Monday, April 25, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (16)

Foto Fiksiana Community


Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode 16
AWAN MENDUNG KOTA BANDUNG
Malam Minggu itu adalah syukuran ulang tahun Ibuku yang ke 80. Alhamdulillah pada usia tersebut Beliau tetap sehat, ceria dan selalu bahagia di tengah-tengah anak-anak dan cucu cucunya. Walaupun malam itu hujan turun hampir disemua sudut kota Bandung dan udara dingin menyengat tubuh, namun rupanya tidak akan cukup mampu mengurangi kehangatan acara syukuran ulang tahun Ibuku. Ruang keluarga itu penuh dengan doa doa, kegembiraan, senyuman, canda tawa dan riang nyanyian kebahagiaan yang sempurna bagi Ibuku. Hal yang istimewa bagiku malam itu adalah kehadiran Kinanti Puspitasari di tengah-tengah keluarga besarku. 
Sebetulnya dulu waktu SMA, Kinanti sering juga datang ke rumah. Namun saat ini adalah pertama kali lagi Kinanti bertemu dengan Ibu. Tentu saja Ibu sangat pangling berjumpa Kinanti yang sekarang jika dibandingkan saat Kinanti masih SMA dulu. Kinanti saat SMA adalah gadis remaja ceria berseragam putih abu-abu. Kinanti sekarang seorang wanita dewasa yang ramah penuh aura pesona.  
”Ibu kalau ketemu pasti tidak akan mengenal Neng Kinan yang sekarang ini. Bertambah cantik dan anggun dengan hijab ini!” kata Ibu. Mendengar ini Kinanti tersenyum dan hanya mampu bilang terimakasih. Aku melihat wajah Kinanti sangat cantik dengan senyum penuh dengan rasa senang menerima pujian Ibuku.
”Ibu bersyukur, semua anak-anak Ibu sudah mandiri, sudah berhasil. Hanya ada satu hal yang menjadi hati Ibu prihatin. Ini Alan yang masih belum dapat jodoh!” kata Ibuku kepada Kinanti seolah olah curhat. Kinanti melirik kepadaku sambil tersenyum dan aku hanya bisa angkat bahu.
”Ibu jangan kuatir sebentar lagi nanti aku kenalkan calonku!” kataku sambil tertawa.
”Ah Alan. Kamu itu cuma omdo!” kata Ibuku menggunakan bahasa anak muda sekarang. Aku kembali tertawa sementara Kinanti hanya tersenyum.
”Alan! Ibu selalu berdoa agar kamu segera mendapatkan jodohmu. Ibu masih ingin menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah memanggilku!” kata Ibu.
”Iya Ibu terima kasih. Inshaa Allah doa Ibu dikabulkan Allah!” kataku dengan haru.
Mendengar curahan hati Ibu, aku benar-benar terharu. Beberapa saat aku terdiam di samping Kinanti yang juga membisu. Diam-diam aku melirik Kinanti dan aku lihat dia tertunduk entah apa yang dipikirkannya.
Malam itu aku melihat Kinanti begitu akrab di tengah-tengah keluarga besarku. Entah kenapa aku begitu senang melihat suasana keakraban itu. Saat itu aku hanya membayangkan andai saja Kinanti menjadi bagian dari keluarga besar ini. Ya andai saja. Apakah dengan demikian aku sudah mendapatkan kebahagiaan itu? Sesaat pada malam itu aku seakan sudah bisa melupakan Listya. Ya malam itu adalah malamnya Kinanti Puspitasari. Canda tawanya Kinanti menyatu dengan adik-adikku dan keponakanku terutama yang gadis-gadis menambah rasa bahagiaku. Mungkin sangat wajar saat Kinanti akrab dengan keponakanku karena dia punya anak gadis seusia mereka. Mereka begitu ceria bercengkerama diselingi tawa-tawa gembira. Aku juga melihat betapa Ibuku sangat merasakan kebahagiaan di tengah-tengah kasih sayang keluarga besarnya. Namun yang selalu aku ingat adalah ketika beliau mengatakan  ”Alan!. Ibu selalu berdoa agar kamu segera mendapatkan jodohmu. Ibu masih ingin menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah memanggilku,” kata Ibu.
Sebuah ungkapan kegundahan hati Ibu. Kata-kata ini sangat mengganggu pikiranku. Tidak ada yang bisa aku harapkan sekarang. Siapa? Kinanti? Dia sudah mengemukakan sikapnya untuk hanya sebagai seorang sahabat. Listya?. Sudah jelas merupakan masa laluku. Hanya doa ibu yang bisa menjadi harapan.
Dalam perjalanan mengantar pulang Kinanti ke Arcamanik, aku lebih banyak diam. Maka dalam perjalanan itu hanya terdengar alunan musik ringan dari tape di mobil. Ruas jalan Kota Bandung yang baru saja diguyur hujan tetap saja ramai dan macet apalagi ini malam Minggu walaupun malam sudah hampir larut. Aku menempuh perjalanan hampir 2 jam dari Kopo menuju Arcamanik. Bayangkan kemacetan ada dimana-mana.
”Kinan, aku tidak mampir ya karena sudah malam. Sampaikan saja salam untuk Bapak dan Ibu juga Intan!” kataku berpamitan kepada Kinanti.
”Terima kasih Alan, hati hati ya!” kata Kinanti. Setelah mengucapkan salam, akupun menyalakan mobil dan kembali menuju keramaian lalu lintas kota. Sesampainya di rumah kelelahan yang mendera telah membuatku langsung terlelap di atas sofa ruang tengah. Aku baru terjaga ketika Ibu membangunkanku untuk sholat Subuh. Begitu cepat hari berganti ya Allah. Hari ini hari Minggu dan sore nanti aku harus kembali ke Surabaya untuk mengisi kembali rutinitas yang membosankan.
Minggu pagi itu aku masih sempat bertemu Kinanti di rumahnya. Aku melihat Kinanti tidak seceria seperti biasanya.
”Kinan sepertinya kamu kurang sehat!” tanyaku.
”Mungkin juga Al. Semalam aku tidak bisa tidur lelap!” kata Kinanti.
”Banyak pikiran? Mungkin aku bisa bantu. Ceritakan padaku agar bebanmu menjadi ringan!” kataku. Kinanti hanya tersenyum dan aku juga hanya angkat bahu.
”Tidak juga banyak pikiran. Aku hanya teringat kata-kata Listya waktu kami bertemu di Malang tempo hari” kata Kinanti. Ini dia yang kutunggu tunggu cerita tentang Listya. Awalnya aku tidak mau menanyakan hal tersebut ketika aku lihat Kinanti terlihat agak murung. Namun ternyata dia sendiri yang membuka ruang untuk berdialog tentang Listya.
”Apa saja yang dia katakan?” tanyaku.
”Listya sangat mencintaimu Al. Dia tidak mau membayangkan kamu menikah dengan orang lain kecuali denganku. Dia menitipkanmu kepadaku” suara Kinanti bergetar. Mendengar penjelasan Kinanti ini aku hanya terdiam tidak mau berkomentar lebih jauh. 
”Padahal aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak sanggup untuk menggantikan cintanya yang luhur dan tulus itu!” kata Kinanti lagi.
”Sudahlah Kinan tidak perlu lagi dipikirkan lagi hal itu. Bagaimanapun juga yang terbaik bagiku, Kinanti adalah sahabat sejatiku!” kataku mencoba menenangkan hati Kinanti. Namun ternyata aku melihat ada titik air mata di mata Kinanti. Ya Tuhan dia menangis.
”Alan maafkan aku!” kata Kinanti lirih.
”Kinan, tidak perlu minta maaf seperti itu. Aku selalu menerima dan mengikuti takdirku apa adanya. Jika Allah menghendaki maka itulah kuasa yang tidak bisa kita tolak!” kataku. Kinanti masih tertunduk dan terisak. Kembali aku menenangkannya agar dia melupakan saja apa yang dikatakan Listya.
”Aku juga teringat malam itu apa yang dikatakan Ibumu dengan doanya yang tulus agar kau mendapatkan jodohmu!” kata Kinanti.
”Hal yang sama Ibuku juga demikian prihatin dengan kesendirianku!” kembali suara Kinanti.
”Ketika Eko mau melamarku, Ibuku terlihat gembira. Namun aku tidak bersedia menerima lamarannya!” kata Kinanti lagi. Aku sengaja diam untuk mendengarkan segala kegundahan hati Kinanti agar terucap untuk melegakan hatinya. Membiarkannya mengeluarkan curahan hatinya.
”Kau tahu Alan mengapa aku menolak Eko? Karena sebenarnya Eko sedang dekat dengan Irma, rekan dosen di Fakultas lain. Irma rekan dosennya walaupun usianya sudah berumur namun dia masih gadis!” kembali suara Kinanti.
Wanita memang mahluk yang penuh dengan kebimbangan termasuk Kinanti yang selama ini aku kenal sebagai wanita tegar. Nanti dulu berbicara soal bimbang sebenarnya bukan hanya wanita tapi lelakipun demikian. Contohnya? Profesor Alan Erlangga adalah lelaki penuh kebimbangan untuk menunjukkan cintanya kepada Daisy Listya. Jika tidak bimbang apa yang terjadi? Ah sudahlah aku harus menerima takdirku dengan ikhlas.
”Alan sekali lagi aku minta maafmu!” suara Kinanti mengagetkanku.
”Okey Kinanti aku sudah memaafkanmu atas kesalahan yang aku sendiri  tidak tahu!” kataku.
”Alan kesalahanku adalah karena aku tidak mampu menggantikan cinta Daisy Listya!” kata Kinanti. Aku terkejut dengan pernyataan Kinanti ini.
”Kinan sudahlah lupakan saja apa yang dikatakan Listya. Aku sendiri juga sudah ikhlas menerima yang sekarang terjadi. Hentikan tangismu Kinan!” kataku perlahan.
”Minggu pagi ini aku inginkan senyummu!, ayo tersenyum Kinanti!” kataku dengan nada ABG yang sedang merayu. Kinanti memandangku lalu tersenyum namun air mata dipipinya masih berurai.
”Nah begitu dong, tapi kalau begini ini namanya tersenyum dalam tangisan!” kataku menggoda.
”Alan!  Memang kamu itu orang yang selalu membuatku gembira!” kata Kinanti kali ini dia mulai tertawa kecil.
”Apakah hamba boleh membantu mengusap air matamu Tuan Putri?” aku mulai bercanda.
”Alan Alan sudah sudah, mulai gila kamu!” kata Kinanti kali ini sambil tertawa renyah. He he he akhirnya aku berhasil membuat Kinanti kembali ceria.

Sore itu satu jam sebelum take off aku sudah berada di Bandara Husein Sastranegara. Walaupun sore itu cuaca mendung namun penerbangan Bandung - Surabaya berjalan lancar. Hampir waktu Isya aku sudah tiba di Rumah Menanggal Surabaya. Setelah mandi, sholat Isya dan makan malam yang sudah disediakan Si Mbok maka mulailah aku menyusun agenda kerja esok hari. Senin pagi ada sesi mengisi kuliah siangnya mengisi Pasca Sarjana dan sorenya cek pekerjaan analisa data mahasiswa di Laboratorium. Ya rutinitas yang membosankan. Namun demikian aku tetap dapat menjalani rutinitas tersebut dengan baik. Diantara kebosanan rutinitas itu hanya satu hal yang dapat meberikan rasa gembira itu yaitu jika ada telepon dari Kinanti. Kami bisa berbincang tentang apa saja. Aku bisa merasakan persahabatan yang tulus. Sungguh sungguh Kinanti adalah sahabat sejatiku. Mungkin juga baginya aku adalah sahabat sejatinya. Dalam sebulan terakhir ini aku hanya bisa berhubungan dengan Kinanti melalui ponsel karena belum ada agenda acara yang memungkinkan aku ada di Bandung. Demikian pula Kinanti masih sibuk dengan perkuliahan di Fakultasnya. Namun dalam Minggu ini aku dikejutkan berita dari Kinanti bahwa dia akan bertunangan dengan Eko Priotomo, rekan dosennya itu. Oh akhirnya Kinanti menerima Eko sebagai tunangannya.
”Alan nanti aku jelaskan kenapa aku menerima lamaran Eko!” kata Kinanti ketika dia menelponku.
”Aku sangat senang akhirnya sahabatku mendapatkan jodohnya. Kinan jangan lupa hari pernikahanmu khabari aku!” kataku.
”Okey Alan aku pasti mengundangmu!” kata Kinanti dengan rasa senang.
Penjelasan Kinanti kepadaku mengapa sekarang dia menerima lamaran Eko? Karena Eko bisa meyakinkannya bahwa Eko sudah tidak berhubungan dengan Irma, rekan dosennya  dari fakultas lain. Irma adalah dosen di Fakultas MIPA. Sebenarnya Irma adalah adik kelasnya Eko sewaktu mereka kuliah di Yogyakarta. Aku merasa lega akhirnya Kinanti jadi menikah lagi. Namun hati kecilku berkata bahwa aku seperti kehilangan bagian lain dari hatiku. Ya bagian itu adalah Kinanti Puspitasari.

Setelah aku kehilangan Diana Faria datanglah Daisy Listya, namun Daisy Listya juga harus pergi dan kini Kinanti Puspitasari. Ada rasa hampa hinggap di hatiku. Tiba-tiba saja aku merasa sendiri. Aku harus kehilangan orang-orang yang aku cintai. Ataukah aku tidak diperkenankanNya untuk memiliki salah satu diantara mereka. Ya aku memang tidak pernah memiliki siapapun bahkan termasuk diriku sendiri. Maka aku tidak boleh merasa kehilangan. Kinanti adalah wanita yang tegar, tabah, cerdas, teguh dengan prinsip, berbudi luhur dan memiliki aura kecantikan lahir batin. Aku bersyukur bisa mengenal Kinanti. Aku juga bersyukur sempat mengenal dan mencintai Daisy Listya. Aku juga bersyukur diberi  kesempatan berbahagia dengan Diana Faria. Mereka adalah wanita wanita istimewa dalam hidupku. Wanita wanita yang selalu ada dalam relung sudut hatiku.

Ya Allah berilah aku kekuatan karena tidak satupun diantara mereka yang menjadi teman hidupku. Ya Allah apakah ini takdir yang harus aku jalani andaikata iya semoga Kau selalu memberiku kesempatan berupaya untuk mendapatkan takdir terbaikku menurut takdirMu.


BERSAMBUNG Episode 17 

No comments: