Foto Fiksiana Community
Tantangan
100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh
Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode
16
AWAN MENDUNG KOTA BANDUNG
Malam
Minggu itu adalah syukuran ulang tahun Ibuku yang ke 80. Alhamdulillah pada
usia tersebut Beliau tetap sehat, ceria dan selalu bahagia di tengah-tengah
anak-anak dan cucu cucunya. Walaupun malam itu hujan turun hampir disemua sudut
kota Bandung dan udara dingin menyengat tubuh, namun rupanya tidak akan cukup
mampu mengurangi kehangatan acara syukuran ulang tahun Ibuku. Ruang keluarga
itu penuh dengan doa doa, kegembiraan, senyuman, canda tawa dan riang nyanyian
kebahagiaan yang sempurna bagi Ibuku. Hal yang istimewa bagiku malam itu adalah
kehadiran Kinanti Puspitasari di tengah-tengah keluarga besarku.
Sebetulnya
dulu waktu SMA, Kinanti sering juga datang ke rumah. Namun saat ini adalah
pertama kali lagi Kinanti bertemu dengan Ibu. Tentu saja Ibu sangat pangling
berjumpa Kinanti yang sekarang jika dibandingkan saat Kinanti masih SMA dulu.
Kinanti saat SMA adalah gadis remaja ceria berseragam putih abu-abu. Kinanti
sekarang seorang wanita dewasa yang ramah penuh aura pesona.
”Ibu
kalau ketemu pasti tidak akan mengenal Neng Kinan yang sekarang ini. Bertambah
cantik dan anggun dengan hijab ini!” kata Ibu. Mendengar ini Kinanti tersenyum
dan hanya mampu bilang terimakasih. Aku melihat wajah Kinanti sangat cantik
dengan senyum penuh dengan rasa senang menerima pujian Ibuku.
”Ibu
bersyukur, semua anak-anak Ibu sudah mandiri, sudah berhasil. Hanya ada satu
hal yang menjadi hati Ibu prihatin. Ini Alan yang masih belum dapat jodoh!”
kata Ibuku kepada Kinanti seolah olah curhat. Kinanti melirik kepadaku sambil
tersenyum dan aku hanya bisa angkat bahu.
”Ibu
jangan kuatir sebentar lagi nanti aku kenalkan calonku!” kataku sambil tertawa.
”Ah
Alan. Kamu itu cuma omdo!” kata Ibuku
menggunakan bahasa anak muda sekarang. Aku kembali tertawa sementara Kinanti
hanya tersenyum.
”Alan!
Ibu selalu berdoa agar kamu segera mendapatkan jodohmu. Ibu masih ingin
menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah memanggilku!” kata Ibu.
”Iya Ibu
terima kasih. Inshaa Allah doa Ibu dikabulkan Allah!” kataku dengan haru.
Mendengar
curahan hati Ibu, aku benar-benar terharu. Beberapa saat aku terdiam di samping
Kinanti yang juga membisu. Diam-diam aku melirik Kinanti dan aku lihat dia
tertunduk entah apa yang dipikirkannya.
Malam
itu aku melihat Kinanti begitu akrab di tengah-tengah keluarga besarku. Entah
kenapa aku begitu senang melihat suasana keakraban itu. Saat itu aku hanya
membayangkan andai saja Kinanti menjadi bagian dari keluarga besar ini. Ya
andai saja. Apakah dengan demikian aku sudah mendapatkan kebahagiaan itu?
Sesaat pada malam itu aku seakan sudah bisa melupakan Listya. Ya malam itu
adalah malamnya Kinanti Puspitasari. Canda tawanya Kinanti menyatu dengan
adik-adikku dan keponakanku terutama yang gadis-gadis menambah rasa bahagiaku.
Mungkin sangat wajar saat Kinanti akrab dengan keponakanku karena dia punya
anak gadis seusia mereka. Mereka begitu ceria bercengkerama diselingi tawa-tawa
gembira. Aku juga melihat betapa Ibuku sangat merasakan kebahagiaan di
tengah-tengah kasih sayang keluarga besarnya. Namun yang selalu aku ingat adalah
ketika beliau mengatakan ”Alan!. Ibu selalu berdoa agar kamu segera
mendapatkan jodohmu. Ibu masih ingin menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah memanggilku,”
kata Ibu.
Sebuah
ungkapan kegundahan hati Ibu. Kata-kata ini sangat mengganggu pikiranku. Tidak
ada yang bisa aku harapkan sekarang. Siapa? Kinanti? Dia sudah mengemukakan
sikapnya untuk hanya sebagai seorang sahabat. Listya?. Sudah jelas merupakan
masa laluku. Hanya doa ibu yang bisa menjadi harapan.
Dalam
perjalanan mengantar pulang Kinanti ke Arcamanik, aku lebih banyak diam. Maka
dalam perjalanan itu hanya terdengar alunan musik ringan dari tape di mobil.
Ruas jalan Kota Bandung yang baru saja diguyur hujan tetap saja ramai dan macet
apalagi ini malam Minggu walaupun malam sudah hampir larut. Aku menempuh
perjalanan hampir 2 jam dari Kopo menuju Arcamanik. Bayangkan kemacetan ada
dimana-mana.
”Kinan,
aku tidak mampir ya karena sudah malam. Sampaikan saja salam untuk Bapak dan
Ibu juga Intan!” kataku berpamitan kepada Kinanti.
”Terima
kasih Alan, hati hati ya!” kata Kinanti. Setelah mengucapkan salam, akupun
menyalakan mobil dan kembali menuju keramaian lalu lintas kota. Sesampainya di
rumah kelelahan yang mendera telah membuatku langsung terlelap di atas sofa
ruang tengah. Aku baru terjaga ketika Ibu membangunkanku untuk sholat Subuh.
Begitu cepat hari berganti ya Allah. Hari ini hari Minggu dan sore nanti aku
harus kembali ke Surabaya untuk mengisi kembali rutinitas yang membosankan.
Minggu
pagi itu aku masih sempat bertemu Kinanti di rumahnya. Aku melihat Kinanti
tidak seceria seperti biasanya.
”Kinan
sepertinya kamu kurang sehat!” tanyaku.
”Mungkin
juga Al. Semalam aku tidak bisa tidur lelap!” kata Kinanti.
”Banyak
pikiran? Mungkin aku bisa bantu. Ceritakan padaku agar bebanmu menjadi ringan!”
kataku. Kinanti hanya tersenyum dan aku juga hanya angkat bahu.
”Tidak
juga banyak pikiran. Aku hanya teringat kata-kata Listya waktu kami bertemu di
Malang tempo hari” kata Kinanti. Ini dia yang kutunggu tunggu cerita tentang
Listya. Awalnya aku tidak mau menanyakan hal tersebut ketika aku lihat Kinanti
terlihat agak murung. Namun ternyata dia sendiri yang membuka ruang untuk
berdialog tentang Listya.
”Apa
saja yang dia katakan?” tanyaku.
”Listya
sangat mencintaimu Al. Dia tidak mau membayangkan kamu menikah dengan orang
lain kecuali denganku. Dia menitipkanmu kepadaku” suara Kinanti bergetar.
Mendengar penjelasan Kinanti ini aku hanya terdiam tidak mau berkomentar lebih
jauh.
”Padahal
aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak sanggup untuk menggantikan cintanya yang
luhur dan tulus itu!” kata Kinanti lagi.
”Sudahlah
Kinan tidak perlu lagi dipikirkan lagi hal itu. Bagaimanapun juga yang terbaik
bagiku, Kinanti adalah sahabat sejatiku!” kataku mencoba menenangkan hati
Kinanti. Namun ternyata aku melihat ada titik air mata di mata Kinanti. Ya
Tuhan dia menangis.
”Alan
maafkan aku!” kata Kinanti lirih.
”Kinan,
tidak perlu minta maaf seperti itu. Aku selalu menerima dan mengikuti takdirku
apa adanya. Jika Allah menghendaki maka itulah kuasa yang tidak bisa kita
tolak!” kataku. Kinanti masih tertunduk dan terisak. Kembali aku menenangkannya
agar dia melupakan saja apa yang dikatakan Listya.
”Aku
juga teringat malam itu apa yang dikatakan Ibumu dengan doanya yang tulus agar
kau mendapatkan jodohmu!” kata Kinanti.
”Hal
yang sama Ibuku juga demikian prihatin dengan kesendirianku!” kembali suara
Kinanti.
”Ketika
Eko mau melamarku, Ibuku terlihat gembira. Namun aku tidak bersedia menerima
lamarannya!” kata Kinanti lagi. Aku sengaja diam untuk mendengarkan segala
kegundahan hati Kinanti agar terucap untuk melegakan hatinya. Membiarkannya
mengeluarkan curahan hatinya.
”Kau tahu
Alan mengapa aku menolak Eko? Karena sebenarnya Eko sedang dekat dengan Irma,
rekan dosen di Fakultas lain. Irma rekan dosennya walaupun usianya sudah berumur
namun dia masih gadis!” kembali suara Kinanti.
Wanita
memang mahluk yang penuh dengan kebimbangan termasuk Kinanti yang selama ini
aku kenal sebagai wanita tegar. Nanti dulu berbicara soal bimbang sebenarnya
bukan hanya wanita tapi lelakipun demikian. Contohnya? Profesor Alan Erlangga
adalah lelaki penuh kebimbangan untuk menunjukkan cintanya kepada Daisy Listya.
Jika tidak bimbang apa yang terjadi? Ah sudahlah aku harus menerima takdirku
dengan ikhlas.
”Alan
sekali lagi aku minta maafmu!” suara Kinanti mengagetkanku.
”Okey
Kinanti aku sudah memaafkanmu atas kesalahan yang aku sendiri tidak tahu!” kataku.
”Alan
kesalahanku adalah karena aku tidak mampu menggantikan cinta Daisy Listya!”
kata Kinanti. Aku terkejut dengan pernyataan Kinanti ini.
”Kinan
sudahlah lupakan saja apa yang dikatakan Listya. Aku sendiri juga sudah ikhlas
menerima yang sekarang terjadi. Hentikan tangismu Kinan!” kataku perlahan.
”Minggu
pagi ini aku inginkan senyummu!, ayo tersenyum Kinanti!” kataku dengan nada ABG
yang sedang merayu. Kinanti memandangku lalu tersenyum namun air mata dipipinya
masih berurai.
”Nah
begitu dong, tapi kalau begini ini namanya tersenyum dalam tangisan!” kataku
menggoda.
”Alan! Memang kamu itu orang yang selalu membuatku
gembira!” kata Kinanti kali ini dia mulai tertawa kecil.
”Apakah
hamba boleh membantu mengusap air matamu Tuan Putri?” aku mulai bercanda.
”Alan
Alan sudah sudah, mulai gila kamu!” kata Kinanti kali ini sambil tertawa
renyah. He he he akhirnya aku berhasil membuat Kinanti kembali ceria.
Sore itu
satu jam sebelum take off aku sudah
berada di Bandara Husein Sastranegara. Walaupun sore itu cuaca mendung namun
penerbangan Bandung - Surabaya berjalan lancar. Hampir waktu Isya aku sudah
tiba di Rumah Menanggal Surabaya. Setelah mandi, sholat Isya dan makan malam
yang sudah disediakan Si Mbok maka mulailah aku menyusun agenda kerja esok
hari. Senin pagi ada sesi mengisi kuliah siangnya mengisi Pasca Sarjana dan
sorenya cek pekerjaan analisa data mahasiswa di Laboratorium. Ya rutinitas yang
membosankan. Namun demikian aku tetap dapat menjalani rutinitas tersebut dengan
baik. Diantara kebosanan rutinitas itu hanya satu hal yang dapat meberikan rasa
gembira itu yaitu jika ada telepon dari Kinanti. Kami bisa berbincang tentang
apa saja. Aku bisa merasakan persahabatan yang tulus. Sungguh sungguh Kinanti
adalah sahabat sejatiku. Mungkin juga baginya aku adalah sahabat sejatinya.
Dalam sebulan terakhir ini aku hanya bisa berhubungan dengan Kinanti melalui ponsel
karena belum ada agenda acara yang memungkinkan aku ada di Bandung. Demikian
pula Kinanti masih sibuk dengan perkuliahan di Fakultasnya. Namun dalam Minggu
ini aku dikejutkan berita dari Kinanti bahwa dia akan bertunangan dengan Eko
Priotomo, rekan dosennya itu. Oh akhirnya Kinanti menerima Eko sebagai
tunangannya.
”Alan
nanti aku jelaskan kenapa aku menerima lamaran Eko!” kata Kinanti ketika dia
menelponku.
”Aku
sangat senang akhirnya sahabatku mendapatkan jodohnya. Kinan jangan lupa hari
pernikahanmu khabari aku!” kataku.
”Okey
Alan aku pasti mengundangmu!” kata Kinanti dengan rasa senang.
Penjelasan
Kinanti kepadaku mengapa sekarang dia menerima lamaran Eko? Karena Eko bisa
meyakinkannya bahwa Eko sudah tidak berhubungan dengan Irma, rekan dosennya dari fakultas lain. Irma adalah dosen di
Fakultas MIPA. Sebenarnya Irma adalah adik kelasnya Eko sewaktu mereka kuliah
di Yogyakarta. Aku merasa lega akhirnya Kinanti jadi menikah lagi. Namun hati
kecilku berkata bahwa aku seperti kehilangan bagian lain dari hatiku. Ya bagian
itu adalah Kinanti Puspitasari.
Setelah
aku kehilangan Diana Faria datanglah Daisy Listya, namun Daisy Listya juga
harus pergi dan kini Kinanti Puspitasari. Ada rasa hampa hinggap di hatiku. Tiba-tiba
saja aku merasa sendiri. Aku harus kehilangan orang-orang yang aku cintai.
Ataukah aku tidak diperkenankanNya untuk memiliki salah satu diantara mereka.
Ya aku memang tidak pernah memiliki siapapun bahkan termasuk diriku sendiri.
Maka aku tidak boleh merasa kehilangan. Kinanti adalah wanita yang tegar,
tabah, cerdas, teguh dengan prinsip, berbudi luhur dan memiliki aura kecantikan
lahir batin. Aku bersyukur bisa mengenal Kinanti. Aku juga bersyukur sempat
mengenal dan mencintai Daisy Listya. Aku juga bersyukur diberi kesempatan berbahagia dengan Diana Faria.
Mereka adalah wanita wanita istimewa dalam hidupku. Wanita wanita yang selalu
ada dalam relung sudut hatiku.
Ya Allah
berilah aku kekuatan karena tidak satupun diantara mereka yang menjadi teman
hidupku. Ya Allah apakah ini takdir yang harus aku jalani andaikata iya semoga
Kau selalu memberiku kesempatan berupaya untuk mendapatkan takdir terbaikku
menurut takdirMu.
BERSAMBUNG
Episode 17
No comments:
Post a Comment