Foto Fiksiana Community
Tantangan
100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh
Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode
18
MENIKMATI HARI INI
Walaupun
rasa penat masih terasa namun aku tetap harus berangkat ke Kampus. Banyak yang
harus aku kerjakan. Tumpukan skripsi dan thesis mahasiswa bimbinganku yang
harus aku revisi dan tentu saja beberapa kertas kerja dan makalah yang dalam
dua hari ini masih terbengkalai padahal deadline nya sudah semakin dekat.
Seperti
biasa setelah berjuang dengan kemacetan lalu lintas Kota Surabaya akhirnya aku
tiba di Kampus. Langsung saja aku menuju ruanganku di lantai 2 Fakultas
Farmasi. Aku lihat meja kerjaku berantakan tidak karuan, padahal aku biasanya
selalu merapikan meja sebelum pulang namun beberapa hari ini kebiasaan baikku
itu entah hilang kemana. Efek psikologis dari hati yang sedang galau telah
ditunjukkan oleh kondisi berantakannya meja kerja he he he. Aku merapikan meja
kerja itu. Satu demi satu kertas, buku buku dan apa saja yang ada disitu
dirapikan atau disingkirkan dan ditempatkan kembali ke dalam laci atau rak
buku. Tiba-tiba selembar kertas terjatuh lalu aku pungut kembali. Ternyata
sebuah Undangan Peresmian Apotek dari Audray siang ini.
Apotek
ini berada di Pucang Adi. Audray Lin salah satu dari mahasiswiku yang punya prestasi
baik. Audray berasal dari Malaysia mempunyai Tante yang menikah dengan Pria
Tionghoa kelahiran Surabaya. Selama kuliah di Fakultas Farmasi, Audray tinggal
dengan Tantenya. Gadis ini sangat ceplas-ceplos dan agresif. Logat Malaysianya
memang sudah hilang karena tinggal di Surabaya paling tidak sudah 4 tahun
lebih. Sebenarnya aku paling risi menghadapi Audray ini sejak dia masih
mahasiswa dulu sering menggodaku dan Audray adalah tipe gadis yang agresif
apalagi dia tahu aku masih bujangan. Aku teringat ketika dia menjadi biang
keladi hampir retaknya hubunganku dengan Listya. Ah lupakanlah yang sudah
berlalu. Aku lihat kembali Kartu Undangan dari Audray. Mengharap kehadiran
Bapak/Ibu/Sdr dalam rangka peresmian APOTEK SENTOSA. Inshaa Allah aku harus hadir
untuk memberikan apresiasi kepada Audray. Bagaimanapun juga dia adalah
mahasiswiku yang berprestasi dan patut untuk dihargai.
Siang
itu aku sudah berada di Apotek Sentosa. Melihat aku datang, Audray menyambutku
dengan senyum dan perasaan gembira. Aku sempat terpana memandang Audray dengan
cara berpakaiannya. Audray terlihat anggun dengan rambut terurai. Tidak lagi
kulihat rok mini yang ketat yang mempertontonkan keseksiannya. Ternyata Audray
Lin bisa juga berdandan anggun seperti ini. Berpakaian tertutup rapi sopan
justru memberi kesan kecantikannya yang asli dengan kecantikan wajah khas
oriental. Aku memang masih terpana terkagum kagum dan tabiat lamaku akhirnya
kambuh juga dengan ceplosnya memuji Audray.
”Ah pak
Alan bisa saja. Terima kasih pujiannya!” kata Audray. Aku juga terperanjat
dengan respon jawaban Audray yang sopan penuh kewajaran. Tidak ceplas ceplos
seperti biasanya. Aku dipersilahkan duduk di barisan kursi paling depan. Audray
masih sibuk melayani tamu-tamu lainnya sementara aku ditemani Omnya mengobrol
akrab. Bagi keluarga ini memang aku dikenal baik karena dulu juga sering
berkunjung ke rumah keluarga ini. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kebanyakan
tamu-tamu itu adalah rekan-rekan bisnis Tante dan Omnnya. Acara Pembukaan itu
singkat saja. Sambutan dari Pak Tanuwijaya, omnya Audray juga singkat. Tak lupa
beliau memperkenalkan Apoteker yang menangani Apotek Sentosa yaitu Audray Lin.
Acara dilanjutkan dengan ramah tamah dan makan siang. Setelah makan siang itu
aku segera berpamitan karena harus mengisi kelas Pasca Sarjana. Audray sempat
mengantarku sampai tempat parkir mobil.
”Pak
Alan terima kasih kehadiran dan dukungannya!” kata Audray.
”Sama
sama Di. Sekali lagi selamat ya dan semoga sukses dengan bisnismu!” kataku.
Audray hanya mengangguk tersenyum. Akupun segera berpamitan dengan melambaikan
tanganku.
Sepanjang
perjalanan menuju Kampus aku sempat tidak percaya bahwa Audray Lin ternyata
bisa juga seanggun itu. Aku sangat terkesan dengan Audray Lin pada pertemuan
siang ini. Hanya sebentar bertemu tapi pertemuan itu sangat berkualitas. Aku
jadi teringat sejak peristiwa foto-fotoku dengannya yang membuat Daisy Listya
prihatin dan berburuk sangka kepadaku. Sejak itu Audray banyak berubah dan yang
lebih terharu bagaimana Audray merasa menyesali semua yang dia lakukan. Saat
itu dia sudah minta maaf kepadaku juga kepada Listya atas foto foto
rekayasanya. Pada kesempatan lain Audray pun sempat mencurahkan semua isi
hatinya kepadaku. Pengakuan seorang gadis masa kini yang tegas dan jujur.
”Pak
Alan. Aku menyadari bahwa aku bukan orang yang menjadi impian Bapak selama
ini!” kata Audray ketika kami berbincang bincang di beranda rumahnya.
”Apalagi
aku adalah gadis dengan etnis Tionghoa dan seorang Katholik tentu semakin menjadi
jauh dari kriteria Bapak!” kata Audray lagi.
”Didi!”
aku memanggil Audray dengan panggilan kecil keluarganya yaitu Didi.
”Jangan
berkata seperti itu. Semua manusia itu sama yang membedakan dihadapan Tuhan
adalah sejauh mana pengabdian dan kesetiaan kepadaNya” kataku menjelaskan.
”Didi berbicara mengenai jodoh sebaiknya serahkan
kepadaNya. Dialah yang Maha Tahu pilihan teman hidup terbaik untuk kita!. Dia
lah sebaik baik Penentu” kataku.
”Pak
Alan kadang kadang aku iri kepada Listya. Dia seorang wanita yang lembut begitu
ramah cara bertutur katanya kepada siapapun. Listya adalah wanita rupawan yang
juga berhiaskan hati yang cantik!” suara
curahan hati Audray keluar dari bibirnya dengan wajah yang mendung.
”Di,
kecantikan itu sangat relatif. Kamu juga cantik. Seharusnya banyak bersyukur
kepada Tuhan. Memiliki tubuh yang ideal impian bagi kebanyakan gadis-gadis.
Pasti banyak gadis-gadis yang iri padamu. Semua lelaki juga pasti suka
kepadamu. Kecantikan fisik ini semakin menjadi tinggi nilainya ketika kau mau
menutupinya dengan rapi dan menghiasinya pula dengan budi pekerti yang luhur!”
kataku lagi dengan khotbah yang lebih panjang. Namun aku melihat ada secercah
bahagia di wajah Audray ketika dia mendengar kata-kataku itu.
”Terima
kasih Pak Alan. Memang cinta itu tidak bisa dipaksakan. Cinta harus memiliki
frekuensi dan chemistry yang sama!” kata Audray.
Dialog
tadi adalah saat-saat terakhir kami bertemu Audray dan kembali aku berjumpa
Audray saat peresmian Apoteknya. Aku melihat Audray yang kujumpai kali ini
adalah Audray yang baru terlahir kembali. Audray yang penuh percaya diri.
Audray yang sudah tidak lagi mempedulikan apakah dia seorang Tionghoa atau
Katholik atau siapapun tapi Audray yang peduli dengan dirinya sendiri sebagai
hamba Sang Pencipta. Audray yang memiliki hak yang sama dan kewajiban yang
sama. Hak untuk dicintai dan kewajiban untuk mencintai. Selanjutnya Tuhan lah
yang menentukan jodoh terbaiknya dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik
Penentu.
Tidak
sadar rupanya kata-kata itu juga bisa berlaku kepadaku. Alan mempunyai hak untuk dicintai dan kewajiban untuk
mencintai dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik Penentu. He he he
lamunan kecil itu aku akhiri ketika aku sudah memasuki pelataran parkir
Fakultas. Aku segera begegas menuju ruang kerjaku mengambil laptop dan
bahan-bahan untuk memberikan kuliah lalu menuju Gedung Pasca Sarjana yang
berada dua blok dari Fakultas Farmasi. Waktu dua jam memberikan kuliah berlalu
begitu saja. Ya itu hanya rutinitas biasa. Sudah berapa banyak mahasiswa yang
juga menganggap bahwa kuliah kuliah yang mereka terima adalah rutinitas yang
harus dilalui semata mata hanya untuk menggapai rutinitas berikutnya. Mungkin
dulu ketika aku masih mahasiswa seperti mereka sama saja memiliki pola fikir
seperti itu. Memang sangat jarang orang menuntut ilmu untuk ilmu pengetahuan
itu sendiri namun kebanyakan mereka menuntut ilmu untuk kepentingan materi.
Untuk saat sekarang ini terlalu idealis memiliki sikap seperti itu yang sedikit
dimiliki orang banyak. Oh rutinitas mengapa harus membelengguku?. Nanti dulu
jangan merasa terbelenggu oleh rutinitas. Aku jadi teringat apa yang dikatakan
seorang Filsuf Terkenal Penulis Kitab Ihya Ulumuddin yaitu Imam Al-Ghozali.
Simak apa yang dikatakannya.
”Hari ini adalah milikmu. Jika tiba waktu pagi, janganlah
engkau menunggu petang datang. Hari ini adalah hari yang sebenarnya engkau
menghirup udara, hidup dan membuka mata. Hidupmu adalah hari ini. Hidupmu bukan
hari kemarin yang telah meninggalkan kenangan baik maupun kenangan buruk.
Janganlah engkau tenggelam dalam mengingat masa lalu. Jangan pula terlena
merenungkan keindahan hidup yang pernah dulu kau jalani. Namun hidupmu juga
bukan hari esok yang belum tentu engkau akan menjumpainya. Janganlah engkau
terlena pada harapan harapan dan angan-angan masa depan. Jangan pula engkau
merasa cemas dan takut untuk menghadapi hari esok. Lebih baik fikirkan saja
hari ini. Hari ini adalah hidupmu, hari yang telah dinaungi oleh sinar Matahari
dan engkau mendapati waktu siangmu adalah harimu yang sebenarnya. Oleh karena itu
usiamu hanya sehari yaitu hari ini. Maka tanamkanlah di dalam hatimu sebuah
kehidupan yang nyata pada hari ini seakan akan dirimu dilahirkan pada hari ini
dan mati pada hari ini pula”
Sungguh
indah ungkapan yang sangat filosofis ini telah membuatku benar-benar menikmati
hari ini. Nikmatilah hari ini. Nikmatilah rutinitas. Nimatilah kemacetan lalu
lintas. Nimmatilah kegalauan hati. Nikmatilah kesibukan. Nikmatilah skripsi
skripsi dan thesis yang menumpuk untuk dikoreksi. Nikmatilah kesepian dan
kehampaan hati. Nikmatilah waktu yang membosankan. Nikmatilah kejenuhan.
Nikmatilah kesendirian. Nikmatilah rasa kehilangan. Nikmatilah. Sungguh
benar-benar aku menimati hari ini. Lalu bolehkah aku menimati hari ini dengan
membaca ulang sms Kinanti yang kemarin? Kubaca kembali sms Kinanti yang satu
ini :
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau
katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku
menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih
luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
Ternyata
menikmati hari ini dengan membaca sms Kinanti jauh lebih bermakna dari pada
merenungi nasib ditinggalkan Kinanti menikah dengan Eko Priotomo. Oleh karena
itu untuk sementara lupakanlah hari esok ketika Kinanti akan bersanding dengan
calon suaminya. Memang faktanya bahwa kebahagiaan itu adalah ketika orang yang
aku cintai mendapatkan kebahagiaannya. Akupun tidak pernah ragu tetap menatap
hari esok dengan senyum. Ya dengan senyum. Mungkin senyum kepedihan.
Tersadar
dari lamunan ternyata aku masih menikmati hari ini. Alhamdulillah.
BERSAMBUNG
Episode 19
No comments:
Post a Comment