Saturday, April 30, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (18)

Foto Fiksiana Community


Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode 18
MENIKMATI HARI INI
Walaupun rasa penat masih terasa namun aku tetap harus berangkat ke Kampus. Banyak yang harus aku kerjakan. Tumpukan skripsi dan thesis mahasiswa bimbinganku yang harus aku revisi dan tentu saja beberapa kertas kerja dan makalah yang dalam dua hari ini masih terbengkalai padahal deadline nya sudah semakin dekat.
Seperti biasa setelah berjuang dengan kemacetan lalu lintas Kota Surabaya akhirnya aku tiba di Kampus. Langsung saja aku menuju ruanganku di lantai 2 Fakultas Farmasi. Aku lihat meja kerjaku berantakan tidak karuan, padahal aku biasanya selalu merapikan meja sebelum pulang namun beberapa hari ini kebiasaan baikku itu entah hilang kemana. Efek psikologis dari hati yang sedang galau telah ditunjukkan oleh kondisi berantakannya meja kerja he he he. Aku merapikan meja kerja itu. Satu demi satu kertas, buku buku dan apa saja yang ada disitu dirapikan atau disingkirkan dan ditempatkan kembali ke dalam laci atau rak buku. Tiba-tiba selembar kertas terjatuh lalu aku pungut kembali. Ternyata sebuah Undangan Peresmian Apotek dari Audray siang ini.
Apotek ini berada di Pucang Adi. Audray Lin salah satu dari mahasiswiku yang punya prestasi baik. Audray berasal dari Malaysia mempunyai Tante yang menikah dengan Pria Tionghoa kelahiran Surabaya. Selama kuliah di Fakultas Farmasi, Audray tinggal dengan Tantenya. Gadis ini sangat ceplas-ceplos dan agresif. Logat Malaysianya memang sudah hilang karena tinggal di Surabaya paling tidak sudah 4 tahun lebih. Sebenarnya aku paling risi menghadapi Audray ini sejak dia masih mahasiswa dulu sering menggodaku dan Audray adalah tipe gadis yang agresif apalagi dia tahu aku masih bujangan. Aku teringat ketika dia menjadi biang keladi hampir retaknya hubunganku dengan Listya. Ah lupakanlah yang sudah berlalu. Aku lihat kembali Kartu Undangan dari Audray. Mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Sdr dalam rangka peresmian APOTEK SENTOSA. Inshaa Allah aku harus hadir untuk memberikan apresiasi kepada Audray. Bagaimanapun juga dia adalah mahasiswiku yang berprestasi dan patut untuk dihargai.
Siang itu aku sudah berada di Apotek Sentosa. Melihat aku datang, Audray menyambutku dengan senyum dan perasaan gembira. Aku sempat terpana memandang Audray dengan cara berpakaiannya. Audray terlihat anggun dengan rambut terurai. Tidak lagi kulihat rok mini yang ketat yang mempertontonkan keseksiannya. Ternyata Audray Lin bisa juga berdandan anggun seperti ini. Berpakaian tertutup rapi sopan justru memberi kesan kecantikannya yang asli dengan kecantikan wajah khas oriental. Aku memang masih terpana terkagum kagum dan tabiat lamaku akhirnya kambuh juga dengan ceplosnya memuji Audray.
”Ah pak Alan bisa saja. Terima kasih pujiannya!” kata Audray. Aku juga terperanjat dengan respon jawaban Audray yang sopan penuh kewajaran. Tidak ceplas ceplos seperti biasanya. Aku dipersilahkan duduk di barisan kursi paling depan. Audray masih sibuk melayani tamu-tamu lainnya sementara aku ditemani Omnya mengobrol akrab. Bagi keluarga ini memang aku dikenal baik karena dulu juga sering berkunjung ke rumah keluarga ini. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kebanyakan tamu-tamu itu adalah rekan-rekan bisnis Tante dan Omnnya. Acara Pembukaan itu singkat saja. Sambutan dari Pak Tanuwijaya, omnya Audray juga singkat. Tak lupa beliau memperkenalkan Apoteker yang menangani Apotek Sentosa yaitu Audray Lin. Acara dilanjutkan dengan ramah tamah dan makan siang. Setelah makan siang itu aku segera berpamitan karena harus mengisi kelas Pasca Sarjana. Audray sempat mengantarku sampai tempat parkir mobil.
”Pak Alan terima kasih kehadiran dan dukungannya!” kata Audray.
”Sama sama Di. Sekali lagi selamat ya dan semoga sukses dengan bisnismu!” kataku. Audray hanya mengangguk tersenyum. Akupun segera berpamitan dengan melambaikan tanganku.
Sepanjang perjalanan menuju Kampus aku sempat tidak percaya bahwa Audray Lin ternyata bisa juga seanggun itu. Aku sangat terkesan dengan Audray Lin pada pertemuan siang ini. Hanya sebentar bertemu tapi pertemuan itu sangat berkualitas. Aku jadi teringat sejak peristiwa foto-fotoku dengannya yang membuat Daisy Listya prihatin dan berburuk sangka kepadaku. Sejak itu Audray banyak berubah dan yang lebih terharu bagaimana Audray merasa menyesali semua yang dia lakukan. Saat itu dia sudah minta maaf kepadaku juga kepada Listya atas foto foto rekayasanya. Pada kesempatan lain Audray pun sempat mencurahkan semua isi hatinya kepadaku. Pengakuan seorang gadis masa kini yang tegas  dan jujur.
”Pak Alan. Aku menyadari bahwa aku bukan orang yang menjadi impian Bapak selama ini!” kata Audray ketika kami berbincang bincang di beranda rumahnya.
”Apalagi aku adalah gadis dengan etnis Tionghoa dan seorang Katholik tentu semakin menjadi jauh dari kriteria Bapak!” kata Audray lagi.
”Didi!” aku memanggil Audray dengan panggilan kecil keluarganya yaitu Didi.
”Jangan berkata seperti itu. Semua manusia itu sama yang membedakan dihadapan Tuhan adalah sejauh mana pengabdian dan kesetiaan kepadaNya” kataku menjelaskan.
”Didi  berbicara mengenai jodoh sebaiknya serahkan kepadaNya. Dialah yang Maha Tahu pilihan teman hidup terbaik untuk kita!. Dia lah sebaik baik Penentu” kataku.
”Pak Alan kadang kadang aku iri kepada Listya. Dia seorang wanita yang lembut begitu ramah cara bertutur katanya kepada siapapun. Listya adalah wanita rupawan yang juga berhiaskan hati yang cantik!” suara  curahan hati Audray keluar dari bibirnya dengan wajah yang mendung.
”Di, kecantikan itu sangat relatif. Kamu juga cantik. Seharusnya banyak bersyukur kepada Tuhan. Memiliki tubuh yang ideal impian bagi kebanyakan gadis-gadis. Pasti banyak gadis-gadis yang iri padamu. Semua lelaki juga pasti suka kepadamu. Kecantikan fisik ini semakin menjadi tinggi nilainya ketika kau mau menutupinya dengan rapi dan menghiasinya pula dengan budi pekerti yang luhur!” kataku lagi dengan khotbah yang lebih panjang. Namun aku melihat ada secercah bahagia di wajah Audray ketika dia mendengar kata-kataku itu.
”Terima kasih Pak Alan. Memang cinta itu tidak bisa dipaksakan. Cinta harus memiliki frekuensi dan chemistry yang sama!” kata Audray.
Dialog tadi adalah saat-saat terakhir kami bertemu Audray dan kembali aku berjumpa Audray saat peresmian Apoteknya. Aku melihat Audray yang kujumpai kali ini adalah Audray yang baru terlahir kembali. Audray yang penuh percaya diri. Audray yang sudah tidak lagi mempedulikan apakah dia seorang Tionghoa atau Katholik atau siapapun tapi Audray yang peduli dengan dirinya sendiri sebagai hamba Sang Pencipta. Audray yang memiliki hak yang sama dan kewajiban yang sama. Hak untuk dicintai dan kewajiban untuk mencintai. Selanjutnya Tuhan lah yang menentukan jodoh terbaiknya dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik Penentu.
Tidak sadar rupanya kata-kata itu juga bisa berlaku kepadaku. Alan mempunyai  hak untuk dicintai dan kewajiban untuk mencintai dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik Penentu. He he he lamunan kecil itu aku akhiri ketika aku sudah memasuki pelataran parkir Fakultas. Aku segera begegas menuju ruang kerjaku mengambil laptop dan bahan-bahan untuk memberikan kuliah lalu menuju Gedung Pasca Sarjana yang berada dua blok dari Fakultas Farmasi. Waktu dua jam memberikan kuliah berlalu begitu saja. Ya itu hanya rutinitas biasa. Sudah berapa banyak mahasiswa yang juga menganggap bahwa kuliah kuliah yang mereka terima adalah rutinitas yang harus dilalui semata mata hanya untuk menggapai rutinitas berikutnya. Mungkin dulu ketika aku masih mahasiswa seperti mereka sama saja memiliki pola fikir seperti itu. Memang sangat jarang orang menuntut ilmu untuk ilmu pengetahuan itu sendiri namun kebanyakan mereka menuntut ilmu untuk kepentingan materi. Untuk saat sekarang ini terlalu idealis memiliki sikap seperti itu yang sedikit dimiliki orang banyak. Oh rutinitas mengapa harus membelengguku?. Nanti dulu jangan merasa terbelenggu oleh rutinitas. Aku jadi teringat apa yang dikatakan seorang Filsuf Terkenal Penulis Kitab Ihya Ulumuddin yaitu Imam Al-Ghozali. Simak apa yang dikatakannya.
”Hari ini adalah milikmu. Jika tiba waktu pagi, janganlah engkau menunggu petang datang. Hari ini adalah hari yang sebenarnya engkau menghirup udara, hidup dan membuka mata. Hidupmu adalah hari ini. Hidupmu bukan hari kemarin yang telah meninggalkan kenangan baik maupun kenangan buruk. Janganlah engkau tenggelam dalam mengingat masa lalu. Jangan pula terlena merenungkan keindahan hidup yang pernah dulu kau jalani. Namun hidupmu juga bukan hari esok yang belum tentu engkau akan menjumpainya. Janganlah engkau terlena pada harapan harapan dan angan-angan masa depan. Jangan pula engkau merasa cemas dan takut untuk menghadapi hari esok. Lebih baik fikirkan saja hari ini. Hari ini adalah hidupmu, hari yang telah dinaungi oleh sinar Matahari dan engkau mendapati waktu siangmu adalah harimu yang sebenarnya. Oleh karena itu usiamu hanya sehari yaitu hari ini. Maka tanamkanlah di dalam hatimu sebuah kehidupan yang nyata pada hari ini seakan akan dirimu dilahirkan pada hari ini dan mati pada hari ini pula”
Sungguh indah ungkapan yang sangat filosofis ini telah membuatku benar-benar menikmati hari ini. Nikmatilah hari ini. Nikmatilah rutinitas. Nimatilah kemacetan lalu lintas. Nimmatilah kegalauan hati. Nikmatilah kesibukan. Nikmatilah skripsi skripsi dan thesis yang menumpuk untuk dikoreksi. Nikmatilah kesepian dan kehampaan hati. Nikmatilah waktu yang membosankan. Nikmatilah kejenuhan. Nikmatilah kesendirian. Nikmatilah rasa kehilangan. Nikmatilah. Sungguh benar-benar aku menimati hari ini. Lalu bolehkah aku menimati hari ini dengan membaca ulang sms Kinanti yang kemarin? Kubaca kembali sms Kinanti yang satu ini :
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
Ternyata menikmati hari ini dengan membaca sms Kinanti jauh lebih bermakna dari pada merenungi nasib ditinggalkan Kinanti menikah dengan Eko Priotomo. Oleh karena itu untuk sementara lupakanlah hari esok ketika Kinanti akan bersanding dengan calon suaminya. Memang faktanya bahwa kebahagiaan itu adalah ketika orang yang aku cintai mendapatkan kebahagiaannya. Akupun tidak pernah ragu tetap menatap hari esok dengan senyum. Ya dengan senyum. Mungkin senyum kepedihan.

Tersadar dari lamunan ternyata aku masih menikmati hari ini. Alhamdulillah.


BERSAMBUNG Episode 19 

No comments: