebenarnya hanya sebuah mimpi. Entahlah yang jelas pertemuan di Food Court BIP itu adalah sebuah fragmen
satu babak yang ceritanya belum selesai. Entah pula kapan cerita fragmen itu
selesai. Entah bagaimana pula akhir dari cerita itu apakah happy ending ataukah sad
ending? Entahlah. Entahlah. Entahlah. Aku seperti sudah tidak memiliki apa
apa lagi. Kinanti, Listya, Diana Faria semua sudah menjadi catatan masa lalu.
Menghabiskan
hari Sabtu di Kota Bandung tidak terasa karena begitu banyak tempat-tempat
nostalgia yang harus aku kunjungi. Malam itu rasa lelah yang amat sangat
membuatku tertidur lelap sehabis sholat Isya, bahkan ketika Ibuku
membangunkanku untuk makan malam akupun hanya mampu mengiyakan saja. Aku baru
beranjak dari tempat tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Aku memeriksa ponselku mungkin ada sms atau telpon. Lima panggilan tak terjawab
semuanya dari Kinanti. Ya ketika aku tertidur rupanya Kinanti menghubungiku
melalui ponsel. Apakah aku harus telpon balik? Sekarang ini sudah jam sepuluh
malam. Mungkin lebih baik besok saja. Ataukah sekarang saja karena sampai lima
kali miss call pasti ada yang penting
yang ingin dibicarakan. Akhirnya aku mencoba menghubungi Kinanti.
”Assalaamualaikum
Alan!. Kemana saja tadi aku telpon berapa kali tidak diangkat HP mu!” suara
Kinanti di seberang sana.
”Maaf
Kinan ini aku baru saja bangun tidur. Tadi seusai Isya aku terlelap mungkin
kecapaian karena siangnya sudah keliling Bandung!” kataku.
”Keliling
Bandung kemana saja. Tadi sepulang dari BIP terus kemana? Aku sebenarnya
menunggumu di rumah. Lalu kapan kamu pulang ke Surabaya ” kata Kinanti.
”Aduh
Kinan tanyanya satu satu. Aku jadi bingung jawabnya he he he! Seharian tadi aku
keliling ke Sekolah kita, Mesjid Salman, BIP, Gasibu, Taman Ganesha, Mesjid
Istiqomah!. Rencana kembali ke Surabaya besok pagi dengan Argo Wilis” kataku.
”Alan
kenapa kamu tidak mengabariku lebih dulu kalau mau ke Bandung?” kembali wanita
cantik itu bertanya.
”Kinan. Bukan
apa apa. Sekarang aku harus bisa membatasi diri apalagi kamu sekarang sudah
resmi dilamar Eko dan sebentar lagi akan menjadi istrinya!” kataku. Beberapa
saat aku tidak mendengar respon Kinanti atas penjelasanku.
”Hallo
Kinanti!” kataku. Kinanti nampaknya masih membisu. Berkali-kali aku memanggilnya
namun Kinanti tetap terdiam sampai akhirnya Kinanti menutup HP nya. Aku benar
benar tertegun mengalami hal seperti ini. Belum pernah Kinanti bersikap ngambek
seperti ini. Apakah ada kata-kataku yang menyinggung perasaannya. Aku mencoba mengirim sms mengutarakan maafku
atas kata kataku yang mungkin tidak berkenan di hati Kinanti namun sms itupun
terlantar tiada balasan. Aku benar benar tidak mengerti dengan sikap Kinanti.
Selama ini Kinanti tidak pernah sensitif seperti ini. Bagian kalimat manakah
yang membuat Kinanti ngambek?. Rasanya tidak ada kalimat yang menyinggung
perasaannya.
Malam
itu tadinya aku mau menuju meja makan karena memang belum makan malam namun
tiba-tiba saja jadi malas. Akhirnya aku tetap berada di tempat tidur sampai
akhirnya terlelap sampai waktu Subuh.
Stasiun
Kereta Api Bandung sudah mulai sibuk di pagi hari itu. Di Ruang Tunggu itu aku
masih termangu mengingat kejadian tadi malam. Aku mencoba untuk menghubungi Kinanti
melalui ponsel namun tetap tidak diangkat panggilanku. Terdengar suara
pemberitahuan bahwa Argo Wilis tujuan Surabaya sudah berada di jalur enam bagi
para penumpang agar bersiap siap. Akupun beranjak dari Ruang Tunggu itu dengan
rasa gundah. Selama perjalanan menuju Surabaya itupun aku hanya terdiam dan
bahkan tertidur dan baru terbangun ketika Petugas Restorasi Kereta menawarkan
makan siang. Aku baru ingat kalau tadi malam tidak sempat makan dan tadi pagi
pun aku hanya sarapan sepotong roti yang dibuatkan Ibu maka tidak heran kalau
di Kereta itu aku melahap makan siang dengan penuh semangat. Badan kembali
terasa segar karena mungkin sudah cukup tidur dan makan. Aku memeriksa ponsel
apakah ada sms atau panggilan. Ternyata ada beberapa sms dan semuanya dari
Kinanti. Oh Tuhan. Aku mulai membaca sms sms Kinanti satu per satu :
”Alan aku mohon dimaafkan dengan kejadian tadi malam. Aku
benar-benar sedih. Malam itu aku menangis karena aku seperti mau kehilanganmu.
Aku merasa takut dengan perubahan sikapmu kepadaku hanya karena aku akan
menikah dengan Eko!”
”Aku juga kecewa kenapa kamu tidak menyempatkan waktu
untuk mengunjungiku karena banyak yang ingin aku katakan!”
”Alan sewaktu kau katakan di Bandung ini baru saja
keliling ke tempat tempat yang kau sebutkan itu. Bukankah itu adalah
tempat-tempat yang dulu sering kita kunjungi? Aku mencoba merasakan perasaanmu
saat ini aku mencoba mengerti dan maafkan aku Alan, aku telah mengambil
keputusan yang tidak kau inginkan!”
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau
katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku
menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih
luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
”Daisy Listya adalah cinta sejatimu walaupun mungkin
tidak bisa kau raih namun andaikan aku harus menggantikan cinta Daisy Listya
adalah hal yang tidak bisa disetarakan!”
”Itulah sebabnya aku tidak bisa memenuhi keinginan Listya
agar aku menikah denganmu!”
”Alan ada yang perlu kau ketahui bahwa sebenarnya Intan,
putriku, lebih merestuimu dari siapapun untuk menjadi teman hidupku. Namun
alasan-alasan di atas itu yang membuat aku harus memberi keputusan yang lain!”
”Selamat jalan Alan semoga selamat dan sehat sampai di
Surabaya.”
Aku
tertegun membaca semua sms Kinanti. Berulang-ulang aku membaca sms Kinanti,
berulang-ulang. Rangkaian kata-kata yang jujur dari seorang wanita yang luar
biasa. Berbahagialah Eko Priotomo,
lelaki yang akan menjadi suaminya sementara biarkanlah aku berdoa untuk diri
sendiri. Semoga Allah selalu memberikan ketabahan kepadaku.
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau
katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku
menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih
luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
Ini
adalah salah satu sms Kinanti Puspitasari yang sangat berarti dalam hidupku.
Kata
hatiku berkata :
”Alan
sudahlah ingat kembali realita yang terjadi. Semua sudah menjadi lembaran masa
lalumu. Diana Faria, Daisy Listya dan kini Kinanti Puspitasari sudah ditakdirkanNya
menjadi masa lalumu”
No comments:
Post a Comment